Ai Herlina: Dari Titik Nadir ke Puncak Kesuksesan sebagai Guru 

- Editor

Senin, 26 Desember 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh Ai Herlina 

Mengajar di SD Negeri Cilengo

 

Saya seorang guru SD, lahir di Sukabumi 5 Agustus 1969, anak pertama dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak H. Ujang Baesuni dan Ibu Hj. Mimin. Kini saya sudah dikaruniai dua anak (putra dan putri) serta tiga cucu. Bukan kebetulan menjadi seorang guru, dan bukan pula tanpa perjuangan.

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, saya sering memperhatikan perilaku guru mulai dari awal pembelajaran sampai pulang sekolah, sampai hafal betul gerakan seorang guru. Pada tahun 1980 ketika duduk di kelas 3 SD, guru saya bernama Pak Herman (almarhum) setiap mengajar suka memegang sebuah penggaris dari bambu dan dipukulkan ke  meja ketika kami ribut di kelas. Saat itu saya membayangkan seandainya saya menjadi guru saya akan mengubah hal seperti itu, karena membuat kami ketakutan.

Saya hobi membaca. Saya sering pergi ke perpustakaan untuk membaca buku dan mencari  informasi ke mana saya harus sekolah jika kelak ingin jadi guru. Saat itu arus informasi tidak seperti sekarang. 

Suatu ketika saya membaca buku tentang pendidikan, judulnya saya lupa, hanya teringat terdapat gambar bangunan yang terkenal dengan ISOLA, sebuah lembaga tempat mencetak guru-guru di Jawa Barat.

Sejak saat itu saya gantungkan cita-cita untuk menjadi guru. Tahun 1983 tamat SD langsung ikut tes masuk SMP Negeri. Dan  alhamdulillah lulus tahun 1986. Setelah itu, saya ikut tes masuk sekolah yang khusus mencetak guru-guru SD yaitu SPG (Sekolah Pendidikan Guru) di Sukabumi. 

Lulus SPG tahun 1989, saya menikah dengan seorang pria bernama Lukmanulhakim. Dia seorang guru SD, dan saya ikut suami yang bertugas di daerah terpencil jauh dari kebisingan kota; tak ada listrik, tak ada kendaraan umum; jalan tanpa aspal; yaitu di kampung Cisuren Kecamatan Lengkong. Hidup jauh dari orang tua membuat kami serba kekurangan, rasanya saya ingin berlari saja. Namun suami dengan penuh perhatian selalu memberikan dukungan dan motivasi untuk tetap berjuang. Kemudian saya ikut mengajar menjadi tenaga honorer dengan gaji Rp 18.000 untuk mengajar dua kelas (kelas 4 dan 5) karena di tempat tersebut kekurangan guru. 

Di daerah tersebut, kami tinggal di rumah dinas karena belum memiliki tempat tinggal. 

 Pada tahun 1995, tepatnya pukul 09.00, saya mendengarkan berita dari radio bahwa pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat yang menegaskan guru lulusan dari SPG tidak akan diangkat menjadi pegawai negeri kecuali melanjutkan D2 PGSD. Saya langsung merasa galau apakah harus bilang ke suami atau diam saja. Bila saya melanjutkan kuliah, bagaimana cara memenuhi kebutuhan anak-anak yang masih kecil, siapa yang mengurusnya.  Namun kalau saya diam, mungkin cita-cita saya tidak akan tercapai. 

Hari itu selesai sholat Magrib, saya memberanikan diri mengutarakan dengan hati-hati bahwa saya ingin meminta izin supaya dibolehkan melanjutkan kuliah. Menurut suami, kami harus pulang dulu ke rumah orang tua untuk meminta izin. Di sisi lain, anak-anak masih membutuhkan pengurusan. 

Esok harinya, selesai sholat Subuh, dalam perjalanan pulang ke rumah orang tua kami harus menyusuri jalan licin kurang lebih 10 KM dengan jalan kaki. Satu anak saya gendong dan satunya saya tuntun.  Sementara suami memikul barang-barang bawaan kami.  Setelah melalui jalanan yang terjal tersebut, kami baru bisa naik bus dan angkutan umum dengan jarak perjalanan sekitar 65 KM.

Singkat cerita, orang tua berkenan dititipi anak selama saya melanjutkan kuliah. Dan suami pun memberikan izin. Akhirnya saya mendaftar dan alhamdulillah lulus melalui jalur PMDK.

Menginjakkan kaki di Kota Bandung dengan diantar oleh keluarga dan orang tua, sesampainya di depan kampus, saya tertegun karena bangunan yang ada di depan saya adalah bangunan yang puluhan tahun sering saya lihat di buku yang saya baca. ISOLA.  

Saya menangis dipenuhi rasa haru. Saya sujud syukur di situ, karena Allah mengabulkan do’a saya yang sejak dulu ingin kuliah di IKIP Bandung (sekarang berubah nama menjadi UPI, Universitas Pendidikan Indonesia).  

Selesai masa orientasi, ternyata saya harus kuliah di kampus yang jauh dari Kota Bandung.  Semua mahasiswa dari Sukabumi angkatan saya harus kuliah di kampus UPP 2 Purwakarta, yang jaraknya juga lumayan jauh dari pusat kota. 

Kuliah selama tiga tahun bukan tanpa rintangan dan halangan, apalagi ketika ingat harus meninggalkan anak yang masih kecil. Saat itu usia anak yang paling besar baru genap lima tahun dan yang kecil baru berusia tiga tahun. Sedangkan teman-teman seangkatan hampir seluruhnya masih muda, baru lulus dari SLA. Bagaimanapun, saya bertekad untuk tidak mengecewakan orang tua dan juga suami. Dan saya buktikan hal itu di akhir kuliah dengan mendapatkan nilai Cumlaude, lulus tahun 1998. 

Di tahun 1999, saya ikut tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), beberapa tahapan harus dilalui dengan perjuangan. Di tahap terakhir tes, saya ditanya “Siapkah apabila ditempatkan di mana saja di wilayah Indonesia?” Pada saat itu secara spontan saya jawab “siap”, asal masih berada di Kabupaten Sukabumi. Penguji hanya tersenyum. 

Momen yang dinantikan tiba, yaitu saat pembagian SK CPNS. Kami dikumpulkan di gedung yang merupakan ikon dari Provinsi Jawa Barat yaitu Gedung Sate. Saya merasa deg-degan dengan perasaan harap-harap cemas dalam penantian pembagian SK tersebut. 

Ketika SK sudah berada di tangan, ketika saya buka, saya tertegun karena dalam SK tertera nama sekolah SD Negeri 8 Pamuruyan. Saya mengucap syukur, saya kira sekolah tersebut mudah dijangkau karena masih satu kecamatan dengan tempat tinggal. 

Setelah mengantongi SK tersebut, saya langsung pergi menemui Kepala Desa untuk menyampaikan kabar gembira ini. Dari Kepala Desa tersebut saya baru tahu kalau sekolah yang dimaksud berada di luar wilayah desa kami, yang jaraknya juga lumayan jauh dan saat itu belum ada kendaraan umum, hanya ada sesekali truk yang lewat ke perkebunan atau ojek jika tidak turun hujan. 

Tiap hari berangkat ke sekolah, saya harus melalui jalan yang terjal, curam, berbatu, dan licin di musim hujan. Sehingga saya harus membawa sepatu dua macam; sepatu boots untuk di jalan dan sepatu untuk mengajar. Selama dua tahun pertama, semua itu saya jalani dengan penuh keluh kesah. Saya merasa lelah tiap hari harus berjalan menyusuri jalan setapak dan terjal untuk sampai ke tempat tugas. Saya sering mengeluh dan ingin pindah dari sekolah tersebut. 

Di bulan Oktober tahun 2000, saya dan suami melanjutkan kuliah mengambil program S1 di Bandung. Kami mengambil kelas karyawan supaya tidak mengganggu pekerjaan. Saya sendiri selalu bersemangat untuk terus belajar. 

Di hari Sabtu di tengah perjalanan menuju kampus, terjadi musibah.  Kendaraan yang saya tumpangi mengalami kecelakaan. Saya mengalami cedera yang cukup parah, kepala bocor. Dan lebih parah lagi, kaki sebelah kanan hancur di bagian lutut sampai paha. Di beberapa bagian yang lainnya juga mengalami patah tulang.  

Selama enam bulan, saya harus menjalani perawatan. Setelah berangsur pulih, saya diberi tawaran oleh Dinas untuk memilih tempat tugas baru dengan syarat ada pengganti di tempat tugas lama. Akhirnya saya sepakat dengan suami untuk menggantikan saya, dan saya memilih pindah SD Negeri Cilengo tempat saya bertugas sampai sekarang. 

Menjadi guru dengan keterbatasan fisik bukan tanpa halangan dan rintangan. Di sekeliling pasti ada orang yang memandang dengan sebelah mata. Namun setiap saya mengadukan hal itu kepada suami, saya selalu diberikan masukkan, dukungan, dan motivasi. Untuk melawan orang-orang yang berkata negatif tidak perlu dilawan dengan ucapan, tapi harus dibalas dengan perbuatan baik; untuk membuktikan bahwa saya mampu melakukan tanggung jawab dengan baik, bisa memberikan pelayanan terbaik kepada peserta didik walaupun dengan keterbatasan.

Di tahun 2015 saya jawab keraguan semua orang. Di tahun tersebut, saya mengikuti sejumlah lomba-lomba termasuk lomba guru berprestasi. Alhamdulillah di tingkat kecamatan yang diikuti oleh 47 sekolah, saya lolos menjadi juara satu. Di tingkat kabupaten juga lolos sebagai nominasi guru berprestasi sehingga melaju sampai tingkat provinsi. Pernah juga mengikuti OGN (Olimpiade Guru Nasional) walaupun tidak menjadi juara. Namun saya bangga dan bersyukur karena guru dari desa dengan keterbatasan fisik mampu sampai ke jenjang itu.

Untuk meningkatkan profesionalisme guru, saya terus melanjutkan di jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Saya berprinsip walau sudah mengajar, seorang guru tetap wajib menambah pengetahuan. Sebab, proses belajar harus ditempuh sepanjang hayat, tidak mengenal waktu, tidak ada batas usia. 

Tahun 2020, saya mendaftar ke salah satu perguruan tinggi yaitu di Universitas Terbuka UPBJJ Bogor mengambil jurusan Magister Pendidikan Dasar. Belum lama ini, 6 Desember 2022 lalu, saya sudah lulus ujian sidang berkat dukungan terutama suami dan juga orang-orang terdekat yang mencintai saya.

Sejak tahun 2022 juga, saya  bergabung dengan platform pelatihan online untuk guru terbesar di Indonesia yaitu e-Guru.id. Saya terpilih sebagai salah seorang instruktur berkat ilmu-ilmu yang saya dapatkan dari e-Guru.id itu sendiri. Kini saya juga sudah berhasil menerbitkan beberapa buku, di antaranya berjudul “Alat Peraga Kubus Satuan” dan ada beberapa naskah lagi yang masih dalam proses publikasi. 

Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!

Editor: Moh. Haris Suhud

Berita Terkait

Di Tengah Peperangan, Begini Cara Guru Palestina Tetap Mengajar Anak-anak Gaza
Berpuluh Tahun Mengajar, Damin Dikenang sebagai Pahlawan yang Tinggalkan Jejak di Hati Masyarakat
Mengesankan, Guru Asal Wonogiri Fasih Bahasa Inggris hingga Viral Karena Konten Uniknya
Kisah Kepala Sekolah Muda Asal Semarang Memik Nor Fadilah: Tumbuhkan Kepemimpinan Melalui Kedekatan dengan Siswa
Perjuangan Ana Rahmawati, Guru Asal Pati yang Mengajar Penuh Dedikasi Sembari Menanti Keputusan Penempatan ASN
Merayakan Hari Raya Idul Fitri dengan Sederhana
Supar: Anak Perbatasan yang Sukses Wujudkan Impian Jadi Guru
Perjalanan Umroh yang Penuh Magis 
Berita ini 24 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 13 Maret 2024 - 11:34 WIB

Di Tengah Peperangan, Begini Cara Guru Palestina Tetap Mengajar Anak-anak Gaza

Minggu, 20 Agustus 2023 - 21:20 WIB

Berpuluh Tahun Mengajar, Damin Dikenang sebagai Pahlawan yang Tinggalkan Jejak di Hati Masyarakat

Minggu, 2 Juli 2023 - 22:08 WIB

Mengesankan, Guru Asal Wonogiri Fasih Bahasa Inggris hingga Viral Karena Konten Uniknya

Selasa, 6 Juni 2023 - 19:26 WIB

Kisah Kepala Sekolah Muda Asal Semarang Memik Nor Fadilah: Tumbuhkan Kepemimpinan Melalui Kedekatan dengan Siswa

Senin, 5 Juni 2023 - 19:30 WIB

Perjuangan Ana Rahmawati, Guru Asal Pati yang Mengajar Penuh Dedikasi Sembari Menanti Keputusan Penempatan ASN

Sabtu, 22 April 2023 - 18:53 WIB

Merayakan Hari Raya Idul Fitri dengan Sederhana

Jumat, 21 April 2023 - 14:05 WIB

Supar: Anak Perbatasan yang Sukses Wujudkan Impian Jadi Guru

Jumat, 21 April 2023 - 13:40 WIB

Perjalanan Umroh yang Penuh Magis 

Berita Terbaru