Ketertinggalan bangsa kita salah satunya disebabkan tingkat pemahaman membaca yang rendah. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat, peringkat nilai PISA Indonesia berdasarkan survei tahun 2018 adalah: Membaca (peringkat 72 dari 77 negara), Matematika (Peringkat 72 dari 78 negara), dan Sains (peringkat 70 dari 78 negara).
Nilai PISA Indonesia juga cenderung stagnan dalam 10-15 tahun terakhir. Berdasarkan kenyataan itu, apabila dikaitkan dengan perubahan kurikulum pendidikan kita yang ada, logikanya keadaan stagnan itu tak seharusnya terjadi. Sehingga muncul sebuah pertanyaan “Apakah ada permasalahan pada pendidikan khususnya dalam pembelajaran membaca mulai dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini sampai tingkat atas SMA?”
Berbekal pengalaman pribadi sebagai pendidik yang pernah mengajar di tingkat PAUD sejak tahun 2000-2012, kami sebagai guru dituntut mengajar sesuai dengan kurikulum. Sementara itu orangtua murid cenderung mencari lembaga PAUD yang ketika lulus, anak sudah bisa membaca dan berhitung untuk bisa diterima SD favorit.
Hal itu membuat kami para guru mau tidak mau memprioritaskan kemampuan membaca dan berhitung. Dan waktu itu keberlangsungan PAUD swasta juga ditentukan oleh jumlah siswa, maka pasti ada kompetisi untuk menunjukan keunggulan mencetak lulusan yang bisa membaca dan berhitung .
Tema dan metode pembelajaran PAUD memang sudah bagus untuk dihubungkan dengan literasi. Tetapi saat itu guru belum mendapatkan gambaran bagaimana melakukan kombinasi supaya tema dan metode sesuai dengan literasi membaca maupun numerasi. Sebagai contoh dalam tema keluarga, guru hanya mengenalkan anggota keluarga.
Selebihnya anak diajarkan membaca dengan mengeja kata ayah, ibu, dan seterusnya sehingga alokasi waktu tidak cukup untuk membiasakan anak dengan menyajikan dongeng dan memberikan kesempatan mereka untuk menceritakan situasi dan kondisi keluarga yang dari pembiasaan tersebut dapat melahirkan tidak hanya keterampilan berbicara melainkan juga mental berani, percaya diri, dan kritis.
Dampak dari itu dapat saya rasakan ketika sekarang mengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMP). Untuk bisa memiliki peserta didik yang mempunyai salah satu keterampilan berbahasa, misalnya kemampuan menulis untuk mengikuti lomba, dari 200 siswa biasanya hanya lima sampai delapan siswa yang dinilai memiliki tingkat literasi cukup bagus. Itupun masih harus dibimbing dua minggu sampai satu bulan.
Mereka harus diarahkan dalam memahami tulisan yang akan dibuat, kemudian mencari bahan bacaan untuk referensi dan sampai pada menyusun tulisan.
Dan ketika lomba yang akan diikuti adalah membaca puisi atau cerita, maka waktu bimbingan dibutuhkan waktu khusus untuk memahami bacaan baik dari segi makna kata sampai pada bagaimana anak bisa menghasilkan intonasi yang dapat memunculkan ekspresi.
Dari sini dapat disimpulkan dengan pembelajaran membaca yang hanya fokus pada mengeja dan menghafal di tingkat dasar dapat menjadikan seseorang sulit untuk bisa membaca serta paham isinya.
Dengan demikian untuk menghasilkan generasi yang berkualitas dan dapat bersaing secara global sistem pendidikan dan metode pembelajaran, khususnya membaca dari tingkat dasar sampai tingkat atas, harus diperbaiki. Mereka perlu diarahkan membaca untuk memahami, mengevaluasi, merefleksikan berbagai jenis bacaan untuk dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan.
Ditulis oleh: Siti Juariah, S.Pd