Oleh Sunyiati, S.Pd.
Guru SDN 44 Bengkulu Tengah
Dewasa ini kita sering dengar tindakan kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan yang dilakukan oleh beberapa oknum, termasuk di antaranya kekerasan antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa. Semua tindak kekerasan tersebut bisa mencederai citra pendidikan.
Tindakan kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan bukanlah hal yang kita inginkan. Dan seharusnya dunia pendidikan mampu mengatasi permasalahan tersebut secara edukatif.
Namun pada kenyataannya hingga saat ini masih marak kita dengar kasus-kasus kekerasan yang terekspos di berbagai media yang dapat mencoreng mutu pendidikan kita. Terakhir, tindak kekerasan dilakukan oleh salah satu siswa SMP yang menghajar pelajar SD di Sukabumi hingga tewas. Masalah tersebut saat ini sudah ditangani oleh kepolisian.
Permasalahan kekerasan yang melibatkan anak di bawah umur seperti ini sebenarnya bukanlah tanggung jawab pihak kepolisian saja. Tetapi peran orang tua juga tak kalah penting, sebab merekalah yang bertanggung jawab terhadap pendidikan sang anak di dalam keluarga.
Lebih jauh lagi, seluruh warga Indonesia seharusnya juga dapat mengambil peran untuk ikut bertanggung jawab di dalam pencegahan tindak kekerasan yang dilakukan oleh pelajar.
Adapun bagi kita yang berprofesi sebagai guru, supaya kekerasan dan penganiayaan oleh atau pada pelajar tidak terulang kembali, maka kita perlu kenang kembali sistem pendidikan di tahun 1980-an. Saat itu pada kurikulum yang berlaku terdapat istilah GBPP (Garis-Garis Besar Program Pembelajaran). Di dalam kurikulum tersebut terdapat mata pelajaran PPPP (P4) yang berarti Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila di mana guru wajib mengajarkan sopan santun, tata krama, budi pekerti terhadap sesama, kepada para anak didik.
Memang membentuk karakter siswa di masa kini lebih kompleks. Pasalnya, bentuk tindak kejahatan yang dilakukan oleh siswa pun bermacam-macam. Dalam konteks kekerasan, saat ini dapat dilakukan dalam aksi fisik, verbal, hingga virtual. Dan tindakan kekerasan tidak hanya dilakukan di lingkungan sekolah, tetapi juga bisa di tempat-tempat lainnya hingga di ranah media sosial.
Mengingat pentingnya untuk mencegah kekerasan yang sedang tren di kalangan pelajar ini, kita perlu melakukan beberapa hal untuk mengantisipasi potensi kekerasan yang dimaksud.
Berbicara pada anak secara terbuka
Orang tua saat berada di rumah perlu membangun kedekatan dengan anak sehingga orang tua tahu apa yang diamalkan oleh anak dalam kehidupan sehari-hari, baik saat sedang berada di rumah atau di luar.
Alangkah baiknya jika dalam suatu keluarga, sesudah makan malam seluruh anggota keluarga meliputi ayah, ibu, adik, kakak, nenek, kakek, dan seterusnya dapat berkumpul bersama dan terjalin percakapan yang akrab. Ada senda gurau diselingi dengan menasihati anak-anak.
Fenomena seperti itu mungkin cukup sulit ditemukan di masa sekarang. Di zaman yang serba teknologi ini, rata-rata anak lebih senang bermain ponsel dan asyik dengan urusan masing-masing.
Ini yang membuat antara anak dan orang tua kurang terbuka. Oleh sebab itu, orang tua perlu mengambil inisiatif agar dapat membuka obrolan. Orang tua bisa menanyakan langsung pada anak mengenai pengalaman-pengalaman yang terjadi selama di sekolah, contohnya.
Kenali perubahan tingkah laku pada anak
Sebagai orang tua, kita harus bisa mengenali bagaimana perilaku anak sehari-hari, sehingga bisa menyadari jika ada tingkah laku yang berubah pada diri anak. Setelah itu mengambil tindakan yang tepat untuk mengatasi perubahan tingkah laku tersebut.
Jika anak atau siswa tingkah lakunya berubah, ajaklah mereka bicara secara terbuka dan mintalah bicara dengan jujur.
Membuat peraturan yang ketat dan tegas
Supaya siswa tidak menjadi pelaku kekerasan di sekolah, di samping memberikan hukuman atas kesalahan yang telah dilakukan, buatlah peraturan yang jelas dan tegas.
Menerapkan pendidikan tanpa adanya kekerasan di sekolah
Pendidikan tanpa kekerasan adalah suatu model pendidikan yang sangat diharapkan di mana guru dapat menjalin komunikasi yang efektif dengan siswa, mengenali potensi siswa, menghargai kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki, dan seterusnya.
Jika ada kesalahan yang dilakukan siswa, diperlukan adanya konseling bukan hanya dengan hukuman. Masalah konseling ini sebenarnya bukan hanya berlaku untuk siswa saja. Sebab tidak menutup kemungkinan guru juga perlu bimbingan konseling karena guru juga bisa mendapat predikat bermasalah sehingga membutuhkan penguatan, bimbingan, motivasi.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud