Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, toleransi memegang peranan penting dalam keselamatan suatu bangsa. Toleransi adalah sesuatu yang dalam tataran teoritis selalu diajarkan di sekolah, namun dalam tataran praksis agaknya sulit untuk diterapkan. Terlebih bagi masyarakat Indonesia yang memiliki beragam suku, budaya, dan agama.
Toleransi berasal dari kata ‘tolerare’ yang berarti sabar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) toleransi berarti bersikap toleran terhadap orang lain yang berbeda pendapat. Menurut Michael Walzer toleransi adalah suatu keadaan yang harus ada dalam diri perorangan atau masyarakat untuk memenuhi tujuan yang ada di dalamnya; tujuan untuk hidup damai di tengah perbedaan yang ada, baik perbedaan sejarah, identitas, maupun budaya.
Perbedaan agama merupakan salah satu di antara sekian banyak keragaman yang ada di Indonesia ini—yang patut untuk mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Indonesia adalah negara non sekuler, di mana agama tidak terpisah dari negara. Bahkan dalam Pancasila yang merupakan ideologi negara kita, agama maupun kepercayaan menempati urutan pertama dengan sila “Ketuhanan yang Maha Esa.”
Perubahan kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta menjadi “ Ketuhanan yang Maha Esa” menjadi bukti adanya toleransi. Seperti diungkapkan Bung Hatta dalam bukunya Mohammad Hatta: Memoir (1979), tercantumnya ketetapan seperti itu (sila pertama dalam Piagam Jakarta) di dalam suatu dasar yang menjadi pokok UUD berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas.
Dalam kedudukannya sebagai sumber dari segala sumber hukum, sila pertama Pancasila ini diturunkan dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 tentang kebebasan beragama. Dalam berbagai pendataan, agama merupakan salah satu bagian yang selalu saja dipertanyakan dan harus diisi. Agama bukanlah hal tabu untuk dipertanyakan. Namun keadaan tersebut tidak berjalan linier dengan toleransi beragama. Berbeda dengan negara sekuler, di mana negara terpisah dengan agama. Namun nilai-nilai toleransi beragama justru sangat kuat. Bertanya tentang agama seseorang pun dianggap tidak sopan.
Di negara kita yang menjamin kemerdekaan beragama ini, ternyata masalah agama merupakan masalah yang paling sensitif. Apalagi di tengah arus demokrasi yang berjalan deras yang malah mengarah kepada ekslusivisme suatu agama. Banyak bermunculan organisasi-organisasi yang mengatasnamakan agama yang justru bukan membawa keselamatan tetapi cenderung mengakibatkan kemudaratan. Organisasi-organisasi ini diduga memiliki agenda politik keagamaan dengan disokong kekuatan militan para pengikutnya. Banyak orang yang kemudian tenggelam dalam fanatisme agama, sehingga lupa bahwa agama harusnya membawa kenyamanan dan keselamatan.
Sejarah Bertoleransi
Jika kita menilik sejarah, tokoh-tokoh agama sekaligus tokoh nasional pernah juga menjadi korban fanatisme agama. Sebagai contoh, KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah pernah dituding mengajarkan ideologi kafir akibat pembaruan-pembaruan yang diusungnya. Sekolah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan tidak hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga mengajarkan ilmu umum. Bahkan sarana pendukung seperti meja, kursi, dan papan tulis juga menjadi biang masalah karena dianggap menyerupai sekolah-sekolah formal yang didirikan pemerintah Hindia Belanda.
Padahal semua sarana pendukung tersebut memberikan kenyamanan yang berpengaruh terhadap keberhasilan ilmu yang beliau ajarkan. Tudingan kafir tersebut semata-mata lahir karena ilmu-ilmu umum (selain ilmu agama) dan sarana pendukung Pendidikan yang beliau gunakan berasal dari dunia Barat. Banyak pihak lupa akan sisi positif yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan karena tenggelam dalam fanatisme yang membabi buta.
Melalui sejarah juga, kita bisa belajar menjadi warga negara yang baik, yang bisa menyeimbangkan antara agama dengan nasionalisme sebagai bagian dari negara yang plural. Dalam hal ini kita bisa melihat kembali misi penyebaran agama Katolik di Indonesia ( di tanah Jawa) yang dilakukan oleh sosok biarawan bernama lengkap Fransiscus Georgius Josephus Van Lith, SJ, akrab disebut Romo Van Lith. Dalam misinya, beliau tidak hanya mewartakan konsepsi ideologi Katolik, namun atas dasar kecintaannya yang mendalam pada murid-murid pribuminya bahkan beliau juga turut menyemai keindonesiaan sebagai embrio nasionalisme.
Romo Van Lith pernah mengkritik keras kesewenang-wenangan otoritas pemerintah Belanda, dan menyatakan dengan lantang bahwa bila suatu hari terjadi perpecahan di antara pemerintah dan masyarakat Hindia-Belanda, maka misionaris akan berpihak pada kaum pribumi. Maka tak berlebihan jika pada 23 September 2016, Romo Van Lith memperoleh penghargaan Satyalencana dari Presiden Joko Widodo.
KH. Ahmad Dahlan dan Romo Van Lith bisa dijadikan role model dalam menciptakan toleransi beragama. Kedua sosok Pahlawan tersebut sama-sama menjalankan misinya dalam menyebarkan agama yang mereka yakini namun bisa berjalan beriringan dengan tumbuh kembangnya nasionalisme Indonesia.
Sebagai seorang ulama, KH. Ahmad Dahlan secara tidak langsung sudah menunjukkan sikapnya sebagai orang yang bertoleransi. Pengetahuannya dalam agama (Islam) tidak diragukan lagi. Namun tingginya ilmu ternyata tidak menenggelamkannya dalam fanatisme yang tidak terarah.
Romo Van Lith, misionaris asal Belanda ternyata juga menunjukkan keberpihakannya terhadap penduduk pribumi terlepas dari agama apa yang sebagian besar dianut oleh masyarakat pribumi. Walaupun sebagai misionaris seringkali diidentikkan sebagai penjajah apalagi beliau berasal dari Belanda.
Masalah Fanatisme
Akhir-akhir ini fanatisme agama semakin berkembang dalam masyarakat kita. Trend di negara kita menunjukkan ketertarikan terhadap urusan negara lain. Misalnya, dalam konflik Hamas-Israel. Seringkali empati terhadap korban pertikaian sebisa mungkin dikaitkan dengan agama. Padahal konflik hamas-Israel murni masalah perebutan wilayah di jalur Gaza.
Dalam opini-opini yang beredar dalam masyarakat kita terutama dalam media sosial, konflik Hamas-Israel dianggap sebagai perang agama. Kelompok Hamas dianggap mewakili Palestina yang 75℅ masyarakatnya beragama muslim sedangkan Israel mewakili Yahudi-Kristen. Padahal kalau kita mau jujur, negara Palestina 75% penduduknya beragama Islam, 8% Kristen dan 17% Yahudi. Sementara Israel dihuni oleh 74,5% Yahudi, 17,8% Islam, 2,0% Kristen dan 1,6% orang Druze.
Komentar-komentar netizen Indonesia menggiring opini publik yang beredar di negara kita ke arah pertikaian antara Islam dan Kristen. Belum lagi masalah terorisme yang semakin memperkeruh intoleransi di Indonesia. Apalagi jika teroris dianggap mewakili agama tertentu. Padahal orang yang benar-benar beriman dan mendalami ajaran agamanya tentu saja tidak menghalalkan segala cara apalagi sampai membunuh untuk mencapai tujuan.
Sebagai bangsa yang beradab sangatlah wajar apabila rasa kemanusiaan kita tergerak melihat kejadian-kejadian dan pertikaian yang banyak memakan korban. Namun perlu disadari bahwa rasa kemanusiaan tidak mengenal agama maupun ras.
Ketaqwaan kita terhadap sang pencipta janganlah dijadikan batu sandungan dalam menciptakan kerukunan sebagai bangsa yang bhinneka. Negara ini lahir dari orang-orang yang bisa menghargai keberagaman. Tatanan yang sudah ditetapkan oleh founding father bangsa ini sebaiknya tetap dipertahankan. Tidaklah perlu menjadi Islam maupun Kristen untuk menunjukkan empati kita. Untuk layak disebut manusia kita hanya perlu rasa kemanusiaan.
Ditulis oleh Rica Enipramita, S.Pd, Guru IPS SMP Negeri 3 Satap Seberuang