- Langkah pertama
Anak yang berhadapan dengan hukum atau yang sering di sebut dengan (ABH) merupakan anak yang berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun. Dengan kata lain umur 12 tahun merupakan ambang batas anak bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya. Meskipun tidak secara penuh seperti halnya pada orang dewasa.
Masa anak-anak adalah masa pengembangan diri, untuk itu masih di perlukan banyak pengajaran dari orang tua. Serta juga lingkungan sekitar yang juga memiliki peran besar dalam pembentukan perilaku anak tersebut. Anak yang berhadapan dengan hukum atau (ABH) perlu memperoleh perhatian khusus, terutama dari pihak penyidik, hakim, penuntut umum, pembimbing kemasyarakatan, dan bahkan juga lembaga pembinaan khusus anak.
- Langkah kedua
Selain daripada itu juga di perlukan peran serta Lembaga-lembaga terkait seperti halnya advokat, Pekerja Sosial Profesional (Peksos), Tenaga Kerja Sosial (TKS), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Selama proses semuanya penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai dari tahap penyidikan hingga dengan tahap pembimbingan anak akan di dampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK).
Dalam proses penyidikan terhadap perkara yang di lakukan oleh anak, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran-saran dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak pidana di laporkan atau di adukan. Selanjutnya pihak Balai Pemasyarakatan (Bapas) menyerahkan hasil penelitian kemasyarakatan paling lama kurang lebih 3 hari sejak permintaan penyidik. PK (Pembimbing kemasyarakatan) dalam hal tersebut juga bertindak sebagai salah satu pendamping dari anak yang berhadapan dengan hukum. Di mana PK akan mendampingi anak tersebut selama proses praperadilan, peradilan dan pasca peradilan.
- Langkah ketiga
PK juga memiliki kewajiban untuk melakukan bimbingan, membantu, dan mengawasi anak tersebut setelah proses peradilan. Seperti halnya yang sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 34 ayat (1) tentang pengadilan anak yang menjelaskan tugas pembimbing kemasyarakatan.
Penanganan perkara pidana terhadap anak tentu saja jauh berbeda dengan penanganan perkara terhadap dewasa. Dalam hal tersebut penyelesaian perkara pidana anak harus mengupayakan kepentingan terbaik untuk para anak, baik dari segi fisik maupun psikologisnya. Sebagaimana yang telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mengamanatkan sistem peradilan untuk anak yang berhadapan dengan hukum wajib berlandaskan Restorative Justice. Restorative Justice adalah salah saty proses pengalihan dari proses pidana formal ke informal sebagai alternatif terbaik dalam penanganan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana.
- Langkah keempat
Penghukuman khusus untuk anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) tidak di dasarkan pada pencapaian keadilan bagi korban atau “pembalasan”, melainkan menekankan pada “pemulihan” yang mengutamakan prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak. Maka dari itu di butuhkan suatu cara dan prosedur untuk penyelesaian perkara, yang salah satunya merupakan tindakan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Salah satu bentuk keadilan restoratif yaitu dengan diversi atau lebih di kenal dengan sebutan musyawarah atau mufakat.
Halaman Selanjutnya
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya