Oleh Yanuarista Satriana Hartini
Guru di SMPN 5 Lembor Selatan, Manggarai Barat
Kartini adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia yang memperjuangkan emansipasi wanita pada masa kolonial Belanda. Pada masa itu, budaya patriarki masih sangat kental di daerah Jawa, di mana perempuan tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan juga banyak hal lainnya.
Perempuan kelahiran 21 April 1879 ini kemudian tergerak hatinya untuk mengubah wawasan masyarakat terhadap perempuan, terlebih terkait kesetaraan gender. Beliau mengusulkan agar perempuan diberikan kesempatan untuk belajar dan mengembangkan bakat serta kemampuan yang dimiliki.
Perjuangan Kartini tentunya menjadi inspirasi untuk wanita Indonesia untuk terus berjuang dan mengejar pendidikan. Karena dari Kartini kita belajar bahwa pendidikan adalah kunci yang dapat membebaskan tradisi dan memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam masyarakat—karena untuk mendapatkan kesempatan tersebut sudah tidak dibatasi oleh gender.
Tentunya hal ini dapat membakar semangat wanita Indonesia bahwa kita juga memiliki hak yang sama dalam berkontribusi lewat kemampuan dan bakat yang kita miliki pada masyarakat. Misalnya dalam hal pendidikan, perempuan memiliki kebebasan dalam mengakses pendidikan yang sama dan berkualitas tanpa memandang gender.
Apakah perjuangan Kartini sudah benar-benar terwujud di era sekarang?
Pada kenyataannya, ketidaksetaraan gender masih saja terjadi pada masa seperti sekarang. Misalnya, tugas rumah tangga lebih banyak diembankan pada kaum perempuan bahkan ada yang menyatakan bahwa tugas rumah memang kewajiban yang seharusnya dikerjakan oleh kaum perempuan.
Dalam hal kepemimpinan, kaum perempuan selalu dianggap lemah; perempuan rentan menjadi korban kekerasan seperti kekerasan seksual, pelecehan, dan juga kekerasan dalam rumah tangga.
Pembedaan gender ini seringkali tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat secara umum, tapi juga masih ditemukan di lingkungan sekolah. Sebagai contoh dalam hal kebersihan kelas selalu diembankan pada kaum perempuan.
Stereotip gender pada mata pelajaran juga masih sering timbul. Misalnya, mata pelajaran seni subjeknya seringkali dikaitkan dengan perempuan dan mata pelajaran olah raga subjeknya adalah laki-laki.
Kita sebagai guru memiliki peranan penting dalam membentuk pola pikir dan membentuk keyakinan siswa dalam upaya memberikan pemahaman kepada siswa terkait kesetaraan gender dalam proses pembelajaran. Ini bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti guru memberikan pemahaman kepada siswa bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya.
Guru yang baik tentunya mampu menciptakan lingkungan belajar yang aman sehingga semua siswa baik laki-laki maupun perempuan merasa dihargai dan dihormati tanpa memadang identitas dan juga ekspresi gender.
Guru perlu bersikap adil dalam proses pembelajaran. Misalnya, dalam pengerjaan tugas secara kelompok, semua siswa diberikan kesempatan yang sama serta semua siswa mestinya merasakan tugas sebagai pemimpin kelompok.
Dalam hal kekerasan seksual pada siswa perempuan tentunya merupakan hal yang patut diwaspadai oleh guru. Karena ini berimbas pada psikologi siswi. Murid perempuan seringkali dijadikan korban pelecehan, maka dari itu tugas guru dalam menangani masalah ini adalah: guru harus melaporkan tindakan tersebut kepada pihak yang berwenang dan memastikan bahwa korban mendapatkan dukungan moril dan memastikan kejadian itu tidak terulang kembali.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk belajar dan mengejar cita-cita terlepas dari gender. Jangan biarkan batas-batas gender membatasi semangat dan menghambat semangat wanita Indonesia.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud