Meniti Jalan Menjadi Guru: Slamet Sutikno

- Editor

Selasa, 8 Maret 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh Slamet Sutikno, S.Pd. 

Guru di SDN 02 Bodas Kab. Pemalang

Tahun 70-an, Belik merupakan daerah terpencil yang sangat sulit dijangkau. Sebuah dusun yang berada di pedalaman desa Bodas, Kecamatan Watukumpul, Kabupaten Pemalang. Di sanalah tempat kelahiranku, tumbuh, dan berkembang menjadi dewasa.

Hidup di lingkungan pedalaman membuat sangat rentan dari segala keterbatasan, kekurangan, serta keterbelakangan baik keterbelakangan ekonomi, informasi maupun ilmu. Masa kecilku yang lahir di lingkungan pelosok desa sangat akrab dengan semua itu. Jalan setapak yang terjal dan lingkungan yang gelap karena belum ada jaringan listrik menjadi pemandangan yang biasa di lingkungan desaku. 

Kehidupan orang tua yang serba kekurangan menjadikanku anak yang minder dari pergaulan anak-anak kecil pada umumnya. Namun dalam pikiranku saat itu, “Aku ingin menjadi seseorang yang bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik.” minimal untuk diriku dan keluargaku

Menginjak usia Sekolah Dasar (SD), setiap hari sepulang sekolah, aku harus membantu orang tua untuk mengambil pakan ternak. Aku harus membantu menopang kebutuhan hidup keluarga. 

Setelah lulus dari SD di tahun 1990, aku melanjutkan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang jaraknya 8 kilo meter dari tempat tinggalku. Setiap hari harus jalan kaki demi keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu dan menggapai impianku. Seragam sekolah yang lusuh karena keringat dan sepatu yang bolong tak pernah terpikirkan agar diganti karena ketidakmampuan orang tua. 

Hidup di tengah keterbatasan memang sungguh menyedihkan. Untuk membantu biaya sekolah, aku harus membantu orang tua menjual hasil bumi seperti kelapa, singkong, talas, bahan sapu, kopi, jagung ke pasar setiap hari pasaran (Senin dan Kamis). Barang-barang tersebut harus aku panggul sambil berangkat ke sekolah. Ketika waktu Subuh, aku harus sudah bergegas berangkat karena takut ketinggalan sekolah. 

Setiap hari Minggu libur sekolah, aku diajak dan diajari orang tua membajak kebun, menanam jagung, atau menanam padi secara bergantian setiap musim—karena desa kami merupakan daerah persawahan tadah hujan. 

Bisa lulus dari bangku SMP di tahun 1993 merupakan suatu hal yang sangat menggembirakan dan membanggakan. Karena jumlah anak yang bisa sekolah di SMP di desa kami saat itu masih jarang. 

Di satu sisi memang sangat senang, namun di sisi lain ada rasa kecewa yang sangat dalam karena keinginanku untuk melanjutkan sekolah di SMA harus kandas karena ketiadaan biaya. Selain itu jaraknya juga sangat jauh  karena di Kecamatan kami belum ada sekolah SMA saat itu. Oleh sebab itu, aku harus menunda keinginan untuk sekolah lebih tinggi. 

Aku harus bekerja menjadi tani, mengais rumput sebagai pakan ternak. Menjadi buruh cangkul serta kuli panggulbagiku sendiri dan bagi anak-anak seusiaku bukan hal yang aneh di kampungku. Kami mendapatkan upah yang relatif murah yaitu Rp. 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah) dalam satu hari. 

Setelah menunggu dan tak ada harapan untuk bisa melanjutkan sekolah, aku putuskan untuk merantau ke Jakarta ikut tetangga yang kebetulan sudah merantau lebih dulu menjadi pembantu rumah tangga. Tiba di Jakarta, aku dititipkan pada sebuah penampungan. Dua minggu kemudian, aku diambil seorang majikan untuk bekerja di rumah seorang pengacara di daerah Jelambar, Jalan Rosela Raya, Jakarta. 

Aku bekerja sebagai asisten rumah tangga. Meski tidak betah, aku paksa diri bertahan agar kelak bisa bersekolah ketika sudah memiliki biaya yang cukup. Keinginanku untuk melanjutkan sekolah semakin kuat karena terinspirasi dengan majikan sebagai seorang Advokat. 

Ketika hampir setahun lamanya aku bekerja di Jakarta, orang tua menjemput dan memintaku untuk kembali ke desa. Aku pun akhirnya kembali demi memenuhi keinginan orang tua. 

Di desa, aku terus berpikir bagaimana caranya agar bisa sekolah.  Hingga pada suatu hari bertemu dengan seorang teman dan aku utarakan keinginan untuk sekolah. Namun tak ada biaya. Beberapa hari kemudian, atas Ridho Allah aku didaftarkan oleh seorang teman tersebut pada sekolah swasta yang berada di Kecamatan lain yang berjarak sekitar 30 kilometer dari tempat tinggalku. 

Aku putuskan tinggal bersama salah satu guru yang saat itu tinggal di kawasan sekolah. Berbekal beras dari rumah, aku numpang tinggal di sekolah. Karena tidak mungkin dengan jarak tersebut setiap hari harus pulang-pergi.

Selama tiga tahun menjalani masa sekolah di bangku SMA, seringkali aku tidak bisa membayar uang bulanan. Namun pihak sekolah memahami keadaanku. Bahkan banyak guru yang selalu memberikan motivasi untuk tetap optimis menuntut ilmu hingga akhirnya lulus dari sekolah tersebut pada tahun 1997.

Dalam pikiranku seringkali terbayang keinginan untuk tetap melanjutkan menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi di bangku Perguruan Tinggi. Keinginan itu yang sudah aku tulis pada sebuah lembar kertas putih sejak aku berada di kelas II SMP. Bertahun-tahun kertas itu aku selipkan di bawah kasur nenekku. Keinginan untuk kuliah itu selalu muncul ketika kertas itu aku ambil, aku buka, dan aku baca. Seandainya aku bisa kuliah, berbekal ilmu yang aku miliki, aku selalu membayangkan bisa mengubah keadaan hidup yang menyedihkan ini menjadi lebih baik. 

Suatu hari, aku bertemu dengan seorang teman dan bercerita bahwa di Kecamatan Randudongkal ada sebuah cabang dari perguruan tinggi swasta yang sedang membuka pendaftaran. Aku putuskan untuk mendaftarkan diri karena kebetulan biaya kuliah bisa dicicil dan bisa dilakukan sambil bekerja. Tahun 2002, dengan tekad yang kuat, aku putuskan untuk melanjutkan menuntut ilmu di Perguruan Tinggi tersebut. 

Sambil menjalani kuliah, aku mencoba magang pada sebuah sekolah dasar yang berada di dusunku sendiri yang saat itu kebetulan membutuhkan tenaga tambahan karena hanya ada dua orang guru. Itupun pendatang dari lain Kabupaten. 

Karena terdesak kebutuhan biaya kuliah,  aku tidak bisa setiap hari membimbing anak-anak sekolah. Hanya tiga hari dalam satu minggu aku masuk sekolah. Aku harus bekerja bertani. Kegiatan seperti ini terus aku jalani hingga tahun 2004. Dan akhirnya aku lulus Diploma II. 

Meski banyak celaan dari orang-orang sekitar, aku tidak pernah putus asa. Kata mereka, sekolah tinggi-tinggi di dusun tidak akan ada gunanya.  Apalagi magang di sekolah. “Siapa yang akan mengangkat menjadi seorang guru?” kata mereka. Hal tersebut tidak pernah menyusutkan niat dan keinginanku untuk tetap berjuang menuntut ilmu karena dalam pikiranku ini adalah sebuah ujian untuk hidup lebih baik di masa depan. 

Bagiku kayakinan untuk mengubah masa depan merupakan hak setiap orang dari kalangan manapun, meskipun dari keluarga miskin sepertiku. Anak-anak yang hanya lulusan SMP kemudian menjadi buruh tani atau merantau ke Jakarta, pada umumnya mengundang rasa prihatin yang mendalam.  

Secara perlahan keyakinanku dan harapanku mulai terjawab. Suatu ketika pemerintah melakukan pendataan tenaga pendidik dan kependidikan. Atas kehendak Allah, aku masuk menjadi tenaga honorer. Untuk pertama kalinya sebagai seorang guru honorer, aku mendapat honor Rp. 30.000,00 (tiga puluh ribu rupiah) setiap bulan. Sejak itulah harapan menjadi seorang pendidik menjadi semakin terang. 

Doa dan harapan selalu kupanjatkan kepada Allah semoga kelak cita-citaku untuk menjadi seorang pendidik menjadi nyata dan bisa mengubah keadaan ekonomi menjadi lebih baik. 

Setelah tujuh tahun menjadi seorang guru honorer, di tahun 2009, pemerintah daerah melakukan pengangkatan guru honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil dan aku merupakan salah satu yang masuk dalam perekrutan di tahun tersebut. Di situlah jawaban kerja kerasku dan doa orang tua terjawab. Celaan, cemoohan, dan gunjingan masyarakat sekitar tentang pentingya pendidikan mulai terkikis karena hasil kerja nyata yang aku lakukan. Allah telah mengabulkan doa sang pemimpi melalui ketekunan, keyakinan, kesabaran, serta ketidakputusasaan dalam setiap tindakan yang baik. 

Janji Allah tidak akan pernah menyimpang bahwa  “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’d 11). 

Menjadi seorang pendidik bagiku merupakan suatu hal yang sangat membanggakan karena aku mengerti betapa pentingya membangun generasi yang cakap, terampil, memiliki pengetahuan, serta mempunyai karakter yang baik sehingga tidak berpemikiran dangkal. 

Saat ini sudah banyak anak-anak di dusunku yang sudah menempuh pendidikan lanjutan hingga pendidikan tinggi yang bisa membawa kemajuan pola pikir dan sumbangsih yang nyata di tempat kami tinggal. Aku bersyukur karena setidaknya perjuanganku untuk belajar menuntut ilmu dengan segala kekurangan bisa menjadi inspirasi bagi generasi di lingkungan desaku saat ini.

Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!

*Meniti Jalan Menjadi Guru (MJMG) adalah konten serial yang mengisahkan perjalanan dan pengalaman menjadi seorang guru yang ditulis sendiri oleh nama bersangkutan. Tayang eksklusif di NaikPangkat.com dan akan dibukukan dalam sebuah antologi dengan judul “Meniti Jalan Menjadi Guru”

Berita Terkait

Memaksimalkan ChatGPT untuk Pembelajaran Berdiferensiasi dalam Kurikulum Merdeka
Dampak Positif Kecerdasan Buatan untuk Pendidikan di Indonesia 
Menggali Potensi Kecerdasan Buatan dan Etika Penerapannya di Dunia Pendidikan
Kecerdasan Buatan yang Mengguncang Dunia Pendidikan
Geogebra Media Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan
Apakah  Sosok Guru Akan Tergantikan oleh Teknologi AI? 
Kehadiran ChatGPT dalam Dunia Pendidikan, Bagai  Pedang Bermata Dua
Keajaiban Kecerdasan Buatan (AI) yang Mampu Merevolusi Dunia Pendidikan
Berita ini 3 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 20 Februari 2024 - 10:35 WIB

Memaksimalkan ChatGPT untuk Pembelajaran Berdiferensiasi dalam Kurikulum Merdeka

Senin, 19 Februari 2024 - 15:20 WIB

Dampak Positif Kecerdasan Buatan untuk Pendidikan di Indonesia 

Jumat, 16 Februari 2024 - 09:32 WIB

Menggali Potensi Kecerdasan Buatan dan Etika Penerapannya di Dunia Pendidikan

Selasa, 13 Februari 2024 - 10:50 WIB

Kecerdasan Buatan yang Mengguncang Dunia Pendidikan

Selasa, 6 Februari 2024 - 10:35 WIB

Geogebra Media Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan

Senin, 5 Februari 2024 - 10:27 WIB

Apakah  Sosok Guru Akan Tergantikan oleh Teknologi AI? 

Sabtu, 3 Februari 2024 - 15:55 WIB

Kehadiran ChatGPT dalam Dunia Pendidikan, Bagai  Pedang Bermata Dua

Sabtu, 3 Februari 2024 - 15:20 WIB

Keajaiban Kecerdasan Buatan (AI) yang Mampu Merevolusi Dunia Pendidikan

Berita Terbaru