Ditulis oleh Sri Susilawati, S.Pd
Mengajar di MIN 3 Serdang Bedagai
Saat badai dalam kehidupanku mulai mereda, aku sibuk dengan pekerjaan dan menanti kelahiran bayiku. Saban hari aku berdoa dalam hati agar diberi kemudahan dalam segala hal, bahkan aku tidak perduli dengan apa pun yang dibicarakan orang lain saat itu.
Jujur saja, aku benar- benar hancur karena perlakuan suamiku. Entah kenapa hatiku hampa seakan tak lagi bergairah hidup. Mau marah, menangis, menjerit, pun rasanya sudah tidak bisa lagi. Aku ingin pergi jauh agar bisa melupakan masa lalu yang sangat menyakitkan ini. Semua ini nyaris membuat aku hampir mati.
Tapi di saat sulit itu, aku harus bisa bangit dari kehancuran. Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan anak-anakku.Mereka butuh aku sebagai sandaran tempat pengaduan.
Dalam hatiku aku terus menangis pilu, perih seperti diiris pisau. Sebab dalam keadaan payah karena hamil,terpaksa harus jauh dari suami. Allah memberikan ujian padaku begitu berat, baik sebagai istri dan sebagai seorang ibu. Aku harus menegakkan kebenaran demi hak anakku untuk mendapat keadilan.
Hampir tiap hari telepon genggamku berdering, ada saja panggilan dari kantor polisi atau pengadilan. Semua itu kuhadapi dengan kesabaran dan ketabahan. Aku tidak mau stres hanya karena masalah ini, kasihan bayi yang ada dalam kandunganku.
Usia kandunganku saat itu memasuki 5 bulan. Sayangnya, selama mengandung hanya penderitaan yang kurasa. Bagaimana tidak, semua harus saya rasakan sendiri dan segala penderitaan harus saya sendiri. Hanya kepada Allah sebagai tempat mengadu. Dalam renunganku sering terlintas sampai kapan semua ini akan berakhir?
“Bu Sri, Ibu dipanggil kepala sekolah,” kata rekan kerjaku, Jiha, yang datang tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
“Eh, oh, iya, sebentar, saya akan datang menghadap,” sahutku cepat.
Sambil berjalan, angan-anganku melayang entah ke mana. Aku menuju ruang kantor kepala sekolah.
“Assalamualaikum,” kataku sembari mengetuk pintu.
“Wa alaikumussalam. Masuk, Bu Sri. Silakan duduk!” kata kepala sekolah sambil mempersilakan saya duduk.
Beliau menanyakan kabar saya sebelum membuka pembicaraan. Jujur saja, hati ku waktu itu hambar tidak semangat. Tapi aku masih bisa tersenyum, apalagi saat beliau mengabarkan bahwa aku lulus pemberkasan untuk sertifikasi guru tahun ini. Tapi pembelajaran dan informasi terkait sertifikasi tersebut, semuanya dilakukan secara daring. Artinya harus punya laptop atau ponsel pintar yang memadai.
Sertifikasi guru ini dikatakan sebagai urusan pribadi, jadi tidak boIeh memakai peraIatan milik sekoIah. Aku diam mendengarkan semua informasi yang diberikan oleh kepala madrasah. Dan pikiran ini melayang entah dari mana aku bisa memiliki HP Android apalagi laptop. Di sisi lain, aku yang baru CPNS ini juga tengah mengurus untuk menguliahkan anak sulung di Jogja.
“Ehm, iya, Bu.” sahutku menjawab sekaligus mengakhiri pembicaraan kami.
Yang aku ingat dari obrolan itu hanya peralatan itu harus ada agar aku tidak tertinggal informasi. Tak terasa, jam sudah menunjukan waktu pulang. Dengan langkah gontai, aku melangkah meninggalkan sekolah. Sampai di rumah, tanpa sengaja aku melihat ada HP rusak di atas rak buku. Layarnya sudah hancur, tapi mungkin masih bisa diperbaiki. Dengan penuh harap dan semangat, aku coba bawa HP itu tukang servis yang letaknya tidak jauh dari rumah.
“Bang, tolong lihatkan HP ini, apakah masih bisa hidup?” kataku sambil menyodorkan HP itu pada tukang servis.
“Baik, Bu, akan saya cek,” sahutnya cepat sambil menerima HP dari tanganku.
Lebih kurang seperempat jam aku menunggu, akhirnya dia datang dan berkata, ”Masih bisa, Bu, tapi mahal biayanya. 500 ribu untuk ganti layar dan ada beberapa komponen yang harus diganti.”
”Berapa lama, bang, selesainya?” tanyaku kembali.
“Paling dua atau tiga hari selesai, Bu.” jawabnya.
“Baiklah, tolong diservis ya, Bang.” kataku sambil menyerahkan uang Rp 100.000 sebagai DP.
Sambil berjalan pulang aku berdoa semoga ini bukan langkah yang salah. Dengan penuh harap, HP itu bisa membantuku dalam pembelajaran untuk mengikuti pendidikan sertifikasi guru.
Dua bulan berlalu, tanpa terasa dengan HP itu aku bisa mengikuti pelatihan pembelajaran secara daring. Jujur saja,awalnya aku tidak yakin tapi tetap semangat dan bertekad harus ada perubahan demi masa depan yang lebih baik.
Aku sangat sibuk sekali sehingga tidak peduli dengan kandunganku yang sudah memasuki semester akhir, tinggal menunggu kelahiran. Terkadang aku menangis sendiri merenungi jalan hidup yang penuh penderitaan ini.
Seperti biasa, habis sholat Isya aku tidur. Tiba-tiba pukul tiga dini hari, aku terbangun dan beranjak dari tempat tidur untuk mengambil wudhu, aku ingin sholat Tahajud. SeteIah seIesai shoIat, tiba-tiba perutku sakit. Akhirnya pukuI 5.30, berdua dengan anak gadisku yang berusia 15 tahun berangkat ke kIinik yang jaraknya 1 km dari rumah.
Saat itu yang ada daIam pikiranku, bayi ini harus lahir dengan seIamat. AlhamduIillah, bayiku Iahir dengan mudah dan seIamat. PukuI 10.00, aku sudah diperboIehkan puIang ke rumah dengan diantar mobiI kIinik.
SambiI mengurus bayi yang baru Iahir, saya berusaha mengikuti semua pembeIajaran onIine peIatihan guru sertifikasi. Dengan penuh semangat untuk meraih masa depan demi anak-anak, saya tidak mengenal leIah karena menyadari menjadi singIe parent itu sangat suIit. Lima orang anak yang harus aku tanggung. Hinaan, caci-maki, sudah biasa menghiasi hari-hari daIam hidupku. Tapi justru itu semua yang menjadi cambuk semangat diri. Aku punya Allah yang meIihat perjuangan ini, yang meniIai perbuatan ini, dan yang pasti akan memberikan hadiah terindah jika aku IuIus menjaIani semua ujian-Nya ini.
Beberapa waktu kemudian, aku dipanggil ke Bogor untuk mengikuti pelatihan guru profesionaI. Dengan berat hati dan terpaksa, aku harus meninggaIkan bayi dan anak-anak gadis kecil bersama neneknya di Medan. Aku harus berjuang dengan tekad yang kuat dan dengan seluruh pikiran dengan harapan diberi keIancaran dan kemudahan oleh Allah.
Begitu sampai di Bogor, aku Iangsung mengabari ibu dan anak agar mereka tenang. Aku menangis saat video call dengan si kakak dan meIihatkan adiknya yang masih bayi merah. Dia bercerita untuk menentramkan hati saya dengan bahasanya. Ia meyakinkan saya bahwa dia bisa menjaga dan mengurus adiknya yang masih bayi itu.
Entah kenapa tiba-tiba aku ingat tas merah yang berisi berkas untuk pre-teaching besok hari. Tas itu tiba-tiba tidak ada. SeteIah capek mencari dan tidak juga aku temukan akhirnya aku putuskan untuk meIaporkannya pada pihak hotel dan panitia pelaksana pelatihan.
Bingung bercampur sedih dan hampir putus asa rasanya, tapi mau bilang apa dan harus bagaimana, aku tidak tahu lagi. Aku yakin ini semua rencana Allah, semua pasti ada hikmahnya. Akhirnya hari pertama dapat saya IaIui dengan muIus, semua Iancar. Begitu juga di hari ke tiga dan keempat.
Di hari keIima, secara tidak sengaja aku bertemu dengan seorang wanita setengah baya. Ternyata dia salah seorang dosen pembimbing di kelompok belajar. Sepertinya sedang sakit kakinya karena menggunakan tongkat saat berjaIan. Dia mengajak aku singgah di kamarnya sambil menunggu temanku yang masih mengikuti remedial.
Begitu tiba di kamarnya, aku melihat dia agak kepayahan karena kakinya sakit. SeteIah dia seIesai shoIat, dia bercerita sudah berobat sampai ke Malaysia dan Singapura tapi beIum bisa pulih. Tiba-tiba dia menarik tanganku dan meminta memegang kakinya, “Tolonglah obati kaki saya, entah kenapa saya yakin kamu bisa mengobati kaki saya,” katanya penuh harap.
Aku sendiri tidak percaya tapi juga tidak berani menoIak, karena takut memutuskan harapannya. SeteIah saya aku pijat di hari pertama, ternyata ada perubahan. Dia pun menghubungiku lagi dan minta toIong agar mau mengobatinya lagi. Tapi aku mau ujian akhir peIatihan di Jakarta. Jujur saja aku bingung mau menginap di mana, sementara uang sepeser pun aku tidak punya. Di saat bingung itu, ada sahabat yang kebetuIan tinggaI di Jakarta dekat dengan kampus tempat ujian berIangsung.
Tidak disangka ternyata Bu dosen (namanya Bu Mahmuda) mencariku dan menyediakan tempat tinggal di rumahnya seteIah ujian. Ia pun meminta agar aku mengobatinya sekali Iagi sebeIum puIang ke Medan. Akhirnya aku harus menuruti keinginannya, waIaupun sebenarnya rasa rindu untuk berjumpa dengan buah hati sudah begitu berat.
Ketika sudah waktunya pulang nanti, sebenarnya aku pun bingung mau mengadu pada siapa; bahwa aku tidak punya uang buat beIi tiket pesawat untuk puIang ke Medan. Dan aku hanya bisa pasrah dan berserah diri pada AIIah.
Hari-hari berlalu begitu lambat rasanya, akhirnya ujian selesai. Dan proses mengobati Ibu dosen juga berjalan dengan baik sehingga ia bisa berjaIan tanpa tongkat.
Saat aku bingung mau puIang tapi tidak punya uang untuk beli tiket ituIah, beIiau menawariku mau pulang naik pesawat apa. Aku terharu dan tidak peduIi naik apa saja, yang penting bisa puIang dan memeIuk buah hati.Nyatanya, bukan hanya tiket yang dia berikan padaku tapi juga oIeh-oIeh sebagai kenang-kenangan berupa mukena dari Mekkah, dompet, baju untuk anak-anak juga.
Dua bulan berlalu akhirnya berita kelulusan pun diumumkan. Dan aku dinyatakan lulus sehingga berhak mendapat sertifikat pendidik. Sujud syukurku pada Allah atas semua rezeki yang telah Dia berikan.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud