Seorang filsuf sekaligus tokoh pemikiran empirisme John Locke pernah mengatakan, “Anak terlahir tidak membawa apa-apa, ia bagaikan kertas kosong.” Pernyataan ini sejalan dengan pandangan Islam yang disebutkan dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, lalu kedua orang tuanya yang menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Dalam proses tumbuh kembang anak terdapat beberapa hal yang dapat memengaruhi karakteristik anak yakni latar belakang pengasuhan orang tua, pengaruh lingkungan sehari-sehari dengan sosio-kultural. Sebagai peniru yang hebat, anak akan membangun kebiasaan dan karakternya melalui faktor-faktor tersebut.
Dari sini dapat dipahami bahwa anak akan banyak mengalami perubahan dari lingkungan sekolah. Pasalnya, sekolah adalah tempat belajar dan guru adalah orang tua siswa di sekolah.
Sayangnya, sekolah sebagai tempat anak mengembangkan potensi diri, dalam praktiknya seringkali tidak menjadi tempat yang ramah bagi anak. Prof. Kurt Singer ketika menyebutkan sejumlah problem pendidikan saat ini, mengungkap bahwa sekolah bukan lagi tempat nyaman bagi anak-anak. Singer menyebut pendidikan sekolah kita justru mengakibatkan kegelisahan dan ketakutan yang juga disebut dengan Schwarzer Pedagogic (pedagogik hitam).
Anak di dalam kehidupan sekolah seharusnya memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari dari ancaman-ancaman dan kekerasan yang berasal dari guru, pemangku sekolah, maupun dari anak-anak lain.
Hadirnya penerapan sekolah ramah anak di Indonesia ini masih dinantikan dan penting. Contoh sederhana saja, membuat pintu kelas yang dapat terbuka ke arah luar sehingga jika terjadi kondisi darurat seperti situasi gempa akan membuat anak mudah mendorong pintu dan berlari keluar dari gedung kelas.
Bukan hanya itu saja, sekolah ramah anak berarti juga dapat memberikan rasa aman dan nyaman pada anak. Penting bagi guru dalam memandang siswa sebagai manusia yang sedang bertumbuh dan belajar.
Perlu diingat bahwa para siswa dapat melakukan kesalahan sebagaimana manusia dewasa dapat melakukan kesalahan. Dan oleh sebab itu, siswa memerlukan pengarahan dan bimbingan dari gurunya ketika melakukan kesalahan. Intinya, pendidikan di sekolah harus dapat hadir untuk memanusiakan manusia yang bermartabat dengan cara beradab.
Seorang guru sebagai garda terdepan dalam dunia pendidikan perlu menanam dan membangun kesadaran diri untuk menempatkan nilai humanitas sebagai komponen penting dalam pembelajaran dan pendidikan. Sehingga pada praktiknya, guru akan mengajar dengan kasih sayang kepada anak didiknya. Tanpa kekerasan.
Ditulis oleh Sofyani Syarifuddin, S.Pd, Guru SDN Lembah Harapan