Oleh Deny Susilowati, S Pd.SD
Guru di SD Negeri Panggung Lor, Semarang
Tahun 1976, saya mulai masuk sekolah dasar negeri inpres. Hal yang menggembirakan hatiku. Walau saat itu sempat hanya bersandal jepit menuju sekolah bersama teman dengan jalan kaki. Kadang jepitan sandal putus. Karena takut terlambat sekolah, kucangking dengan tas plastik menuju kelas.
Di sela-sela pelajaran, Pak guru menghimbau agar saat berangkat sekolah memakai sepatu. Tersentak hatiku. Bingung. Bagaimana cara minta sepatu pada orang tua. Sementara saat itu, gaji orang tua hanya pas buat makan sehari-hari. Bahkan kadang hanya bisa makan ubi, singkong, dan jagung. Itupun hasil menanam Bapak di lahan kosong atas izin pemiliknya. Oleh karena itu, walau Pak guru menghimbau para siswa memakai sepatu, saya tetap memakai sandal jepit saat masuk sekolah.
Namun semangat belajar terus mengalir ketika menuju sekolah waktu itu. Saat ditanya oleh Pak guru mengapa masih pakai sandal jepit saya hanya bisa menjawabnya karena Bapak belum bisa membeli sepatu.
Sampai di rumah kusampaikan hal itu pada orang tua agar saat sekolah memakai sepatu bukan sandal jepit. Alhamdulillah, setelah gajian saya dibelikan sepatu plastik warna hitam. Itu adalah sepatu pertamaku. Dan saya semakin semangat berangkat ke sekolah karena sudah punya sepatu—walau terbuat dari plastik bukan sepatu Bata seperti harapanku.
Saat jam istirahat, saya suka bermain bersama teman-teman di pinggir jalan raya yang agak jauh dari sekolah. Di pinggir jalan itu ada pohon asam yang cukup besar dan lebat buahnya. Di sana saya dan teman-teman mencari buah asam untuk dimakan.
Pernah pada suatu saat, karena sudah mendapat banyak buah asam yang disimpan di saku baju, kami kembali ke sekolah. Kulihat halaman sekolah sudah sepi. Dengan rasa takut kucoba mengetuk pintu kelas. Dibukalah pintu tersebut oleh guru. Dengan rasa takut, kami minta maaf karena bermain di luar sekolah. Akhirnya kami diminta berdiri di depan kelas ditanya satu per satu mengapa mencari buah asam saat belajar di sekolah. Kami diminta membuat tulisan permintaan maaf dan berjanji tidak mengulangi lagi. Itu adalah sebuah pengalaman yang tak terlupakan sampai saat ini.
Saat masih duduk di bangku SD, saya juga sering diminta guru membantu tugasnya. Saya sering diminta untuk mencatat di papan tulis dengan kapur tulis. Saya merasa senang bila diminta membantu guru mencatat di papan tulis, karena buku milik guru bisa saya bawa pulang.
Karena seringnya diminta guru membantu menulis di papan tulis inilah cita-cita menjadi guru itu muncul dalam hatiku. Yang saya tahu menjadi guru itu baik dan berguna. Memang saat itu profesi guru kurang begitu diminati oleh banyak orang. Karena gaji yang diterima cenderung pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apalagi jika masih wiyata bakti atau honorer. Menjadi guru saat itu benar-benar harus memiliki niat ikhlas mengabdi.
Singkat cerita di tahun 1985 selepas SMP, saya mendaftar di SPG (sekolah pendidikan guru). Suatu hari saya pernah mendapat pertanyaan dari salah seorang guru; Mengapa masuk di SPG bukan SMA?
Hal pertama yang menjadi motivasi saya adalah ingin cepat mendapatkan lapangan pekerjaan. Namun faktanya, setelah lulus SPG, ternyata masih harus sabar menanti lowongan. Apalagi saat itu ada aturan harus melanjutkan di perguruan tinggi (minimal D2) bila ingin diangkat menjadi guru negeri.
Sementara itu untuk bisa lulus sekolah pendidikan guru saja, saya harus ikut membantu seorang guru di rumahnya. Sehingga waktu itu saya hampir drop out karena keterbatasan biaya. Maklum, saya hidup di keluarga yang kurang mampu dengan tujuh saudara. Orang tua saya bekerja sebagai buruh bangunan.
Niat saya ingin segera bekerja adalah agar bisa membantu keluarga dalam menyekolahkan adik-adik.
Setelah sekian waktu berselang, ada pembukaan sekolah dasar swasta. Saya tertarik mendaftar sebagai guru, dan alhamdulillah diterima. Karena masih sekolah baru, saat itu baru terdapat dua kelas. Saya menjadi guru di kelas 1, yaitu di SD Islam Siti Sulaechah Mayangsari, Kecamatan Ngaliyan .
Saya masih ingat ketika mengajar pertama kali di kelas menghadapi para siswa. Saat saya masuk kelas, semua siswa terdiam menyiapkan diri.
“Assalamu’alaikum, selamat pagi anak-anak,“ sapaku membuka kelas.
Mereka serentak menjawab, ”Wa’alaikum salam, selamat pagi, Bu guru.”
Di saat itu, saya menyadari bahwa saya dianggap guru. Maka bertambah semangat lah saya untuk mengajar. Dan kulalui hari-hari berikutnya dengan mengajar dengan hati riang gembira, senang bertemu anak-anak di kelas.
Di tahun 1990, setelah hujan terus-menerus sekolah kami pernah dihantam banjir bandang. Air sungai dekat sekolah menyapu ruang kelas. Ruang kelas dan isinya porak-poranda, meja kursi dipenuhi dengan lumpur. Terdapat salah satu orang tua siswa yang menjadi korban banjir tersebut karena derasnya air. Namun siswa saya semua terselamatkan.
Itu adalah di antara suka dan duka di awal-awal menjadi guru. Semua kulalui dengan lapang dada. Semua itu membawa kesan tersendiri untuk dijadikan sebuah pengalaman .
Pada tahun 1991, saya menikah dan pindah mengikuti suami ke tempat baru. Di tempat baru tersebut, saya mengisi lowongan mengajar di SD Muhammadiyah 5 Semarang. Walau gaji tak seberapa tetapi saya percaya bahwa keberkahan akan selalu ada.
Sepanjang meniti karir menjadi guru, banyak cerita yang telah kulewati. Mulai dari gaji yang hanya cukup untuk transportasi ke sekolah. Sehingga untuk membeli susu anak cukup kesulitan. Itu terjadi antara tahun 1992 sampai 2003.
Buah kesabaran dalam mengabdi akhirnya terjawab setelah saya diterima dalam seleksi pengangkatan guru bantu. Tahun 2003, saya mengikuti tes guru bantu dan lolos. Lalu saya ditempatkan di salah satu sekolah dasar negeri pinggiran, yaitu di Sekolah Dasar Negeri Panggung Lor Semarang, tempat saya bertugas hingga saat ini.
Untuk meningkatkan kompetensi dan kualifikasi pendidik, saya melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Terbuka jurusan PGSD. Universitas ini saya pilih atas berbagai pertimbangan antara lain karena waktu, tenaga, dan biaya yang sangat terjangkau bagi guru yang sudah bertugas di satuan pendidikan.
Meski demikian, saya harus pandai membagi waktu antara belajar, bekerja dan mengurus rumah tangga yang dikarunia dua anak. Semua itu harus kulalui dengan kerja keras. Suami yang sama-sama berprofesi sebagai guru sangat mengerti hal itu dan mendukung.
Tidak lama kemudian, ada pengangkatan guru bantu menjadi PNS. Semua kujalani dengan semangat dan sabar. Alhamdulillah, sekarang pendapatan keluarga sudah memenuhi standar kelayakan.
Kewajiban, tugas, tanggung jawab seorang guru memang lumayan berat. Di samping harus menyiapkan administrasi pokok, yang lebih penting adalah memiliki kompetensi pembelajaran dalam mentransfer ilmu serta membimbing peserta didik. Dalam hal ini para dituntut untuk mampu menerapkan bidang keilmuan masing-masing saat menjalankan tugas profesinya.
Seorang guru juga harus bisa membaca situasi dan menyesuaikan keadaan. Dalam arti guru harus mampu menerapkan cara atau metode untuk menyampaikan pembelajaran secara efektif dan menyenangkan. Maka perlu bagi para guru mengikuti berbagai pelatihan–pelatihan yang dapat mendukung tugas pokok dan fungsinya. Terlebih pada masa pandemi, teknik penyampaian materi pelajaran berbeda dari biasanya. Guru dituntut untuk menguasai IT agar bisa mentransfer ilmu melalui jaringan internet dengan media gadget atau komputer.
Profesionalisme seorang guru di masa kini sangat dibutuhkan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Belajar dan terus belajar adalah kuncinya. Tetap belajar walau sudah mengajar. Itulah guru profesional. Karena tanpa belajar maka guru dapat ketinggalan informasi terkini.
Seiring perkembangan zaman, perubahan kurikulum pun selalu terjadi dalam dunia pendidikan. Hal ini harus memacu para guru untuk selalu belajar dan meningkatkan diri agar pembelajaran untuk siswa semakin bermakna dan berguna.
Saya sendiri walau usia sudah tidak muda, saya tetap berusaha belajar bersama guru–guru masa kini yang lebih akrab dengan teknologi. Walau tidak secanggih guru masa kini, tetapi semangat saya untuk mengabdi untuk mendidik generasi akan selalu ada hingga purna nanti.
Panggilan hati untuk menjadi guru sejati susah dicari. Dan semoga guru masa kini dapat menjadi guru sejati dan selalu semangat mengabdi untuk negeri tercinta ini. Sehingga menghasilkan generasi bangsa yang beriman, berbudi pekerti, cerdas, terampil, dan berwawasan kebangsaan.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
*Meniti Jalan Menjadi Guru (MJMG) adalah konten serial yang mengisahkan perjalanan dan pengalaman menjadi seorang guru yang ditulis sendiri oleh nama bersangkutan. Tayang eksklusif di NaikPangkat.com dan akan dibukukan dalam sebuah antologi dengan judul “Meniti Jalan Menjadi Guru”