Perkembangan siswa – Seringkali guru merasa kesulitan dalam membimbing dan mengarahkan siswa ketika belajar di dalam kelas. Hal ini tentu sudah lumrah terjadi disetiap kondisi pembelajaran.
Tidak ada guru yang sempurna yang dapat memfasilitasi siswanya dalam satu waktu. Karena yang demikian ada kaitannya dengan gaya belajar siswa, motivasi siswa yang sangat beragam, dan proses perkembangannya.
Kondisi seperti ini seringkali mengakibatkan guru mengalami kesulitan dalam mengelola pembelajaran sehingga guru harus pintar-pintar dalam memilah dan memilih metode mana yang cocok untuk diterapkan, model pembelajaran apa yang relevan, dan bagaimana cara menyikapi siswa dengan pola belajarnya yang cenderung berbeda-beda.
Perlu diketahui bahwa dalam perkembangan dan proses kehidupannya, manusia sangat mungkin untuk menemui berbagai permasalahan, baik yang timbul dari individu itu sendiri maupun dari orang lain. Pada hakekatnya proses pengembangan manusia hendaknya mencapai pribadi-pribadi yang matang dalam hal pendirian, memiliki budi pekerti yang luhur, memiliki kemampuan sosial yang baik, dan keimananan dan ketakwaan yang mendalam.
Namun pada kenyataanya yang sering kita temui adalah kepribadian yang kurang berkembang, budi pekerti yang kurang beradab, tingkat kesosialan yang rendah, dan keimanan dan ketakwaan yang dangkal.
Ketidakmampuan seorang individu dalam mewujudkan perkembangan yang optimal pada keempat dimensi, yaitu individualitas, sosialitas, moralitas, dan religiusitas tersebut dikarenakan terjadinya permasalahan-permasalahan yang dialami selama proses perkembangannya. Keadaan ini banyak dijumpai oleh siswa yang berada pada jenjang SLTP dan SLTA yang mana mereka sedang dihadapkan dengan fase remaja.
Beberapa orang mungkin akan berpendapat bahwa hidup dan berkembang itu mengandung risiko. Proses kehidupan pada kenyataannya tidak selalu berjalan dengan mulus. Itulah yang dirasakan oleh manusia ketika berada di fase remaja. Fase dimana individu mengalami perubahan secara fisik maupun psikis. Pada fase ini, manusia akan cenderung ingin mengetahui segala hal. Maka tak aneh jika pada fase ini sering ditemukan siswa atau murid yang terkadang keluar dari jalur-jalur norma yang berlaku.
Pada fase ini, biasanya siswa akan menghadapi beberapa masalah seperti masalah emosi, penyesuaian diri, perilaku seksual, perilaku sosial, moral, dan masalah keluarga. Hendaknya guru sebagai pendidik perlu memahami fase remaja dan masalah-masalah yang dihadapinya agar guru dapat mengerti bahwa jika beberapa siswa melakukan masalah-masalah tersebut karena mungkin sedang dalam masa perkembangan siswa. Tidak semata-mata karena pembawaannya dari lahir.
- Masalah emosi
Emosi pada seorang remaja seringkali sangat kuat, tidak tekendali atau “meledak-ledak” dan terkadang tampak tidak rasional. Hal ini dibuktikan dengan maraknya kasus perkelahian antar pelajar yang merupakan contoh nyata bahwa terdapat ketidakmampuan seorang remaja dalam hal mengendalikan emosi.
Dalam kaitannya dengan belajar, seorang guru harus memiliki interpersonal yang bagus. Sehingga ketika guru memulai berinteraksi kepada siswa (yang berada pasa masa remaja) tidak menimbulkan rangsangan yang berlebih yang membuat emosinya tidak terkendali.
Sekolah memang diberi tugas dan tanggungjawab untuk membantu subjek didik menuju kearah kedewasaan yang optimal, maka dari itu sekolah memiliki program layanan khusus bagi siswa, seperti layanan konseling dan layanan bimbingan dan konseling kelompok.
Namun lagi-lagi layanan konseling tidak sepenuhnya efektif karena dibeberapa sekolah belum melakukan kerja sama antara pihak-pihak sekolah dan guru pembimbing dalam melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling. Maka dari itu ketika layanan tersebut tidak dapat terselenggara dengan baik, bimbingan yang paling diharapkan adalah bimbingan dari guru yang melakukan pengajaran di kelas, yang dapat memberikan penguatan dan arahan disela-sela waktu ketika kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung.
2. Masalah Penyesuaian Diri
Salah satu hal yang sulit dilakukan ketika masa remaja adalah melakukan penyesuaian dengan lingkungan atau penyesuaian sosial. Remaja memiliki tantangan untuk menyesuaikan diri terhadap lawan jenis, baik dengan sesama remaja maupun orang lain di berbagai lingkungan yang berbeda. Untuk mencapai tujuan pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru.
Selain ini menjadi tugas remaja, ini juga menjadi tugas orang tua ketika di rumah dan tugas guru sebagai pengarah ketika di sekolah. Guru ketika berada di kelas harus mampu memberikan ruang-ruang pengenalan antara satu dengan yang lain. Hal ini cukup membantu siswa yang berada pada masa remaja dalam proses penyesuaian diri terhadap lingkungan pertemanan.
Karena pada dasarnya, remaja sangat rentan dengan pergaulan, fase remaja sangat bergantung pada pola-pola perilaku kelompok. Untuk itulah maka sekolah sekolah harus ikut membantu tugas-tugas dalam penyesuaian dirinya, misalnya dengan menyediakan sarana dan prasarana dan fasilitas pembinaan bakat dan minat, juga bisa lewat ekstrakulikuler. Dengan demikian diharapkan dapat mencegah dan mengatasi kesalahan pergaulan remaja.
Selain tanggungjawab sekolah, peran guru tidak kalah penting sebagai pelopor perkembangan peserta didiknya. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh guru di kelas untuk mencegah siswa yang ada pada fase remaja terjerumus kepada pergaulan bebas adalah dengan penanaman nilai religius pada siswa, membentuk karakter siswa. Sedangkan diluar kelas, guru dapat ikut serta mendampingin dalam kegiatan ekstrakulikuler atau melakukan kolaborasi dengan wali murid melalui kegiatan parenting atau family gathering. Langkah ini merupakan salah satu upaya preventif yang dapat mencegah dari pergaulan yang kurang baik.
3. Masalah Perilaku Seksual
Pada fase ini remaja mulai tertarik pada lawan jenis, mulai bersifat romantis, yang diikiuti oleh keinginan yang kuat untuk memperoleh perhatian dari lawan jenis, sebagai akibatnya, remaja mempunyai minat yang tinggi pada hal-hal yang berbau seks.
Jika seorang remaja memiliki perkembangan yang bagus, maka remaja tersebut akan meminta informasi seputar seks kepada orang tuanya, jika disekolah, maka meminta informasi tersebut kepada guru. Namun kenyataan yang sering kita temui adalah mereka lebih banyak mencari informasi dari sumber-sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, misalnya melalui media elektronik atau bertanya kepada teman sebaya yang sama-sama tidak paham seputar seks.
Remaja seringkali tidak mampu menemukan informasi yang jelas dan akurat tentang hal yang hendak diketahuinya. Sebagai akibatnya, remaja melakukan perilaku seks yang menyimpang. Lebih parahnya, banyak remaja masa kini yang menganggap bahwa hal itu biasa dan nomal. Menganggap kesalahan sebagai sesuatu yang normal. Padahal pola pikir demikian dapat mempengaruhi pola-pola pemikiran di lingkungannya sehingga pada akhirnya banyak sekali remaja yang terjerumus pada keburukan akibat dangkalnya keimanan dan semakin meluasnya kebodohan.
Dalam menanggulangi dan mengatasi masalah yang demikian, sekolah dapat melakukan tindakan-tindakan nyata, misalnya pendidikan seks pada siswa. Atau guru juga dapat melakukan upaya lain, misalnya dengan mengatur tempat duduk antara perempuan dan laki-laki. Guru juga bisa lebih tegas melarang interaksi yang berlebihan yang dilakukan antara lawan jenis.
4. Masalah Perilaku Sosial
Tanda-tanda masalah perilaku sosial yang terjadi pada remaja dapat dilihat dari adanya dikriminasi terhadap orang-orang yang berlatar belakang ras, agama, suku atau status sosial yang berbeda. Dengan pola-pola perilaku seperti ini, pada akhirnya akan membentuk kelompok-kelompok remaja atau sering kita dengar dengan sapaan “geng”.
Pada dasarnya boleh-boleh saja remaja membentuk kelompok-kelompok selagi dalam hal yang positif, membentuk kelompok belajar misalnya atau kelompok diskusi. Namun pada kenyataannya, kelompok-kelompok remaja kebanyakan justru sering menimbulkan keresahan di masyarakat, baik yang timbul atas permusuhan dengan geng lain atau kelompok tersebut yang membuat kerusakan.
Fenomena ini harus menjadi perhatian yang serius dari sekolah, mengingat dampak yang dihasilkan cukup besar. Artinya tidak hanya sekolah yang merasakan dampaknya, bahkan masyarakat secara luas juga ikut terkena dampak dari perilaku sosial ini. Sekolah dalam hal ini dapat menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kelompok (baik kulikuler maupun kokulikuler).
Upaya lainnya juga dapat dilakukan oleh guru. Guru tidak boleh memperlakukan siswa secara tidak sama, tidak membeda-bedakan siswa yang satu dengan yang lain. Hal ini dapat menjadi stimulus bagi siswa untuk belajar hidup berdampingan secara damai antara satu dengan yang lain dan tidak memandang dari segi latar belakang.
5. Masalah Moral
Masalah moral ini ditandai dengan ketidakmampuan remaja dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Hal ini salah satunya ditimbulkan oleh adanya “ketidak-konsistenan” yang terjadi dalam pola kehidupan sehari-hari. Kondisi yang demikian dapat memicu hal buruk bagi kehidupan remaja itu sendiri, atau bahkan orang disekitarnya.
Sebagai upaya pencegahan, sekolah dapat menyelenggarakan kegiatan keagamaan. Bagi seorang guru, tentunya pendidikan budi pekerti perlu ditingkatkan. Siswa perlu diberikan pendidikan karakter yang lebih serius dan bekerja sama dengan wali murid dalam untuk turut serta memberikan pendidikan karakter kepada anaknya.
6. Masalah Keluarga
Permasalahan lain yang sering ditemui pada remaja adalah permasalahan dengan keluarga. Hal ini terjadi karena sering terjadinya kesalahpahaman antara pola pikir orang tua dengan anak. Remaja menganggap orang tua yang memiliki standar kuno harus mengikuti standar modern, sedangkan orang tua tetap pada pendiriannya yang semula. Keadaan inilah yang seringkali menjadi sumber perselisihan mereka.
Metode disiplin yang orang tua gunakan pada anak yang berusia remaja dirasa kaku dan terlalu otoriter dalam memutuskan segala sesuatu. Satu sisi, remaja memiliki ciri yaitu sikap kritis terhadap segala sesuatu, sedangkan bagi orang tua tertentu tidak menyukai anak yang bersikap seperti itu. Akhirnya situasi ini dapat menimbulkan pertentangan antara anak yang berusia remaja dengan orang tuanya.
Untuk mencegah dan mengatasi masalah tersebut, maka sekolah harus meningkatkan komunikasi dan mengadakan kolaborasi dengan wali murid. Upaya pencegahan lainnya dapat dilakukan oleh guru. Guru dapat menjadi figur yang sebenar-benar figur orang tua kedua di sekolah dan mengetahui perkembangan siswa. Hal ini dapat membantu dalam menemukan solusi atas permasalahannya. Karena biasanya siswa pada fase remaja akan lebih terbuka dengan guru yang mau mendengarkan, yang bersedia menjadi rumah untuk bersandar.
Jadilah bagian dari anggota e-Guru.id dan tingkatkan kompetensi Anda sebagai pendidik. Caranya, klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!