Ditulis oleh Hendi Syahmadi, M.Pd.
Apel pagi dan derap langkah para prajurit mengikuti instruksi para pelatih yang bersuara keras, tegas, dan cenderung marah-marah untuk mendisiplinkan prajurit yang sedang berlatih kecabangan artileri medan di sekitar asrama yang selalu membanganku setiap pagi. Di situlah tempat keluarga kecil kami tinggal.
Ayahku adalah seorang prajurit bagian kesehatan yang selalu sangat sibuk pada saat pertama kalinya ‘om-om’ prajurit itu datang ke kompleks asrama. Karena posisi itu, ayahku sering ditugaskan ke daerah-daerah konflik di negeri ini seperti saat Pepera pembebasan Irian Barat (operasi Dwikora), dua kali ke Timor Timur (operasi Seroja). Dan karena hal itu pula yang mengharuskan keluarga kecil kami lebih banyak tinggal di asrama tentara selama bertahun-tahun.
Di sekitar asrama kami terdapat bukit-bukit kecil, gudang senjata, garasi mobil perang, dan meriam. Dan tempat itu adalah tempat asyik bagi kami untuk bermain dan bercanda gurau. Berkelahi adalah menu keseharian kami, baik dengan sesama teman yang tinggal asrama atau kawan beda barak. Bahkan kami juga sering berkelahi dengan anak kampung di luar kompleks dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal. Hanya karena masalah sepele seperti bertatap muka pun bisa berakhir duel.
Banyak orang bilang aku adalah anak kolong dengan segudang kenakalan.
Ketika menginjak kelas 3 SD, keluarga kami memutuskan pindah ke sebuah kompleks perumahan bersubsidi yaitu di Perumnas Cijerah II. Hal itu sangat mengubah tatanan kehidupan keluarga kami menjadi lebih beragam karena bertemu dengan banyak orang baru dari berbagai kalangan dan profesi.
Di suatu pagi yang cerah dan segar setelah diguyur hujan deras semalaman, menghapus debu dari dedaunan dan dari atap genteng. Seminggu sebelumnya, wilayah kami mendapatkan kiriman abu vulkanik dari gunung Galunggung yang sedang batuk-batuk.
Di pagi itu pula, kepala sekolah kami memperkenalkan guru baru di tengah upacara bendera. Beliau tampak sangat bersahaja, berwibawa, santun, dan tegas. Keakraban beliau dengan para siswa membuat kami patuh kepadanya. Pak Sobur namanya.
Karena Pak Sobur, kelas kami dapat menjadi juara di berbagai perlombaan. Misalnya berjaya di lomba pramuka di mana beliau dapat menemukan potensi setiap anak di regu ‘Srigala’. Di antara kami ada yang sangat menguasai sandi-sandi morse dan semaphore.
Adapun aku sebagai anak kolong sangat mahir membuat peta perjalanan atau peta pita. Itu sesuai keahlian Bapaku di artileri medan yang ahli menggambar peta lapangan dan melakukan penghitungan estimasi jarak tempuh peluru meriam—selain mahir bidang kesehatan. Di cabang lomba itulah kami sering meraih nilai tertinggi.
Selain itu kami pun berjaya di ajang lomba cerdas cermat yang diselenggarakan pemerintah kota di dekat asrama, tempat hulu keluarga kami pernah tinggal bertahun-tahun lamanya.
Meskipun aku sudah pindah kompleks, namun aku masih sering menyaksikan para prajurit berlatih sehingga aku akrab dengan motto, “Lebih baik mandi keringat saat berlatih daripada mandi darah saat bertempur.”
Pada momen seperti aku teringat dengan kerasnya bagaimana para prajurit ditempa. Tidak ada toleransi kesalahan sekecil apapun. Dan apabila ada kesalahan, kami menyaksikan mereka dapat hukuman yang sangat keras sekali.
Pengalaman itu sangat membekas dalam ingatan dan menakutkan. Aku tidak akan ungkapkan dalam tulisan ini hukuman apa yang mereka terima. Bayangan itu membekas sangat dalam dan bayangan itu menyadarkanku bahwa masih ada profesi lain untuk mengabdi bagi nusa dan bangsa. Menjadi seperti Pak Sobur, misalnya.
Pak Sobur telah memberikan inspirasi baru bagiku meskipun Bapakku menginginkan ada dari ketiga anak lelakinya meneruskan langkahnya.
Di akhir kelas 3 SMP, aku masuk di antara siswa dengan NEM tertinggi di sekolahku sehingga membuatku bebas memilih sekolah yang aku mau.
Di tengah kebimbanganku, kebetulan ada nenek dan paman yang datang dari daerah. Mereka mengajak berdialog dari berbagai sudut pandang mengenai keprofesian keguruan yang disebut mengandung nilai ibadah di dalamnya.
Mantaplah aku memilih Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di kotaku. Di masa remaja di mana egoku masih tebal, di kelas-kelas awal tampilanku sering kena razia. Demikian juga dengan kendaraan tumpanganku yaitu vespa ’70 yang dimodifikasi. Namun pendewasaan terjadi ketika masuk tahun kedua, aku jadi lebih kalem dan mau menata diri sebab aktif di keorganisasian.
Di tahun ketiga merupakan tantangan terberat karena aku harus bisa bermetamorfosis di mana saat PPL harus tampil di depan kelas, harus lebih profesional, dan saat gaul di tengah masyarakat harus siap melakukan apapun termasuk memimpin doa di acara pernikahan.
Selepas dari “kawah candradimuka” keguruan berlanjut ke perguruan tinggi mengambil jurusan bahasa Inggris sampai menjadi asisten dosen. Saat itu aku memegang beberapa mata kuliah di beberapa perguruan tinggi swasta.
Pada akhirnya datang pilihan hidup yang datang antara memilih bersabar di perguruan tinggi atau jadi PNS guru di sekolah unit baru di sebuah perkebunan.
Ketulusan para peserta didik meninabobokan sampai lima tahun sampai akhirnya datang pilihan yang dilematis yaitu tawaran beasiswa S2 PTS dari pemerintah. Pasalnya agar bisa menjadi pengajar di perguruan tinggi harus bergelar Magister. Dengan niat tulus dan restu dari rekan sejawat dan pimpinan, aku pindah ke sekolah di dekat kampus.
Selepas S2, berbagai tawaran profesi berdatangan dari berbagai bidang yang masih ada benang merahnya dengan keahlianku. Di antaranya menjadi guru, dosen tamu, pengembang kurikulum , tutor UT, penerjemah, travel agent, event organizer sampai jadi konsultan ahli bahasa di Kementerian PUPR.
Semua profesi itu yang memberikan banyak kesempatan untuk melakukan perjalanan. Bersama MGMP keliling kota; keliling provinsi dengan TPK dan UT; keliling Indonesia dengan Direktorat PSMAK; serta mengunjungi kota-kota di dunia dengan kementerian PUPR seperti ke Pierma-Siberia, Jordania, Hongkong, Chiba, Wuxi, Nanjing, Adelaide, Kuala Lumpur, Singapura.
Perjalanan terakhir membawa rombongan para pengawas se-provinsi Jawa Barat ke Singapura dan Johor. Sepulang dari perjalanan itu, pada saat proses penyusunan dan penerbitan buku antologi “Travelling Journal” tiba–tiba aku terserang stroke yang membuatku kini harus lebih banyak tinggal di rumah untuk pemulihan.
Dalam kondisi seperti itu, aku tetap berupaya membangun kemandirian agar tidak merepotkan orang lain. Dan selama pandemi, aku bisa work from home dan menerbitkan sejumlah buku. Buku yang baru saja terbit antara lain Anthology Traveling Journal APSI, Buku Learning English through Song Appreciation and Lyric Analysis, serta dua buku kurikulum yaitu Pengenalan Kurikulum Prototipe dan Model-model Pengajaran dan Asesmen di Kurikulum Prototipe. Semuanya ber-ISBN.
Melalui tulisan ini aku ingin mengisahkan perjalanan menjadi seorang guru dan berbagi pengalaman, serta menghasilkan karya bersama.
“Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, seorang guru wafat harus meninggalkan karya.”
Jadi mari terus berkarya!
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
*Meniti Jalan Menjadi Guru (MJMG) adalah konten serial yang mengisahkan perjalanan dan pengalaman menjadi seorang guru yang ditulis sendiri oleh nama bersangkutan. Tayang eksklusif di NaikPangkat.com dan akan dibukukan dalam sebuah antologi dengan judul “Meniti Jalan Menjadi Guru”