Oleh Hj. Maspa S. Puluhulawa, S.Pd., M.M
Kepala SMPN 1 Sampit
Program Diploma 1 (D-1) yang dibuka Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) di Gorontalo mengantarkan saya harus menjadi guru. Profesi ini bukan yang saya cita-citakan. Pilihan ini didasari ketidakmengertian.
Di awal-awal kuliah, saya termenung bimbang. Pilihan mengundurkan diri mengisi pikiran. Namun seketika, wajah ayah dan ibu membayang. Beliau selalu membanting tulang mengais rezeki buat putra-putrinya demi pendidikan. Tak tersadar pipiku telah berurai air mata.
Sungguh dana yang lumayan besar telah dikeluarkan selama pendaftaran kuliah. Apalagi setelah ditambah biaya yang lain. Haruskah ini dibuang sia-sia? Dengan badan gemetar, saya menyusuri lingkungan kampus. Langkah terhenti ketika mata saya menatap musholla. Saya cari jawaban melalui istikharah. Apakah ini jalan yang dipilihkan Tuhan?
Dari lulus SMP, saya tidak pernah memiliki keinginan untuk menjadi guru. Karena itulah, saya melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Atas (SMA) bukan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Lulus SMA orang tua menyetujui saya kuliah. Ayah dan ibu menyediakan biaya. Berdirinya Kampus FKIP UNSRAT Cabang Gorontalo menambah semangatku untuk melanjutkan kuliah. Mendaftar pun langsung saya lakukan pada saat beberapa tahun dibukanya program D-1. Tahun 1983, tertera nama saya sebagai mahasiswa jurusan Matematika.
Ada satu tahapan yang sangat mengejutkan. Mahasiswa D-1 ternyata harus melakukan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) melalui praktik mengajar. Saya merasa sangat ragu. Pasalnya saya baru lulus SMA. Tiba-tiba harus praktik menjadi guru. Saya sangat terbebani. Kondisi itu membuat saya merasa harus berjuang. Beberapa teman ada yang ingin mengundurkan diri karena tidak siap melakukan praktik itu. Alhamdulillah! Saya tidak menyerah.
Dengan penuh perjuangan, saya menyusun satuan pelajaran (Satpel). Dengan berbagai upaya, saya membuat alat peraga. Dengan segala kemampuan, saya curahkan seluruh pikiran dan tenaga untuk berani memandu pembelajaran di kelas. Akhirnya, saya bisa berdiri di depan para siswa untuk mengajar Matematika dengan baik. Hari-hari itu terasa sangat mendebarkan hati.
Desember 1984, Surat Keputusan (SK) saya terima. Namun bukan bahagia yang saya rasakan. Air mata saya luruh. Dalam SK tersebut tertulis bahwa saya akan ditempatkan di SMPN 1 Kuala Jelai, Kabupaten Kotawaringin, Provinsi Kalimantan Tengah. Tempat itu entah di mana yang artinya saya harus berpisah dengan orang tua dan keluarga. Air mata kembali berhambur.
Sekejap saya teringat surat perjanjian bahwa lulusan D-I memang harus siap ditempatkan di seluruh penjuru Tanah Air. SK ini harus diterima dan dijalankan. Maka saya kuatkan keyakinan dengan datang ke hadapan Tuhan. Tantangan ini pasti disertai dengan petunjuk dan kekuatan dari Tuhan untuk saya menghadapinya. Perasaan sedikit terhibur, ketika terbayang, seperti pada umumnya, SMPN 1 pasti dibangun di tengah kota. Apalagi, kabupatennya bernama Kotawaringin.
Perjalanan panjang lewat darat, laut, udara, dan sungai harus saya tempuh dengan kekuatan hati. Perjalanan kemudian berhenti di Kantor Wilayah (Kanwil) Pendidikan dan Kebudayaan Palangkaraya, Ibu Kota Kalimantan Tengah (Kalteng). Tak disangka, ternyata pejabat Kanwil memberikan alternatif lain dengan tujuan membantu saya pindah ke sekolah yang baru. Alasannya, saya seorang perempuan muda, belum berpengalaman, dan lokasi tugas sebelumnya hanya dapat dijangkau dengan perjalanan darat dan sungai yang sangat berat. Sekolah itu ternyata berada di wilayah pedalaman berbatasan dengan wilayah Kalimantan Barat. Akhirnya saya batal mengemban tugas di sekolah yang tertera di SK pengangkatan pertama itu.
Dengan SK yang baru, saya dipindah ke SMPN 3 Kuala Kapuas. Solusi yang saya rasakan bijaksana itu ternyata berbuntut masalah. Kesalahan prosedur membuat saya sebagai calon pegawai (capek) dengan gaji Rp 26.000 tidak bisa menerima upah selama empat bulan pertama. Tidak terbayangkan beratnya beban saat itu. Hidup di kampung orang tapi tidak memiliki penghasilan dan numpang hidup di rumah penilik SD.
Beban itu membuat saya bertekad untuk mencari solusi di Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Palangkaraya. Perjalanan menyusuri sungai menggunakan bis air saya tempuh selama 12 jam dari Kuala Kapuas. Sebagai orang baru dari luar daerah, banyak masalah yang harus saya hadapi saat melakukan pengurusan. Bingung, sedih, dan perasaan galau lainnya bercampur aduk menguasai perasaan. Tanpa saya sadari, air mata mengucur tidak dapat saya tahan lagi di tengah perjalanan tersebut.
Akhirnya, layanan datang dari pegawai Kanwil. Hasilnya, disampaikan ada orang yang akan membantu saya. Orang tersebut namanya Pak Ishak Pakaya, bermarga khas Gorontalo. Saya pun mulai merasa lega. Saat diurus di Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) Palangkaraya, nama saya tidak terdata. Bersyukur, kebijakan memindah tanpa sepengetahuan itu, akhirnya membuat saya tidak disalahkan. Pihak Kanwil memberitahu pihak KPN bahwa kebijakan memindahkan sebelum SK PNS diserahkan tanpa sepengetahuan saya. Hasilnya sangat melegakan.
Adapun kondisi lingkungan sekolah tempat tugas pasang surut, tetapi tidak menyurutkan semangat. Satu sama lain saling menghibur. Sekolah itu memiliki tiga ruang kelas dengan guru sangat terbatas. Lingkungan sekolah berada di wilayah pasang surut air sungai. Saat pasang, jalan ke sekolah selalu tergenang. Setiap hari kami bersama-sama dengan siswa mengerjakan berbagai ragam pekerjaan. Selain belajar mengajar, juga bekerja menata halaman, mengambil tanah untuk menimbun jalan agar lebih tinggi sehingga dapat dilewati saat ada genangan air. Menjalankan tugas semakin menyenangkan ketika datang tiga teman angkatan tahun 1986 dari Gorontalo. Semangat mengajar semakin kuat.
Sebagai seorang gadis, tanpa saya sadari ternyata para guru muda dan pemuda di sekitar kampung banyak yang menaruh simpati. Kondisi ini menimbulkan gejolak tersendiri.
Setiap malam, kami, para guru yang tinggal di rumah kos menonton TV di kediaman wakil kepala sekolah. Berbeda dengan teman-teman, saya tidak suka bercengkerama. Selesai menonton, saya langsung pulang. Karena itu saya merasa tidak ada masalah ketika istri Wakasek kurang bertegur sapa dengan saya.
Setelah berlangsung cukup lama, baru saya mengerti, teman-teman menyampaikan bahwa saya dinilai paling berbeda sehingga istri Wakasek itu menaruh cemburu. Padahal saya merasa tidak pernah berbuat apa-apa. Saya selalu menjadikan semua pria yang mendekati sebagai teman baik. Dan saya tetap fokus bekerja dan tidak berniat untuk berpacaran.
Kemudian datanglah seorang pria bernama Ishak Pakaya yang dulu membantu saya dalam mengurus masalah gaji di Kanwil. Selanjutnya saya panggil beliau Pak Ishak. Lewat surat, beliau menyampaikan niat akan jalan-jalan ke tempat tugas saya. Karena teman sekelas kakak saya, maka saya berpikir baik saja. Pak Ishak yang pindah setelah lima tahun bertugas di SMPN 2 Muara Teweh ke Palangkaraya untuk melanjutkan studi di Universitas Palangkaraya (Unpar/UPR) itu saya nilai pemeluk agama yang baik. Saat melihat foto keluarga saya, Pak Ishak cerita bahwa sangat mengenal kakak saya sewaktu SMA, sebagai teman yang selalu juara 1.
Dengan percaya diri, beliau menyampaikan niat tulus untuk lebih dekat dengan saya dengan menunjukkan KTP sebagai penguat identitasnya. Dia masih bujang dan berasal dari kampung yang sama dengan saya. Untuk memantapkan hati, saya bersujud memanjatkan doa untuk mendapatkan pilihan tepat yang diridhoi Tuhan. Usai doa, saya tidak memiliki alasan untuk menolak. Yang menguatkan, saya melihat agamanya sangat kuat. Tanpa berpacaran, tanpa memandang kekurangan, dan berniat saling melengkapi, tahun 1987 kami menikah.
Dengan alasan ikut dengan suami, saya bisa pindah tugas ke SMPN 1 Palangkaraya. Dan dengan alasan memenuhi kebutuhan guru, tahun 1988 saya dipindah ke SMPN 2 di kota yang sama. Untuk mendukung profesi, saya langsung melanjutkan studi ke jenjang Diploma 3 (D-3) di Unpar yang saat ini bernama UPR. Belum lama bertugas di sekolah tersebut, datang program pengiriman guru Matematika ke Jogjakarta untuk dijadikan guru inti. Persyaratannya adalah guru harus sudah lulusan D-3, yang kebetulan masih sangat jarang lulusan tersebut mengajar di SMP.
Ketika info tersebut disampaikan oleh kepala sekolah, kekhawatiran kurasakan. Tangis pun pecah. Saya tidak mau. Saya pikir kehidupan di pulau Jawa yang sangat ramai dan penuh sesak penduduk itu sangat menakutkan. Namun teman di SMPN 2 memberikan penguatan. Teman sejurusan itu menasihati agar saya bersyukur karena kesempatan baik itu tidak akan terulang. Dorongan teman itu saya bawa dalam doa. Allah SWT saya rasakan memberikan pilihan. Akhirnya saya mengikuti kegiatan itu bersama bersama guru dari SMA Kuala Kapuas di mana kami tidak saling mengenal.
Saya menyadari tidak pintar dan hanya memiliki kecakapan sedikit saja. Kegiatan tiga minggu di Gedung PPPG Matematika Yogyakarta diikuti oleh guru-guru dari 27 Provinsi. Makanan manis yang disediakan panitia ditolak oleh penyuka makanan pedas. Olahan laut yang digoreng kering tidak dapat dikonsumsi oleh guru dari kepulauan yang terbiasa makan ikan segar seperti Maluku dan Nusa Tenggara. Tapi saya berusaha menyesuaikan dengan apapun yang disajikan.
Kembali ke daerah asal setelah kegiatan tersebut, motivasi saya sebagai guru makin menguat. Status sebagai Guru Inti harus saya emban dan berlanjut menjadi Guru Inti di Kotamadya Palangkaraya, dan puncaknya menjadi instruktur Provinsi.
Tahun berikutnya, suami mendapat amanat menjadi Kepala SMPN 1 Sampit. Saya harus mengikuti.
Berkat pengembangan profesi yang juga saya geluti, pemerintah Kotawaringin Timur pada tahun 2008 memberikan kepercayaan pada saya sebagai kepala SMPN 8. Sekolah itu relatif baru. Kondisi sekolah sangat memprihatinkan. Saat acara serah terima jabatan, mata saya terbelalak dengan getaran hati yang sangat tersentuh. Tamu dan para siswa yang hadir harus bertelanjang kaki karena genangan air di lapangan dan masuk ke ruang kelas setinggi ± 25 cm. Gedungnya penuh coretan dan jendela ruang kelas banyak yang pecah. Padahal, sekolah itu berdekatan dengan Kantor Dinas Pendidikan.
Ketika berkesempatan mengikuti acara kopi morning bersama Bupati Kotawaringin Timur, saya manfaatkan untuk mengadukan masalah sekolah. Alhamdulillah, dukungan berbagai pihak terealisasi. Pengecatan gedung dan penimbunan halaman dilakukan sehingga kegiatan upacara bendera, apel pagi, dan senam pagi dapat dilaksanakan dengan layak.
Pengembangan selanjutnya tertuju kepada penguatan kinerja guru. Kebiasaan masuk jam tujuh dan pulang jam sepuluh atau paling lama jam sebelas mendapat layanan pembinaan sehingga semua program dilaksanakan sesuai jam tugas. Penerapan ini sangat penting karena banyak orang tua siswa yang khawatir kalau terlambat menjemput, anak-anak bisa pergi ke hutan atau wilayah pemakaman untuk ikut melakukan aktivitas tidak baik. Dengan pikiran dingin, saya menjelaskan bahwa anak-anak dijamin aman dan pulang sesuai jadwal yang ditetapkan. Sejak itu, kepercayaan orang tua meningkat. Para guru mengelola pembelajaran sesuai jadwal yang menjadi tanggung jawabnya.
Pemecahan masalah selanjutnya tertuju pada administrasi guru. Secara pelan-pelan, guru saya arahkan untuk melengkapi dokumen pembelajaran. Pada tahun pertama, semua dokumen yang dibuat guru saya tanda tangani, yang penting guru memiliki dokumen administrasi. Pada tahun kedua, dokumen administrasi saya bedah secara menyeluruh melalui layanan bimbingan satu per satu guru. Perbedaan jadwal program tahunan dan program semester antar guru dan pengembangan RPP saya koreksi dengan teliti. Perbaikan saya lakukan agar guru memiliki program yang benar.
Kelanjutannya, para guru dengan senang hati datang untuk melakukan perbaikan dokumen administrasi yang diperlukan sebagai pendukung pelaksanaan tugasnya. Sebagai bahan refleksi, saya buat video dan foto wajah saat guru masuk ke ruang saya dan saat mereka keluar video dan foto menunjukkan mereka tampak mendapat pencerahan. Pelaksanaan tugas itu berdampak pada terjadinya perubahan baik pada aspek lingkungan, sarana, guru, orang tua, dan siswa. Kegiatan siswa, tugas guru, dan tugas pegawai terlaksana sesuai rencana.
Atas izin suami, saya melanjutkan studi ke jenjang S-2 di Universitas Darwan Ali (UNDA) Sampit. Saya melanglang buana di kampus tersebut sehingga bisa menempuh kuliah selesai sesuai program. Ketika beberapa teman seangkatan belum lulus dan ada beberapa yang gagal, studi saya lancar.
Sebenarnya saat S-1, saya melanjutkan karena terpaksa. Saya tidak memandang penting lulusan S-1 karena sudah mempunyai kesibukan usaha kue yang mendatangkan uang cukup untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Apalagi saat itu para tetangga turut mengompori bahwa kuliah S-1 tidak ada gunanya, karena semua jabatan sudah terisi, termasuk jabatan menteri.
Keterpaksaan itu ternyata memang ketentuan Tuhan. Buktinya, berkat jalan itu, saya bisa melanjutkan studi ke jenjang S-2. Awalnya, saya ingin menempuh S-2 program Master Pendidikan Matematika di kampus yang berada di pulau Jawa. Dengan pertimbangan suami dan anak-anak, saya pilih kampus terdekat dengan kediaman.
Magister Manajemen yang saya tempuh masih berhubungan dengan tugas sebagai kepala sekolah. Dengan kesungguhan, saya senantiasa menyelesaikan setiap tugas dengan prinsip lebih cepat lebih baik. Setiap laporan penyelesaian tugas selalu saya mintakan tanda tangan pembimbing sehari setelah tugas diberikan. Keuntungannya, substansi tugas tak terlupakan dan perbaikan dapat cepat saya lakukan.
Saat ujian karya terakhir, paparan rumus pada tesis saya dipertanyakan penguji. Saya memahami, dosen berlatar belakang sosial itu bisa jadi memilih sudut pandang berbeda dengan saya yang berlatar belakang ilmu Matematika. Rumus saya gunakan dengan maksud agar paparan lebih efektif. Setelah saya jelaskan tanpa membuka dokumen, akhirnya pengakuan kebenaran diberikan.
Saya lulus S-2 ini bersamaan dengan amanat mengemban tugas sebagai kepala sekolah yang tetap saya lakukan secara optimal. Buahnya, berbagai catatan penghargaan diberikan oleh pihak berwenang. Pertama, dinobatkan sebagai kepala sekolah berprestasi nasional setelah di tingkat Provinsi Kalteng dinyatakan sebagai terbaik I pada tahun 2011; Mendapat penghargaan dari Kementrian Pendidikan Nasional berkunjung ke Negeri China (Beijing) bersama 16 kepala sekolah berprestasi dari provinsi lainnya. Kemudian juga pernah meraih juara III dan ke IV Simposium Nasional Program Bermutu praktik baik (best practices) kepala sekolah.
Tahun 2012 pemerintah daerah memberi kepercayaan saya untuk memimpin sekolah yang lebih besar, yakni SMP Negeri 3 Sampit. Memimpin lebih banyak orang dengan latar belakang yang beragam menghadirkan tantangan yang beragam pula. Di awal kepemimpinan, selalu ada pihak yang tidak senang. Namun, setelah mengalami kebersamaan dalam menjalankan tugas, akhirnya semua dapat menerima dengan baik.
Berbagai perubahan menuju lebih baik dan berbagai prestasi tercapai di sekolah kedua yang saya pimpin ini. Penguatan kompetensi tim sekolah saya jadikan program awal. Terobosan ini sangat efektif untuk meningkatkan kinerja. Para guru dan pegawai yang semula terbiasa bekerja dengan santai akhirnya terbawa dalam arus irama kerja yang saya kembangkan. Akhirnya, mereka mau untuk mengikuti dan menjalankan apa yang sudah disepakati.
Pendampingan dan pembibingan kepada para guru dan pegawai membuat mereka menunaikan tugas dengan penuh kesadaran. Menurut saya, itu sudah merupakan prestasi dalam menjalankan tugas memimpin sekolah.
Bertumbuhnya komitmen tim sangat saya rasakan. Hal itu semakin ternyatakan pada saat saya harus mutasi. Saat harus mutasi dari SMPN 3 Sampit, beberapa guru mengungkapkan bahwa kepemimpinan saya masih sangat dibutuhkan oleh sekolah besar yang memiliki siswa lebih dari 800 orang dengan 60 tenaga guru dan pegawai itu. Bahkan, beberapa guru yang awalnya tidak senang dengan kehadiran saya datang menyampaikan pengakuan dan penyesalan. Mereka meminta maaf karena pada saat mendengar saya akan memimpin sekolah, mereka berupaya menggagalkan dengan membuat surat penolakan. Setelah harus berpindah, mereka mengakui sangat merindukan kebersamaan, keterbukaan, dan ketegasan yang menjadi karakteristik kepemimpinan saya.
Saya sangat beruntung, memiliki suami yang selalu mendukung. Kami selalu melihat sisi positif atas perjalanan hidup ini. Suami tidak pernah protes apapun soal apa yang saya kerjakan. Kami membangun rumah tangga dengan dasar saling percaya. Ke mana saja saya berkarya dan ke manapun suami berkarya kepercayaan selalu menjadi penguatnya. Semua kami curahkan untuk kebermanfaatan bagi keluarga dan semua pihak yang berkaitan.
Lebih dari itu, saya masih memiliki banyak keinginan untuk selalu bisa berguna bagi siapa saja. Saya selalu beraktivitas dan tidak dapat berdiam diri dengan harapan dapat bermanfaat bagi orang lain. Masalah materi duniawi, saya merasa sudah cukup. Tidak ada materi yang dibawa mati. Yang lebih berdaya guna adalah ilmu dan amal, sehingga saya selalu berupaya menambah sepanjang waktu. Melalui ide, gagasan, dan amal, saya berkeinginan hal itu dapat digunakan orang lain dan diterapkan oleh generasi selanjutnya. Dengan demikian, semua terdorong untuk memajukan diri demi kemajuan pendidikan. Saya boleh tua tetapi sekolah yang pernah saya pimpin dan anak-anak generasi penerus harus terus maju kesempatan selanjutnya.
Saya bahagia mengikuti jalan pilihan Tuhan ini. Di awal berbakti, kami sama-sama berjuang dari profesi guru biasa. Kemudian suami mengemban tugas sebagai kepala sekolah. Tak berselang lama, ternyata amanah sebagai kepala sekolah juga diberikan kepada saya.
Di puncak karier sebagai pengawas sekolah, suami memutuskan untuk pensiun dini. Sebenarnya saya ingin menyampaikan kata “jangan”. Tetapi, saya tidak bisa menyanggah apa yang menjadi pilihan suami. Suami ingin beralih profesi. Beberapa waktu sebelumnya, suami saya setelah beberapa tahun menjalankan tugas sebagai pengawas sekolah mengatakan bahwa pekerjaan yang diemban dirasakan belum sepadan dengan nilai gaji yang diterima.
Tapi bagaimanapun, keputusan melakukan pensiun dini itu tetap menghantui hari-hari saya. Saya mengkhawatirkan suami akan stres setelah pensiun dini nanti. Saya takut, suami akan merasa kesepian di rumah sebab saya masih merasa sangat bahagia saat menunaikan tugas di sekolah.
Ternyata semua kekhawatiran itu tidak terjadi. Suami telah memiliki pertimbangan yang matang. Pilihan menjalankan usaha yang selama ini sudah dirintis lebih membuatnya merasa lebih berbahagia. Tidak sedikitpun tampak ada penyesalan. Alhamdulillah.
Suami berganti profesi sebagai petani dengan mendidik para pekerjanya dalam suasana penuh bahagia. Kebahagian itu menambah semangat saya untuk tetap menunaikan tugas di bidang pendidikan.
Dalam kondisi seperti itu, semua rencana keluarga terlaksana. Anak-anak membangun keluarga dengan pasangan masing-masing yang menjadikan keluarga kami lebih beragam. Budaya Gorontalo, Bali, dan Jawa menyatu dalam keluarga kami.
Beberapa tahun lalu, saya menerima undangan pelantikan untuk pindah tugas ke SMPN 1 Sampit. Kepercayaan untuk memimpin sekolah tersebut saya sambut dengan baik dan berupaya secara optimal dalam melaksanakan tugas sesuai peraturan. Saya bersyukur, tim sekolah berkomitmen untuk mempertahankan bahkan meningkatkan berbagai ukiran prestasi.
Perbaikan saya lakukan melalui penguatan kinerja dan pemberdayaan potensi secara menyeluruh. Maka berbagai keberhasilan yang membanggakan tercapai, salah satunya pada tahun 2017 mengukir nilai 100 UNBK pada sejumlah mata pelajaran dan dinobatkan sebagai pencapai nilai tertinggi dan terbaik untuk wilayah Kalimantan Tengah. Capaian itu akan menjadi kesan tak terlupakan yang memang merupakan cita-cita saya. Melalui capaian UNBK tersebut, kualitas dan tingkat penguatan nilai kejujuran siswa dapat diukur dengan validitas tinggi.
Di ambang waktu menjelang masa bakti berakhir, saya berkeinginan dapat tetap terus berkarya, sebagai guru bagi siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Keinginan itulah yang membuat saya tergerak terus menulis, untuk ditinggalkan sebagai jejak hidup di dunia ini.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
*Meniti Jalan Menjadi Guru (MJMG) adalah konten serial yang mengisahkan perjalanan dan pengalaman menjadi seorang guru yang ditulis sendiri oleh nama bersangkutan. Tayang eksklusif di NaikPangkat.com dan akan dibukukan dalam sebuah antologi dengan judul “Meniti Jalan Menjadi Guru”