Oleh Heni Nurani
Guru SMAN 5 Garut
Baru-baru ini kita sering dikejutkan dengan pemberitaan tindak kekerasaan yang dilakukan oleh para pelajar dan korbannya pun adalah para pelajar. Hal ini tentu sangat memprihatinkan.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar yang pasti mengganjal dalam pikiran banyak orang, kenapa mereka berbuat kekerasan di luar batas sedangkan status mereka masih pelajar yang notabene mendapatkan pendidikan?
Di negara hukum, siapapun yang melakukan kekerasan pasti akan mendapatkan hukuman yang setimpal, tak terkecuali para pelajar yang umumnya masih di bawah umur.
UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang mengatakan bahwa anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Berangkat dari undang-undang tersebut, siapapun yang melakukan kekerasan pada anak pasti akan diproses sesuai hukum yang berlaku.
Memang cukup aneh kenapa akhir-akhir ini banyak ditemukan pelajar yang suka melakukan kekerasan pada rekannya sendiri atau pada orang lain. Padahal pemuda saat ini adalah harapan bangsa untuk hari esok. Kelak, seharusnya mereka yang akan membawa harum dan nama baik bangsa Indonesia dengan prestasi. Bukan karena kekerasan.
Namun dengan adanya fenomena kekerasan oleh pelajar yang sedang trending dibicarakan saat ini, harapan masa depan bangsa yang lebih baik seolah pupus.
Kekerasan yang dilakukan pelajar tentu bukan karena ilmu yang mereka dapatkan di sekolah. Sebab selama di sekolah, tentu saja mereka dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan dan ilmu agama; mereka diajari bagaimana mengembangkan nilai-nilai kasih sayang terhadap sesama manusia; bagaimana hidup bersosialisasi dan saling menolong satu dengan lainnya.
Kondisi nyata bahwa masa usia para pelajar adalah masa pencarian jati diri. Tetapi mungkin mereka salah dalam proses pencarian jati diri tersebut. Mereka tidak mendapatkan bimbingan yang tepat sehingga mereka kebablasan dan salah langkah dalam mengekspresikan dirinya. Ego masih labil dan mungkin juga kurangnya pendidikan agama.
Jika kita melihat pada masa lalu, masih banyak anak-anak yang mau mengaji di surau di sudut-sudut perkampungan. Sekarang banyak pelajar yang baru tumbuh menjadi seorang remaja, sudah gengsi untuk ikut mengaji sehingga kepribadian mereka menjadi tidak terarah.
Ditambah lagi dengan era digital yang relatif tanpa batas ini. Sekarang, kalangan anak-anak bisa mengakses segala jenis konten informasi atau tayangan-tayangan dari manapun tanpa filter.
Dengan semakin pesatnya kecanggihan teknologi, semakin luas pula ruang kebebasan bagi mereka untuk melakukan hal-hal yang mereka inginkan. Pada akhirnya mereka menganggap bahwa dunia milik mereka.
Ketika anak-anak sudah melakukan kesalahan, citra dunia pendidikan dapat terkena dampaknya. Ulah sebagian pelajar yang sering melakukan kekerasaan, perundungan, penganiayaan yang berujung maut, telah mencoreng dunia pendidikan kita.
Jika kita mau jujur, sebenarnya yang dapat membentuk karakter para pelajar itu bukan hanya sebuah instansi pendidikan, namun juga ada peran orang tua di rumah.
Sudah waktunya bagi orang tua siswa saat ini tidak membiarkan anak-anaknya tanpa pengawasan. Jangan sampai orang tua memberikan teladan kekerasan pada anak sehingga menimbulkan trauma pada diri anak yang akhirnya juga dapat membentuk anak remaja yang keras kepribadiannya.
Dari gambaran-gambaran di atas, banyak hal yang dapat membentuk perwatakan anak; mengapa para pelajar melakukan tindak yang tak terpuji seperti kekerasan dan lain sebagainya. Tentu saja orang tua siswa harus turut bertanggung jawab dalam mendidik anak. Dan guru pun harus bekerja sama dengan orang tua untuk mewujudkan para pelajar yang berakhlakul karimah.
Ada beberapa solusi yang dapat diterapkan dan ditempuh dalam rangka penanganan tindak kekerasan yang dilakukan pelajar. Pertama, membentuk karakter pelajar dengan memperbanyak siraman rohani dan memperbanyak ilmu pengetahuan agama dan Pancasila.
Kedua, selalu awasi penggunaan gadget oleh anak di rumah dan di sekolah. Bisa kita lihat banyak di antara para pelajar yang rela berjam-jam hanya bermain ponsel sekadar untuk main game . Ironisnya lagi, game yang dimainkan punya teladan kekerasan yang dapat mereka tiru dan diterapkan dalam kehidupan nyata.
Ketiga, orang tua siswa harus sering-sering berkonsultasi dengan guru Bimbingan dan Konseling. Orang tua yang mau berkonsultasi dan terbuka pada guru BK akan membuka potensi bagi sekolah mengatasi permasalahan para pelajar.
Di sisi lain, pihak guru BK di setiap sekolah pun harus selalu setia mendampingi pelajar yang membutuhkan solusi dari permasalahan mereka.
Keempat, memperketat tatanan lingkungan rumah dan sekolah sehingga mereka tidak bisa seenaknya keluar masuk tanpa pengawasan. Keamanan dan kenyamanan tentu akan diharapkan oleh para pelajar. Dengan begitu, mereka akan merasa terlindungi dan tidak terancam dari pihak manapun.
Kelima, setiap guru yang mengajar di kelas harus bisa memberikan pengajaran dan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan para pelajar. Jika kita melihat fenomena baru-baru ini, memberikan pendidikan anti kekerasan harus segera digalakan.
Semoga dengan upaya yang dilakukan seperti yang telah disebutkan di atas akan berhasil mencegah kekerasan oleh atau kepada siswa. Sehingga tidak akan ada lagi berita para pelajar Indonesia yang melakukan hal-hal brutal. (*)
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud, S.S.