Oleh Henik Al Husnawati, S.Pd.I
Guru di MTs. Putri Ma’arif Ponorogo
Meniti karir menjadi seorang guru adalah perjalanan yang unik bagi saya. Kita sebagai manusia hanya berencana, namun Allah yang berkuasa menentukan segalanya.
Saya dibesarkan di Kelurahan Sukorejo-Sutojayan, Kabupaten Blitar, di Provinsi Jawa Timur. Lahir tahun 1981 dari sebuah keluarga kecil yang sederhana. Saya adalah anak pertama dari tiga bersaudara.
Masa kecil yang bahagia adalah kenangan manis dalam hidup saya. Pekerjaan Ayah saya adalah sebagai guru sekaligus Kepala MI di Sukorejo. Selain itu, Ayah juga membuka pembelajaran mengaji Iqro, Al-qur’an, Tajwid, Fiqih, dan Kitab Kuning pada malam hari di rumah. Sehingga rumah kami selalu ramai dengan anak kecil, kalangan remaja, hingga orang dewasa. Mereka mengaji di rumah kami, yang datang dari lingkungan warga sekitar.
Saat saya masih kecil, usia sekolah TK-MI, saya selalu riang dan senang ketika teman-teman datang ke rumah; dan bersedih bila mereka dijemput oleh orang tuanya untuk pulang. Ketika teman-teman main ke rumah, seringkali kami bermain berpura-pura menjadi guru dan murid di dalam kelas. Saya bergaya seperti seorang guru yang menjelaskan materi di depan kelas atau menulis sesuatu di papan tulis. Sedangkan teman-teman berpura-pura menjadi murid serta mengikuti apa yang saya sampaikan. Kami sangat senang bermain bersama.
Meskipun demikian, saat itu belum terbersit cita-cita bahwa kelak ingin menjadi guru. Itu saya lakukan mungkin karena saya masih sangat kecil dan mungkin hanya terpengaruh suasana di rumah, serta sering melihat Ayah mengajar ngaji di rumah.
Tamat dari MI, saya melanjutkan pendidikan ke MTs yang jaraknya kira-kira 2 km dari rumah. Pada usia ini, Ayah sudah mulai menyuruh saya untuk membantu mengajar di MI tempat beliau mengabdi. Meski awalnya ragu namun saya terima, dan bersedia mengajar di MI. Sehingga paginya saya mengajar di MI dan sore harinya saya sekolah di MTs sampai pukul 17.00 WIB. Meskipun usia masih sangat muda, mau tidak mau saya pun dipanggil dengan sebutan “Bu” oleh murid-murid saya di MI.
Selama di MTs ini, saya aktif mengikuti berbagai kegiatan seperti Pramuka, PMR, Pentas Seni dan juga termasuk menjadi pengurus OSIS. Meski aktif di kegiatan, tapi saya berusaha untuk dapat mengatur waktu dengan seimbangantara kegiatan ekstrakurikuler dan belajar. Sehingga mulai dari semester dua hingga semester enam akhir, saya selalu meraih peringkat ke-1 dan mendapat beasiswa prestasi gratis SPP setiap bulan.
Tiga tahun mengenyam pendidikan di MTs dan tamat pada tahun 1996, kemudian saya melanjutkan pendidikan ke SMK jurusan Manajemen Bisnis. Banyak guru saya yang menyayangkan pilihan saya tersebut, karena guru-guru ingin saya melanjutkan ke Madrasah Aliyah (MA). Namun melihat kondisi ekonomi keluarga, sebagai anak tertua, saya ingin segera bekerja dan membantu perekonomian keluarga. Sehingga yang terpikirkan saat itu adalah bagaimana saya bisa memiliki keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Tidak terbayangkan sama sekali untuk melanjutkan kuliah apalagi ingin menjadi guru.
Berbagai mata pelajaran yang diajarkan di SMK, saya pelajari dengan antusias meskipun banyak mata pelajaran yang asing bagi saya, seperti asuransi, pemasaran, perpajakan, manajemen bisnis, dan perbankan. Pelajaran-pelajaran tersebut belum pernah saya temui di tingkat pendidikan sebelumya, yakni di MTs. Namun saya sangat menikmati dan menjalaninya dengan senang hati.
Selama tiga tahun menempuh pendidikan di SMK, saya selalu mendapat peringkat ke-1. Sehingga saya pun berhak mendapatkan Beasiswa Prestasi dari pemerintah sebesar Rp90.000 per bulan yang diberikan 3 bulan sekali melalui rekening tabungan Batara Pos waktu itu. Dan juga nilai danem saya tertinggi waktu itu.
Setelah tamat dari SMK pada tahun 1999, niat sebelumnya ingin langsung bekerja, ternyata berubah. Saya tertarik untuk melanjutkan kuliah S1. Saya ingin kuliah karena ingin mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan kelak harapannya bisa bekerja sebagai sekretaris di perusahaan bonafit atau di perbankan.
Keinginan melanjutkan kuliah terhambat oleh biaya. Sedangkan saya tidak tega memaksakan keinginan saya pada kedua orang tua. Sebab adik-adik saya pun masih membutuhkan banyak biaya untuk sekolah. Akhirnya saya nekad bekerja di luar negeri (Hongkong) sebagai Baby Sitter selama kurang lebih 4 tahun. Saya ingin membuktikan kesuksesan kepada kedua orang tua dan ingin melihat mereka bahagia karena melihat keberhasilan saya di luar negeri.
Namun takdir berkata lain, Ayah tercinta dipanggil oleh Sang Khaliq di usia yang relatif masih muda, kira-kira 45 tahun. Saat itu saya masih berjuang mengejar mimpi dan belum terwujud.
Mendengar berita tersebut, saya terkulai lemas. Saya terpuruk secara psikis dan berduka selama beberapa bulan lamanya. Sampai terjadilah pergulatan batin di mana saya harus ikhlas dengan ketentuan yang telah Allah berikan.
Sebab kepergian Ayah, muncul keinginan untuk melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Cita-cita yang sebelumnya ingin bekerja di perusahaan atau perbankan hilang begitu saja.
Saat kontrak kerja di Hongkong sudah habis, saya pulang ke kampung halaman untuk mewujudkan impian belajar di pesantren. Dengan restu Ibu, saya mendaftar sebagai santri di Ponpes Wali Songo, Ngabar, Ponorogo. Waktu itu sekaligus mendaftar kuliah S1 jurusan Tarbiyah di IAIRM, Ngabar, Ponorogo.
Tahun 2006, saya lulus dari Tarbiyatul Mu’allimat Al Islamiyah. Kemudian di tahun 2008 lulus pendidikan S1. Senang, haru, bercampur aduk jadi satu. Saya menyadari ini adalah lika-liku perjalanan hidup dalam mencari jati diri, sebagai muslimah yang pernah hidup di tengan-tengah orang non muslim, suka duka mengejar cita-cita, hingga akhirnya bisa meraih gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I).
Setelah itu, saya menikah. Fase kehidupan baru dimulai. Menjadi istri dan menantu di keluarga baru saya jalani dengan penuh antusias dan belajar segala hal, mulai dari masakan, minuman, cara melayani keluarga, mengurus rumah dan berbagai aktivitas di dapur.
Lambat laun saya teringat dengan ijazah S1 yang saya dapatkan dengan susah payah. Itu membuat saya sering menangis dan bersedih, karena saat itu saya belum berkarier dan masih di rumah saja. Maka, tergeraklah untuk membuat beberapa surat lamaran dan mengajukannya ke sekolah-sekolah SMP/MTs di Ponorogo. Namun tak satupun lamaran yang diterima. Sedih hati ini jika mengingat semua itu karena saya harus ke sana ke mari mengantar surat lamaran mencari sekolah untuk mengabdikan diri sebagai guru.
Hingga suatu hari Ibu mertua menawari saya untuk mengajar di MTs Putri Ma’arif Ponorogo, tempat Ibu mertua mengajar. Saya terima tawaran tersebut. Maka terhitung mulai Juni 2010, saya menjadi guru honorer di madrasah tersebut.
Pertama mengajar, saya diberikan amanat mengajar Bahasa Arab Kelas 7 dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Di tahun kedua, ada guru baru yang sudah PNS sehingga Mapel saya diberikan pada guru baru tersebut. Dan saya diberikan Mapel PKn. Di tahun-tahun berikutnya, saya mengajar PKn dan juga Mapel umum seperti Geografi, Seni budaya, dan mengajar ekstrakurikuler Qiroah. Juga sebagai pembina ekstrakurikuler Muhadharah.
Ketika menjalani profesi mengajar sudah hampir tujuh tahun, saya mulai resah. Sebab syarat untuk guru honorer agar bisa mengikuti PPG, ijazah yang dimiliki harus linier dengan Mapel yang diampu. Sedangkan Mapel saya tidak sesuai dengan ijazah. Namun harus bagaimana lagi, lowongan Mapel yang ada hanya itu. Semua Mapel PAI sudah diampu oleh guru-guru sertifikasi ataupun PNS. Harus bersabar dan menunggu beberapa tahun lamanya. Akhirnya di tahun 2019, saya bisa mendapatkan Mapel Al-qur’an & Hadits, sehingga sudah sesuai dengan ijazah saya.
Tahun 2019, saya mengikuti pretes PPG dan lulus. Tapi sayangnya belum bisa mendapat sertifikasi karena keterbatasan kuota. Mungkin memang Allah sedang menguji kesabaran hamba-Nya. Sehingga saya harus menunggu untuk bisa mengikuti PPG di tahun berikutnya.
Tahun 2020 pandemi melanda dunia termasuk Indonesia dan berdampak pada semua bidang, termasuk pendidikan. Pelaksanaan PPG pun ditunda.
Kemudian tahun 2021, pemerintah mulai mengadakan PPG lagi. Saya pun terpanggil untuk menyiapkan berkas persyaratan PPG. Dengan semangat saya menyiapkan segala persyaratan untuk pemberkasan. Berharap lulus verifikasi. Alhamdulillah verifikasi lolos dan harus menunggu pengumuman penetapan calon peserta PPG dan penempatan LPTK. Beberapa hari kemudian muncul pengumuman di Simpatika, dan ternyata nama saya masih belum masuk kuota PPG 2021. Harus antre dengan ribuan retaker lainnya.
Rasanya sudah jenuh karena merasa terombang-ambing dengan segala dinamika dan aturan yang ada. Apalagi usia saya sudah tak lagi muda, sudah tak bisa ikut ujian CPNS atau P3K. Hingga terkadang muncul godaan untuk beralih profesi, menjadi pedagang atau bekerja di bidang lainnya. Namun atas motivasi dari keluarga, khususnya suami, dan juga perenungan panjang, akhirnya saya memantapkan hati, bahwa inilah jalan hidup saya, menjadi seorang guru.
Menjalani profesi ini, keikhlasan harus selalu ditanamkan dalam jiwa, terlepas dari segala kebutuhan hidup, fasilitas maupun jenjang karir dan yang lainnya yang bersifat kebendaan dan keduniawian. Menjadi guru yang ikhlas berarti hanya mengharap ridho Allah Ta’ala.
Saat ini, selain mengajar, saya juga mencari kesibukan baru agar lebih semangat dalam menjalani profesi ini. Saya mendaftar di IAIN Ponorogo untuk melanjutkan pendidikan di Program Magister Pascasarjana, Prodi Pendidikan Bahasa Arab.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
*Meniti Jalan Menjadi Guru (MJMG) adalah konten serial yang mengisahkan perjalanan dan pengalaman menjadi seorang guru yang ditulis sendiri oleh nama bersangkutan. Tayang eksklusif di NaikPangkat.com dan akan dibukukan dalam sebuah antologi dengan judul “Meniti Jalan Menjadi Guru”