Oleh Iis Kurniasih, S.Pd.
Guru UPT SDN Periuk Jaya Permai Kota Tangerang
Menjadi guru bukanlah pilihan dan bukan pula cita-cita yang ingin aku gapai sejak kecil. Jangankan untuk bercita-cita, mengenal kelebihan yang aku miliki pun sebenarnya tidak pernah aku pahami.
Bagiku menjadi guru adalah garis nasib dan harapan kedua orang tua. Ya, hal itu karena menurut mereka, guru adalah pekerjaan yang mulia. Apalagi bagi anak perempuan yang kelak harus berbagi waktu sebagai istri, ibu dari anak-anak di rumah, dan sebagai guru di sekolah.
Keterbatasanku dalam pelajaran membuatku tak punya pilihan selain pasrah dengan pilihan orang tua. Sejak awal aku dididik dalam suasana religius yang membuatku sulit memahami pelajaran umum. Mulai sekolah dasar, kedua orang tua memilihkan untukku bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) di tempat kelahiranku, yaitu di Tangerang.
Lanjut ke Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP), aku mulai merantau ke luar kota, yaitu di Sukabumi. Lalu Madrasah Aliyah (setingkat dengan SMA) di Ciamis.
Pada saat memasuki perguruan tinggi seakan takut untuk memilih jurusan sendiri. Maka berdasarkan jalur pendidikan yang telah aku lalui dan saran yang diberikan orang tua, akhirnya aku memilih jurusan Tarbiyah di Fakultas Pendidikan Agama Islam, Unisba, Bandung.
Selama di perguruan tinggi, tak pernah dapat kubayangkan pekerjaan apa yang kelak akan aku tekuni. Aku hanya fokus melakukan apa yang harus dilakukan saat itu saja. Akan tetapi di saat memilih jurusan kuliah, kedua orang tuaku sudah memberikan gambaran bahwa aku kelak bisa bekerja sebagai guru agama.
Selama perkuliahan berlangsung, aku fokus belajar dan memperhatikan bagaimana cara dosen-dosen memberikan pelajaran. Sementara itu beberapa teman di kelas sudah banyak yang sambil mengajar, baik sebagai guru di sekolah, guru Taman Kanak-kanak, TPA, maupun sebagai guru ngaji.
Selesai masa perkuliahan, berbekal pendidikan yang telah aku tekuni, aku mencoba melamar pekerjaan di yayasan yang mengelola madrasah dari tingkat dasar sampai tingkat atas; mulai dari MI, MTs, dan MA. Yayasan tersebut milik kerabat orang tua.
Aku langsung diterima dan tugas pertamaku adalah sebagai guru piket di Madrasah Tsanawiyah. Selang beberapa bulan kemudian, ada salah satu guru yayasan yang bermaksud mengundurkan diri. Dan guru tersebut menawariku untuk menggantikan posisinya sebagai guru kelas VI dan mengajar pelajaran umum.
Awalnya aku ragu karena latar belakang pendidikanku lebih kepada pelajaran agama. Akan tetapi beliau meyakinkan bahwa aku pasti bisa mengajarkan pelajaran umum. Dan akhirnya aku menerima tawaran tersebut. Aku tidak akan melupakan jasa kebaikannya yang kemudian mengantarkanku menjadi seorang guru.
Kurang lebih selama empat atau lima tahun aku mengajar di madrasah sebagai guru kelas untuk mengajar pelajaran umum.
Pada tahun 2005, Kakakku menyarankanku untuk mengajar di sekolah negeri. Kebetulan ada dua sekolah yang telah dibangun orang tuaku selama beliau menjabat sebagai Kepala Desa. Awalnya, saran Kakakku kuabaikan karena ketakutanku apakah aku mampu menjadi guru di sekolah negeri. Namun beberapa bulan kemudian di akhir tahun 2006, akhirnya aku memutuskan untuk mencoba mengajar di sekolah yang dimaksud.
Aku memilih salah satu sekolah yang dibangun oleh orang tuaku yaitu SD Negeri Periuk Jaya Permai. Semoga sekolah ini menjadi amal kebaikan, keberkahan, dan penerang alam kubur untuk beliau. Al-Fatihah, untuk Ayahanda H. Boim Ibrahim bin H. Tumpi. Semoga damai di sisi-Mu, Ya Rabb.
Tahun pertama aku mengajar di sekolah negeri tersebut tanpa melepas pengabdianku di madrasah tempat awal aku mengajar sebelumnya. Aku berusaha membagi waktu untuk keduanya. Namun pada tahun ajaran berikutnya, atas pertimbangan berbagai hal, akhirnya aku memutuskan untuk bekerja di satu tempat saja. Aku mengundurkan diri dari madrasah dengan baik bahkan ketua yayasan memberiku Surat Tugas Mengajar yang berguna sebagai bukti pengalaman mengajar.
Mengajar sebagai tenaga honorer di sekolah negeri menjadi perjalanan baru bagiku. Selain itu aku mulai menyadari bahwa pentingnya mengajar sesuai dengan jurusan pendidikan yang kita tempuh. Dan selama ini aku mengajar tidak sesuai dengan jurusan pendidikan yang aku tekuni. Bahkan tidak sedikit lika-liku yang aku hadapi di sekolah tersebut dari pembagian tugas hingga pengurangan tenaga honorer. Ketika terjadi rotasi kepala sekolah, aku akan dimutasikan ke sekolah lain dengan alasan terlalu banyak guru sehingga harus dilakukan pengurangan tenaga honorer. Aku termasuk salah satu guru honorer yang akan mengalami pengurangan tenaga honorer tersebut.
Orang tuaku meskipun berjasa dalam pembangunan sekolah tersebut tidak ingin mengambil sikap apapun. Justru beliau mengajarkan bahwa sebagai tenaga honorer segala keputusan ada di tangan kepala sekolah. Namun berkat bantuan komite sekolah dan beberapa rekan guru, aku masih diberi kesempatan bertahan di sekolah tersebut.
Sebagai manusia biasa yang tidak dapat berbuat apa-apa. Kejadian tersebut sedikit membuatku syok. Sehingga aku merasa tidak nyaman. Tapi aku harus kuat, aku harus tegar, aku harus tetap bisa bertahan demi suatu pekerjaan.
Tidak berselang lama, pada tahun 2010, Kepala Sekolah kami kembali berganti karena pada tahun itu ada beberapa kekosongan kepala sekolah dan banyak kepala sekolah yang memasuki masa pensiun. Setelah pergantian Kepala Sekolah tersebut, keadaan mulai berubah. Kami mendapat Kepala Sekolah yang memiliki kepribadian yang sangat baik dalam hubungan sosial. Sehingga semua guru, wali murid, bahkan aparat pemerintah setempat bersatu membangun kerja sama dalam pembangunan gedung sekolah kami.
Awalnya, sekolah kami memiliki dua bagian bangunan. Satu bangunan sudah bertingkat dan satu bangunan belum. Sekolah kami berada di wilayah rawan banjir. Setiap musim hujan tiba, banjir besar sering terjadi dan selalu merendam sekolah kami. Kepala Sekolah kami kemudian merencanakan pembangunan gedung sekolah yang belum bertingkat agar terhindar dari genangan banjir. Beberapa tahun kemudian, pembangunan gedung sekolah terlaksana dengan baik.
Pada tahun 2013, pemerintah mengadakan pengangkatan tenaga honorer menjadi guru PNS. Pada pengangkatan tahap pertama banyak tenaga honorer yang diangkat secara langsung termasuk kedua kakak laki-lakiku.
Kemudian dilakukan kembali pengangkatan untuk tahap kedua melalui tes CPNS. Sayangnya aku yang ikut terdaftar saat itu tidak seberuntung teman-temanku yang kemudian lulus dalam tes tersebut. Hal ini membuatku terlintas ingin mencari pekerjaan lain. Bahkan sempat satu bulan aku menghilang dari sekolah karena mencoba untuk bekerja di tempat lain. Tapi apa daya, keadaan membuatku tak bisa bertahan lama dan akhirnya kembali mengajar di sekolah. Bahkan aku pernah memilih menjadi Operator Sekolah daripada menjadi guru.
Di tahun berikutnya, pemerintah mengeluarkan imbauan agar guru yang mengajar di sekolah harus sesuai dengan latar belakang pendidikan, linier antara jurusan pendidikan dengan jabatan guru yang ditekuni. Hal ini membuatku memutuskan untuk kuliah kembali. Pada tahun 2015, aku mengambil kuliah jurusan S1 PGSD-BI: yaitu program alih kredit yang ditawarkan oleh Prodi S1 PGSD UT yang diperuntukkan bagi guru SD yang berpendidikan sarjana dengan latar belakang ilmu selain PGSD.
Berkat pendidikan ini, aku mulai belajar mencintai pekerjaan. Yang awalnya mengajar biasa-biasa saja semampunya kini harus ditumbuhkan untuk lebih profesional. Aku mulai dapat memaknai arti mengajar, mendidik, dan membimbing. Bahkan sejak memasuki masa pandemi Covid-19 banyak ilmu baru yang aku dapatkan, bagaimana mengajar secara daring maupun luring. Dan masih banyak ilmu-ilmu pendidikan lainnya yang harus aku pelajari dan tekuni.
Agar ilmu yang kita peroleh tidak sia-sia, ternyata memiliki murid itu hal yang luar biasa. Karena merekalah yang akan menjadi objek untuk kita transfer segala pengetahuan yang kita miliki. Mungkin inilah yang menyadarkanku bahwa menjadi guru adalah hal yang luar biasa.
Dan ternyata, pilihan dan pandangan orang tua terhadap masa depan anaknya tidaklah salah. Mereka sangat menyadari segala kemampuan, kekurangan, dan kelebihan putra-putrinya yang mungkin tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Akan tetapi waktu yang akan menjawabnya.
Seperti halnya apa yang aku lalui selama ini, kesukaan dan ketidaksukaan, kebimbangan, kebingungan, ketidakmengertian akan suatu hal, ternyata Ayahanda tercinta sangat mengenal, mengerti, dan memahami segala yang ada dalam diri anaknya.
Namaku Iis Kurniasih. Aku memiliki tiga kakak laki-laki dan satu adik perempuan; dan ada dua saudara dari kerabat Ayah dan Ibuku. Ayahanda tercinta telah berpulang ke Rahmatullah di tahun 2017. Beliau pernah menjadi Kepala Desa di Kelurahan Periuk Jaya, Kota Tangerang.
Empat puluh hari kemudian, kakak keduaku kembali dipanggil ke hadirat Allah. Kepergian orang-orang tercinta ini menjadikan kehidupanku terasa hampa. Dan di tahun 2022, tepat di saat penyusunan buku “Meniti Jalan Menjadi Guru” ini, kakak ketigaku kembali dipanggil menghadap Allah SWT.
Semoga Allah SWT menerima segala amal baik, ibadah, dan menerangkan kuburnya. Terima kasih kepada guruku, motivatorku Bapak Moh. Haris Suhud, S.S. dan rekan-rekan semuanya atas kesempatan mengisahkan kepingan hidup dalam tulisan ini.
Cintailah pekerjaan ini. Banggalah menjadi guru. Pengetahuan yang kita miliki, perjalanan dan pengalaman hidup kita bisa menjadi contoh dan teladan berharga bagi putra-putri dan murid-murid kita.
Hidup ini seperti sebuah buku. Jika kita tidak membukanya maka kita tidak akan tahu apa yang ada di dalamnya. Jika kita tidak berani melangkah kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya dalam kehidupan ini.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
*Meniti Jalan Menjadi Guru (MJMG) adalah konten serial yang mengisahkan perjalanan dan pengalaman menjadi seorang guru yang ditulis sendiri oleh nama bersangkutan. Tayang eksklusif di NaikPangkat.com dan akan dibukukan dalam sebuah antologi dengan judul “Meniti Jalan Menjadi Guru”