Oleh Yeny Rahmawati, S.Pd
Guru Matematika di TSM SMK Islam Baburrohmah
Sebagai guru Matematika, saya ingin sedikit berbagi tentang suasana saat mengajar. Di kelas saya, terdapat beragam kemampuan siswa saat pembelajaran Matematika di mana hal itu sering menimbulkan kecemburuan sosial yang berdampak pada kurang stabilnya kondisi kelas.
Hal tersebut membuat kemampuan sebagian siswa stagnan dan jarang sekali mau berpendapat saat ditanya guru meskipun dengan pertanyaan yang sangat mudah untuk dijawab. Setelah saya amati dan mencari penyebab utamanya, ternyata mereka takut menjawab karena takut salah atau karena takut diolok dan dikomentari oleh siswa lain.
Ini menjadi karakter kurang baik di kelas. Pasalnya, di usia anak-anak dan remaja, kondisi seperti ini ternyata membawa dampak besar pada suasana saat pembelajaran. Lebih jauh, juga dapat berpengaruh pada hasil belajar yang nantinya tidak akan bisa optimal.
Dalam benak saya seketika itu, terbersit untuk membiasakan sikap menghargai keberagaman kemampuan dasar matematis tiap siswa. Hal ini sependapat dengan Dede Dwi Astuti (2020) bahwa menanamkan karakter menghargai seperti ini sangatlah penting bagi perkembangan individu. Tidak hanya pada tahap pengenalan dan pemahaman saja, namun seharusnya dilatih dan ditanamkan agar menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, pendidikan karakter saling menghargai hendaknya diwujudkan dalam setiap proses pembelajaran, seperti pada metode pembelajaran, muatan kurikulum, penilaian, dan lain-lain.
Berangkat dari masalah ini, saya kemudian memasukkan sikap saling menghargai pada asesmen dan memberi poin tinggi untuk siswa yang mampu mempertahankan sikap menghargai sampai akhir pembelajaran.
Jika dikaji secara lebih mendalam, memang sikap saling menghargai ini masuk dalam “karakter toleransi” dan salah satu dari delapan Profil Pelajar Pancasila yang disyaratkan untuk dimiliki siswa dan sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024.
Penanaman karakter toleransi ini sangat perlu dilakukan oleh guru. Sebab, guru adalah ujung tombak keberhasilan dalam pembelajaran. Beberapa indikator sikap toleransi seperti dikemukakan oleh Raka (dalam Astri Dayanti, 2017) di antaranya adalah siswa bisa menghargai pendapat yang berbeda; siswa bisa berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang budaya, kepercayaan dan suku; siswa tidak menghakimi orang yang berbeda pendapat, keyakinan atau latar belakang budaya; dan yang terakhir adalah siswa tidak ingin mendominasi atau ingin menang sendiri.
Penanaman karakter saling menghargai sebenarnya akan sangat mudah diaplikasikan dalam model pembelajaran yang dipakai pada Kurikulum 2013, di mana di antara model-model pembelajaran berbasis masalah dan proyek. Model tersebut menggunakan kolaborasi siswa dalam kelompok. Sehingga sangat memungkinkan guru untuk mengamati perilaku siswa dengan seksama yang berkaitan dengan sikap “toleransi”. Kemudian hal itu dijadikan bahan observasi dan penilaian sikap pada ranah afektif.
Pada kegiatan inti atau saat proses pembelajaran sedang berlangsung pun, guru dapat membiasakan sikap menghargai pendapat, hasil kerja, dan sikap dengan cara memberikan apresiasi dengan menyampaikan ucapan selamat atau terima kasih atas keberhasilan atau hasil belajar siswa. Hal tersebut menjadi salah satu hal yang dapat meningkatkan semangat belajar siswa. Ini juga termasuk pembiasaan sikap menghargai.
Dengan penekanan penilaian sikap toleransi dan memberikan pujian, ucapan selamat, serta ucapan terima kasih atas usaha dan hasil belajar siswa, outcome yang diperoleh ternyata cukup signifikan dengan beragamnya jawaban siswa atas satu atau beberapa pertanyaan ringan yang saya ajukan seputar materi prasyarat di pertemuan berikutnya. Suasana kelas pun makin kondusif, aktif, dan hasil penilaian juga menunjukkan peningkatan.
Pendidikan karakter dalam sistem pendidikan kita secara umum memang masih terdapat sejumlah masalah. Abdulloh Malawi (2013) mengatakan bahwa pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai dan belum memberikan andil yang berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi serta pembentukan karakter peserta didik, sehingga belum juga mampu mencapai pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kita bisa menemui masih banyak siswa dengan pendidikan tinggi malah tidak mampu memiliki karakter yang baik di lingkungan tempat tinggal mereka.
Untuk itu, Malawi mendorong agar pendidikan karakter di sekolah perlu segera dikaji, dan dicari alternatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah. Mungkin pendidikan yang dibutuhkan saat ini adalah pendidikan yang dapat mengintegrasikan pendidikan karakter dengan pembelajaran, sehingga dapat mengoptimalkan perkembangan seluruh dimensi peserta didik, yaitu yang mencakup kognitif, afektif (pengembangan kepribadian dan keterampilan sosial), dan psikomotorik.
Dalam mewujudkan pendidikan karakter tersebut, seorang guru tentu saja memiliki peran yang sangat besar. Seperti kata Mulyasa (dalam Nofrion, 2018) bahwa guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah, karena guru memiliki peran dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Artinya, dalam perkembangan peserta didik, guru turut serta membentuk kepribadian anak untuk persiapan pengembangan sumber daya manusia, serta mensejahterakan masyarakat, kemajuan negara, dan bangsa.
Disarankan untuk seluruh pendidik di manapun berada agar jangan pernah berhenti berkreasi. Meskipun dengan sedikit usaha dan pemikiran, hal itu mungkin akan berdampak besar pada pembentukan karakter bangsa.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud, S.S.