Self-protection di era digital – Pada era digital informasi sangat mudah didapat dimana-mana, bahkan dapat diibaratkan era digital sebagai tsunami informasi. Hal tersebut terjadi karena informasi datang ke kita tanpa permintaan. Informasi datang melalui beragam kanal dan sumber. Melalui media sosial, melalui media elektronik, hingga melalui televisi.
Seorang ahli berpendapat, Keen (2008: 03) menyebutkan blogging telah menjadi hobi masyarakat sehingga blog baru dibuat setiap detik setiap menit setiap jam setiap hari.
Dengan kata lain, tiap hari terdapat puluhan hingga ratusan informasi yang diproduksi dan datang ke kita. Dalam hal ini, muncul kontradiksi masyarakat informasi yaitu, di satu pihak terjadi banyak dan kebanjiran informasi dan pada saat yang sama terjadi kesulitan masyarakat untuk mencerna informasi yang diterima (Wuryanta, 2014: 139).
Ditengah banjir informasi seperti ini, sangat sulit membedakan mana informasi yang benar dan informasi yang salah, mana yang proporsional dan mana yang berlebihan. Tidak jarang praktik distorsi informasi dilakukan. Praktek distorsi informasi ini lazim dilakukan dengan menambah atau mengurangi informasi baik yang menyangkut opini maupun ilustrasi faktual, yang tidak sesuai dengan sumber aslinya dengan akibat makna menjadi berubah (Anom, 2007: 126).
Ibarat beberapa orang tuna netra diminta menilai seekor gajah, padahal tiap orang tuna netra tersebut hanya menyentuh satu bagian ekor gajah. Seorang tuna netra yang hanya memegang telinga gajah mendeinisikan bahwa seokor gajah adalah tipis ibarat kipas.
Hal ini dapat diibaratkan dengan seorang tuna netra lain yang hanya memegang kaki gajah mendefinisikan seekor gajah adalah bagaikan tabung besar. Seorang tuna netra yang lain yang hanya memegang gading gajah mendeinisikan bahwa gajah adalah hewan yang sangat keras dan agak bulat. Ketiga definisi yang diberikan orang tuna netra tersebut kesemuanya ada pada seekor gajah, namun definisi yang diberikan juga belum sepenuhnya benar.
Halaman Selanjutnya
Pengaruh Perkembangan IT Terhadap Proses Pembelajaran
Tantangan pembelajaran di era digital tidak lepas dari sejarah perkembangan pemanfaatan teknologi berbasis ICT dalam dunia pendidikan. Jika menengok 20 tahun terahir, perangkat lunak berbasis ICT berkembang sangat cepat. Dimulai dari muncul dan maraknya penggunaan microsoft word pada awal tahun 1990 sampai dengan pertengahan 90an. Setelah perangkat lunak berbasis perkantoran (ofice) tersebar dan mendominasi, berikutnya diikuti oleh muncul dan berkembangnya perangkat berbasis pada internet (online) pada dekade yang sama, ahir tahun 1990an.
Setelah munculnya blog di akhir tahun 1990an, yang diikuti maraknya kemunculan media sosial sebagai fenomena komunikasi baru di era digital. Dalam konteks Indonesia, pemanfaatan media sosial di pioneri oleh frienster yang muncul pada awal tahun 2002, kemudian diikuti oleh maraknya facebook pada tahun 2006, kemudian youtube, tweeter dan google drive pada tiga tahun berikutnya secara berturut-turut (Sosiawan, 2011: 67). Hal ini mengindikasikan pertumbuhan gaya komunikasi baru di era digital mengalami transisi yang serius pada awal tahun 2000 hingga tahun 2006.
Transisi gaya komunikasi yang terjadi adalah masyarakat mulai terbiasa berkomunikasi jarak jauh tanpa harus bertemu bertatap muka langsung dengan lawan bicaranya. Termasuk yang menyertai perubahan pola komunikasi dan informasi setelah tahun 2000 adalah bergesernya budaya komunikasi masyarakat dari bahasa lisan menggunakan lisan kepada penggunaan bahasa lisan namun menggunakan medium tulisan. Hal ini sangat berbeda dengan yang terjadi pada periode sebelumnya dimana orang menggunakan tulisan untuk menerapkan budaya tulis, dan menerapkan budaya lisan dengan medium lisan.
Apa saja Peran Guru di Era Big Data?
Peran guru di era digital mengalami pergeseran jika dibandingkan dengan peran guru di era sebelumnya. Sesuai dengan konsep pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, dikenal istilah pola pembelajaran berbasis TIK. Mengacu pada kategorial yang dilakukan Sudjana & Rivai (2007: 110-111), terdapat minimal empat pola pembelajaran yang berhubungan dengan media dan sumber belajar, yang masing-masing pola memiliki konsekuensinya masing-masing.
Halaman Selanjutnya
- Pola pertama adalah guru sebagai pusat sumber belajar. Sumber utama informasi dan pengetahuan siswa adalah bersumber dari guru. Tidak ada peran media dan sumber belajar lain yang mendominasi selain guru. Pola pertama ini sering disebut dengan istilah pola tradisional 1. Pola ini sangat jelas pembelajaran hanya berpusat pada guru dan menggunakan paradigma teacher centered.
- Pola kedua adalah pola pembelajaran guru dengan media. Pada pola yang sering disebut pola pengajaran dibantu media ini peran guru masih dominan. Fungsi media hanya sebagai pendukung peran utama guru. Paradigma yang menggambarkan pola ini masih pada paradigma teacher centered.
- Pola ketiga mulai ada pembagian peran antara guru dengan media pembelajaran. Pada pola ini mulai terdapat penurunan peran guru yang terdelegasi pada peran media sekaligus sebagai sumber belajar. Pada pola ini meskipun belum sepenuhnya menggunakan paradigma student centered, namun paradigma teacher centered pun sudah mulai berkurang porsinya pola ketiga ini sering disebut dengan istilah pola pembelajaran guru dan media. Adapun pola terakhir adalah pola pembelajaran bermedia. Pada pola ini. terlihat bahwa pembelajaran diharapkan berpusat langsung pada siswa (student centered). Apabila menggunakan media pembelajaran diharapkan guru hanya sebagai fasilitator dan tidak lagi sebagai sumber belajar utama dalam pembelajaran di kelas.
- Pola keempat yaitu pola pembelajaran bermedia. Diera big data seperti saat ini, like or dislike peran guru semakin tergeser dengan adanya sumber-sumber belajar lain yang diantaranya adalah media berbasis online data. Guru tidak bisa memaksakan diri tetap sebagai sumber utama sedangkan teknologi telah memaksa hampir seluruh aspek sosial-budaya masyarakat untuk berubah, termasuk diantaranya pada bidang pendidikan.
Pada kenyataannya di era big data ini yang dibutuhkan adalah pola ketiga yaitu pola pembelajaran guru dan media atau bahkan pola keempat yaitu pola pembelajaran bermedia. Di era big data seperti saat ini, like or dislike peran guru semakin tergeser dengan adanya sumber-sumber belajar lain yang diantaranya adalah media berbasis online data. Guru tidak bisa memaksakan diri tetap sebagai sumber utama sedangkan teknologi telah memaksa hampir seluruh aspek sosial-budaya masyarakat untuk berubah, termasuk diantaranya pada bidang pendidikan.
Bagaimana Validasi Informasi Di Era Big Data pada Siswa?
dibutuhkan validasi informasi serta mengajarkan validasi informasi dalam bentuk yang sederhana kepada peserta didik
sekolah. Terdapat beragam cara untuk melakukan validasi informasi diera big data guna memastikan informasi yang diterima adalah benar dan juga utuh. Informasi yang diterima bukan sebuah profokasi, juga bukan inah dan juga bukan informasi yang menyesatkan. Beberapa cara sederhana yang dapat guru ajak dan ajarkan kepada siswa untuk melakukan validasi informasi diantaranya adalah:
- Melakukan penelusuran lebih lanjut jika dalam informasi yang diterima menyebutkan sumber utama informasi tersebut. Penelusuran lebih lanjut adalah melihat dan membaca secara langsung informasi pada sumber yang lebih primer, jika informasi yang di peroleh saat itu adalh sumber sekunder atau tertier.
- Melakukan perbandingan sumber. Saat ini telah sangat mudah untuk melakukan proses pembandingan informasi yang didapat dari salah satu kanal dengan informasi dari kanal yang lain. Proses pembandingan ini akan meminimalisasi proses terjadinya persebaran informasi yang tidak utuh terlebih informasi yang benar-benar salah.
- Memperhatikan sumber informasi. para peserta didik di era digital sudah saatnya diajarkan tentang pentngnya mengakses informasi dari sumber-sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Salah satu ciri sumber belajar yang dapat dipertanggung jawabkan adalah terdapat kejelasan dan kepastian siapa penanggung jawab dibalik beredarnya informasi atau kanal informasi tersebut.
Tiga cara tersebut merupakan yang dpat dilakukan dengan sederhana dan dibiasakan peserta didik untuk mulai membiasakan berpikir kritis terhadap semua informasi yang didapat, khususnya di media sosial. Dengan membiasakan melakukan crosscheck dan pembandingan (tabayyun) maka diharapkan akan membawa kebiasaan siswa untuk berpikir kritis dan tidak mudah diombang-ambing oleh informasi.
Sumber: Prosiding Inovasi Pendidikan Di Era Big Data dan Aspek Psikologinya
Penulis: WDS