Oleh Sugeng Iryanto
Guru SMK Negeri 1 Malang
Saudara kembar “Salam dan Salim” hilang diterjang virus Covid-19. Di masa pandemi ini yang populer justru “Maya”.
Memang dengan kehadiran Covid-19 di sekitar kita membuat banyak kondisi yang mengalami perubahan secara drastis. Hidup jadi dipenuhi rasa was-was dan rasa takut terhadap ganasnya makhluk kecil yang tak kasat mata tersebut.
Banyak aturan untuk bisa hidup bersamanya. Dan siapa saja yang mengikuti aturan dan taat protokol kesehatan kemungkinan besar tidak akan diganggu oleh Covid-19 tersebut. Namun jika sedikit saja lengah, tak ada ampun, langsung diserang habis-habisan.
Dalam kondisi seperti itu, perilaku budaya baik masyarakat Indonesia khususnya di kalangan siswa terhadap guru mengalami perubahan. Biasanya, siswa yang bertemu dengan guru akan segera mengucapkan “Salam” kemudian jabat tangan dan cium tangan guru atau yang dikenal dengan “Salim”.
Perilaku seperti itu sebenarnya sudah sangat membudaya. Apalagi memberi salam, sudah pasti dilakukan saat pelajaran akan dimulai ataupun saat mengakhiri pelajaran.
Semenjak pembelajaran dilakukan dari rumah atau daring, Salam dan Salim tidak bisa dilakukan lagi. Salam sebenarnya masih tetap dilakukan, tetapi sekarang menjadi terbalik. Kalau di kondisi normal peserta didik yang memberi salam lebih dahulu kepada guru, namun sekarang dalam kondisi ‘new normal’ guru yang harus terlebih dahulu memberi salam kepada peserta didik saat memulai dan mengakhiri pembelajaran tatap maya.
Ini adalah kenyataan yang tidak bisa dihindarkan, dan sekarang ini dunia benar-benar terbalik. Hanya harapan yang bisa dipanjatkan agar budaya baik salam dan salim tetap berdampingan selamanya di kalangan pelajar. Dan semoga Covid segera pergi jauh meninggalkan kita semua.
Fenomena sosial kultural negatif seperti yang telah dijelaskan di atas yang terjadi selama pandemi ini perlu menjadi perhatian bagi kalangan pendidik dan orang tua. Sebab jika terus berkelanjutan akan menumbuhkan pribadi-pribadi individualistis. Kurangnya kepedulian sosial terhadap guru, orang tua, saudara, teman secara akumulatif selama pandemi dapat membentuk bahkan menjadikan karakter sosial di tengah kehidupan bermasyarakat.
Kenapa bisa? Karena teman seusianya dan orang-orang di sekitarnya sama-sama terbentuk dengan ‘mesin karakter’ yang sama yaitu kondisi pandemi Covid. Ini yang perlu diperhatikan, karena faktanya kini telah lahir generasi milenial yang cenderung angkuh, cuek, malas, egois, minim budi pekerti, dan suka mengisolasi diri.
Memang tidak semua karakter negatif diproduksi oleh pandemi Covid. Ada juga karakter-karakter positif yang mengiringi kondisi ini seperti rasa ingin tahu dan belajar, pola hidup bersih, disiplin, kerja keras, peduli sosial, kerja sama dan lain-lain. Namun karakter positif ini tampaknya lebih banyak melanda orang dewasa, sedangkan karakter negatif lebih banyak terjadi pada generasi muda.
Hal itu bisa terjadi karena orang dewasa memang telah matang dalam berpikir sehingga sudah bisa memilah dan memilih mana yang terbaik untuk dilakukan. Sedangkan kaum muda, lebih-lebih usia anak dan remaja, tingkat berpikirnya belum matang bahkan masih mentah sehingga belum bisa mengambil keputusan secara bijak. Apalagi ketika banyak orang tua yang tidak atau kurang mendampingi putra-putrinya.
Dapatkan info terbaru dan ikuti seminar atau diklat untuk guru secara gratis yang dapat menunjang profesionalitas serta kompetensi dengan cara menjadi anggota e-Guru.id. Klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!