Oleh Jan Laniengka, S.Pd
Guru SMAN 1 Lembo, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah
Tahun 1982 ketika masuk SMA Negeri 4 Manado, saat mendaftar kami harus mengisi formulir yang salah satu kolomnya mengharuskan menyebutkan cita-cita. Saya mengisi kolom tersebut dengan cita-cita ingin menjadi polisi. Ya, saya benar-benar ingin jadi seorang polisi. Itulah cita-cita saya waktu itu.
Tahun 1985, saya dinyatakan lulus dari sekolah tersebut. Setelah itu apakah lanjut masuk ke lembaga kepolisian? Sayang sekali, postur tubuh saya kecil dan pendek, tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi seorang anggota polisi Republik Indonesia. Pada saat itu syarat tinggi badan untuk pria minimal 160 cm dan tinggi badan saya tidak mencapai itu. Sayangnya lagi orang tua saya hanya sebagai seorang petani yang berpindah-pindah ladang. Sehingga tidak punya modal atau keuangan yang cukup untuk membiayai saya masuk pendidikan Polisi Republik Indonesia.
Maka saya pun mengambil keputusan untuk istirahat karena memang tidak ada biaya untuk kuliah. Hampir dua tahun saya tidak mempunyai kegiatan apa-apa kecuali hanya diam di rumah dan membantu orang tua berkebun.
Di akhir tahun 1986, seorang paman saya yang tinggal di Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, datang ke Manado. Waktu itu beliau adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kodim 1307 Poso. Beliau datang ke Manado untuk mengikuti ujian dinas kenaikan pangkat. Ketika beliau akan kembali ke Poso beliau meminta izin kepada orang tua saya agar saya boleh diajak ke Poso dengan perjanjian akan dicarikan pekerjaan di sana.
Tibalah saya di Poso pada bulan Desember tahun 1986. Dan beberapa hari kemudian, saya langsung diantar dan melamar pekerjaan di Universitas Sintuwu Maroso, Poso. Langsung diterima dan ditempatkan di bagian perpustakaan.
Tugas saya di perpustakaan tersebut adalah sebagai pengelola bahan pustaka. Kegiatan sehari-hari saya adalah membaca dan memahami isi pokok buku, majalah, dan dokumen lainnya serta menentukan nomor kelas sesuai dengan Dewey Decimal Classification (DDC).
Dan kesulitan bagi saya dalam menjalani pekerjaan tersebut adalah memahami apa yang terkandung dalam buku-buku tersebut karena koleksi yang ada di perpustakaan itu rata-rata berbahasa Inggris. Dan saya harus berusaha memahaminya sehingga bisa ditentukan buku tersebut masuk pada kelas apa, apakah kelas Psikologi, Filsafat, Agama, Sosial Ekonomi, Pendidikan, Bahasa, Ilmu Pengetahuan Alam, Pertanian, Teknik, Sastra, atau Sejarah dan Biografi.
Pada suatu saat saya menemui beberapa mahasiswa jurusan Bahasa Inggris. Mereka bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dan saya penasaran. Rasa ingin tahu saya akan bahasa itu sangat besar, di samping didorong oleh tugas pokok saya sebagai pengelola perpustakaan yang harus memahami subyek dari bahan pustaka itu.
Maka pada tahun 1993, saya mendaftar sebagai mahasiswa pada jurusan Bahasa dan Seni, program studi Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Sebelum itu saya pernah masuk pada jurusan Perikanan tapi tidak melanjutkan pendidikan karena program studi tersebut ditutup kembali karena peminatnya sangat sedikit waktu itu.
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), mencetak mahasiswanya menjadi calon guru. Tapi waktu itu, saya masih berikhtiar untuk tidak mau menjadi seorang guru. Motivasi saya hanya ingin menguasai bahasa Inggris agar saya bisa menjalankan tugas saya dengan baik. Jujur, saya tidak punya niat atau bercita-cita ingin menjadi seorang guru sama sekali. Alasan saya karena tugas sebagai guru sangat berat karena akan menghadapi berbagai macam karakter siswa dan saya tidak berani berbicara di hadapan orang banyak.
Sebagai bukti bahwa saya tidak ingin menjadi seorang guru, pada semester empat, ketika dibuka program studi Sastra Inggris, saya ingin pindah jurusan. Saya meminta izin kepada dosen saya yang berasal dari Australia, Miss Susan Sandral, ternyata beliau tidak mengizinkan pindah jurusan karena sudah setengah perjalanan. Beliau pun menasehati saya dan tetap melanjutkan pendidikan di fakultas pencetak calon guru, meskipun di dalam hati saya tetap tidak ingin untuk menjadi guru ketika nanti sudah lulus.
Dengan misi agar bisa menerjemahkan koleksi perpustakaan yang berbahasa Inggris, saya bersemangat untuk terus belajar menguasai bahasa itu. Semester demi semester saya lalui dengan hasil yang memuaskan.
Pada semester lima kalau tidak salah, saatnya kami harus memprogramkan mata kuliah Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) I. Artinya harus menjalankan praktik mengajar di sekolah-sekolah. Saya pun terpaksa untuk mengikuti program itu karena kalau tidak, maka saya tidak bisa lulus.
Singkat cerita, setelah melewati beberapa bulan praktik lapangan yang pertama, saya berhasil mendapatkan nilai B (baik) dan terus melanjutkan perkuliahan. Pada semester tujuh, kami harus melaksanakan kembali Praktik Pengalaman Lapangan II dan hasilnya pun sangat memuaskan dengan nilai A. Saya berhasil menyelesaikan praktik mengajar dengan predikat sangat baik dan saya pun kaget, ternyata saya bisa mengajar!
Pada tahun 1998, saya diwisuda dengan predikat Lulusan Terbaik pada jurusan bahasa Inggris. Saya bangga, nama saya dimuat dalam buletin sekolah dan koran lokal. Istri saya yang selalu setia menemani dan mendorong saya untuk terus kuliah turut bangga. Senang rasanya ketika dinobatkan sebagai lulusan terbaik.
Saya menyelesaikan pendidikan S1 dengan biaya sendiri sekaligus mencukupi kebutuhan keluarga yang waktu itu saya sudah menikah dan memiliki dua orang anak. Gaji saya waktu itu Rp.50.000 per bulan dan istri saya juga seorang Tata Usaha di salah satu fakultas dan mendapat gaji Rp. 40.000.
Untuk biaya kuliah, setiap bulan gaji saya dipotong Rp. 25.000. Jadi uang yang tersisa untuk biaya hidup dari saya setiap bulan hanya Rp. 25.000. Kami pun berjuang hidup sederhana, makan seadanya demi pendidikan. Dengan kesabaran dan motivasi dari istri, saya pun bisa menyelesaikan pendidikan dan bisa menyandang gelar S1.
Pada bulan Oktober tahun 1999, saya mengikuti seleksi guru kontrak dan lulus. Semua lulusan FKIP Unsimar pada waktu itu diterima sebagai guru kontrak untuk ditempatkan di SMP dan SMA yang ada di Kabupaten Poso.
Setelah itu, pemerintah juga membuka seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) secara nasional. Saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan mendaftar. Pada saat mengikuti tes tersebut, saya merasa bahwa saya tidak akan lulus karena saya merasa kesulitan dalam menjawab soal-soal yang ada, apalagi soal psikotes.
Beberapa bulan kemudian ada penyampaian pengumuman dari Dinas Provinsi bahwa sebagai guru kontrak, kami harus mengikuti pelatihan di Palu sebelum bertugas di sekolah-sekolah. Dan menjelang keberangkatan ke Palu untuk mengikuti Diklat guru kontrak, saya sedang mencuci pakaian dan datanglah seorang teman yang sama-sama mengikuti tes CPNS. Sambil bersandar di pintu belakang di samping tempat saya mencuci, dia berkata, “Ngana ini senang, bale?” yang artinya “Kau senang, teman? ”
Saya pun langsung jawab, “Senang apa? Ini kau lihat, saya sementara mencuci sendiri, mau persiapan besok berangkat.”
“Kau mo pigi juga to?” jawabnya. Lalu melanjutkan, “Kau lulus, bale.”
Sontak saya menghadap ke dia dan berkata, “Kau jangan main-main.”
Tanpa menghiraukan kata-kata saya, dia pun terus berkata, “Tidak, bale. Pigi liat di sana (di kantor dinas P dan K), ada ngana pe nama.”
Antara percaya dan tidak, saya pun meninggalkan cucian saya dan bergegas ke kantor P dan K. Dan puji Tuhan, dari 60 peserta dari jurusan Bahasa Inggris, ada dua orang yang dinyatakan lulus dan salah satunya adalah Jan Laniengka.
Sambil bersyukur saya bergumam dalam hati, “Jadi guru,…hahaha!”
Dan diumumkan pula bahwa esoknya harus berangkat melapor ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah di Palu. Dan saya berangkat ke Palu, kali ini bukan untuk mengikuti pelatihan guru kontrak akan tetapi mengikuti pembekalan CPNS.
Saya dan istri sangat bersyukur dan bahagia karena saya menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil di mana pada pada waktu itu menjadi PNS sangat membanggakan dan dapat menjamin masa depan.
Saya pun ditempatkan di SMAN 1 Bungku Selatan. Oleh karena saat penerimaan SK PNS sekolah tersebut belum membuka penerimaan siswa baru—masih dalam penyelesaian pembangunan gedung sekolah—kami ‘dititipkan’ di SMPN 1 Kaleroang di suatu pulau kecil di wilayah timur Kabupaten Poso (sekarang Kabupaten Morowali Utara).
Setelah mendapatkan SK dan Surat Tugas pada pertengahan bulan Maret 2000, saya berangkat ke tempat tugas yang belum saya ketahui daerahnya. Dari Poso menggunakan bus menuju Bungku Tengah. Dan dari situ melanjutkan perjalanan menggunakan kapal kayu selama 6 jam. Waktu itu keadaan Poso sedang genting karena konflik SARA selama kurang lebih satu catur wulan (CAWU) mengajar di sekolah titipan, SMPN 1 Kaleroang.
Pada tahun pelajaran baru 2000/2001, kami yang dititipkan di SMPN 1 Kaleroang harus pindah tugas di tempat yang sebenarnya yaitu di SMAN 1 Bungku Selatan. Perjalanan laut hanya memakan waktu kurang lebih 4 jam.
Saya dan beberapa teman guru baru mulailah melaksanakan tugas di sekolah tersebut. Sementara itu keadaan Poso belum aman dan masih mencekam. Meskipun kami berada di tempat yang jauh dari pusat konflik akan tetapi dampaknya sangat terasa. Ada rasa dendam dan saling curiga antar agama. Kota Poso pada saat itu ditetapkan sebagai daerah darurat sipil akibat perselisihan antar warga yang mengakibatkan banyak korban. Rasa khawatir dan takut menyelimuti perasaan kami pada saat itu karena keyakinan kami berbeda dengan keyakinan masyarakat setempat.
Oleh karena kami merasa tidak aman, maka kami minta izin pamit untuk mengamankan diri kepada Kepala Desa. Maka dengan seizin pemerintah desa, kami pun hijrah atau berpindah ke daerah lain yang kami anggap kondusif atau aman untuk melaksanakan tugas. Maka saya pun menyelamatkan diri di Tentena, Kabupaten Poso, mengajar di SMPN 1 Pamona.
Setelah Poso dinyatakan aman dan kondusif, saya mencari penempatan yang baru dan menetaplah saya di Kecamatan Lembo, Kabupaten Morowali, daerah pemekaran Kabupaten Poso, tepatnya di SMA Negeri 1 Lembo. Sampai dengan sekarang masih mengajar di sekolah tersebut.
Terhitung sampai saat ini, usia pengabdian sebagai guru kurang lebih 22 tahun. Ternyata saya bisa menjadi seorang guru dan menikmati gaji dan tunjangan sertifikasi pendidik dari pemerintah Indonesia.
Itulah sekelumit cerita saya menjadi seorang guru. Dapat diambil pelajaran bahwa apabila pekerjaan ditekuni walaupun bukan sebuah cita-cita, akan menjadi terbiasa dan tumbuh menjadi sebuah hobi yang menyenangkan hati.
Tulisan ini kupersembahkan untuk istri dan keempat orang anak, menantu, dan seorang cucu terkasih. Inilah catatan perjalanan hidup Jan Laniengka. (*)
Arti kata:
· Pigi = Pergi
· Bale = Teman
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
*Meniti Jalan Menjadi Guru (MJMG) adalah konten serial yang mengisahkan perjalanan dan pengalaman menjadi seorang guru yang ditulis sendiri oleh nama bersangkutan. Tayang eksklusif di NaikPangkat.com dan akan dibukukan dalam sebuah antologi dengan judul “Meniti Jalan Menjadi Guru”