Oleh Suyamto, S.Ag
Guru IPS SMPN 4 Satu Atap Sumberlawang
Menurut WHO, kekerasan yang dilakukan oleh remaja atau kalangan pelajar adalah masalah masyarakat yang terjadi secara global. Bentuk kekerasan tersebut mencakup berbagai tindakan mulai dari intimidasi, perkelahian fisik, kekerasan seksual, dan tindak kekerasan yang lebih parah hingga pembunuhan.
Akhir-akhir ini kita mendengar kabar bahwa pelajar SD di Sukabumi dihajar oleh siswa SMP hingga tewas. Mengapa kasus tersebut bisa terjadi ?
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan pelajar antara lain:
Faktor pertama yaitu risiko dalam diri individu. Faktor risiko dalam diri individu ini meliputi kurangnya perhatian, hiperaktif, gangguan perilaku, keterlibatan dengan alkohol, rendahnya kecerdasan, paparan kekerasan dalam keluarga, dan lain sebagainya.
Yang kedua adalah faktor risiko hubungan dekat. Faktor ini biasanya terjadi karena lemahnya pemantauan dan pengawasan anak oleh orang tua, rendahnya keterikatan antara orang tua dan anak, rendahnya keterlibatan orang tua dalam kegiatan anak, bergaul dengan rekan nakal atau keanggotaan geng, dan lain sebagainya.
Yang terakhir adalah faktor risiko komunitas dan masyarakat yang meliputi akses ke dan penyalahgunaan alkohol, akses penyalahgunaan senjata api, kualitas pemerintahan suatu negara (undang-undang dan sejauh mana mereka ditegakkan, serta kebijakan untuk pendidikan dan perlindungan sosial).
Pencegahan kekerasan pelajar memerlukan kolaborasi antara orangtua, pihak sekolah, komite sekolah, dan masyarakat pada umumnya.
Pendidikan yang baik dalam keluarga adalah harga mati. Orang tua punya kewajiban untuk membimbing anak-anaknya menjadi manusia berguna dengan menanamkan nilai-nilai kehidupan.
Tetapi sayangnya, tidak semua orangtua melakukan amanah mulia ini dan memanfaatkan masa-masa kebersamaan tersebut secara optimal. Alasannya klasik, tidak punya waktu, selalu sibuk dengan pekerjaannya.
Sebenarnya mayoritas orang tua pasti menyadari pentingnya pendidikan anak dalam keluarga, tetapi merasa tidak memiliki kemampuan, sehingga sekolah dianggap sebagai pihak yang paling kompeten untuk memberikan bekal tersebut.
Oleh sebab itu melihat kepercayaan masyarakat yang masih begitu tinggi kepada instansi pendidikan, maka seluruh lembaga pendidikan seharusnya kembali kepada pandangan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara.
Ia berpandangan bahwa pendidikan merupakan salah satu usaha pokok untuk memberikan nilai-nilai kebatinan yang ada dalam hidup rakyat yang berkebudayaan kepada tiap-tiap turunan baru (penyerahan kultur), tidak hanya berupa “pemeliharaan” akan tetapi juga dengan maksud “memajukan” serta “memperkembangkan” kebudayaan, menuju ke arah keseluruhan hidup kemanusiaan (Dewantara, 2011: 344).
Pencerminan proses pembelajaran dari pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak. Ini dilakukan dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan anak dengan dunianya.
Manusia yang berbudi pekerti artinya mereka yang memiliki kekuatan batin dan memiliki karakter. Pendidikan perlu diarahkan untuk menjadi orang-orang yang berpendirian teguh supaya mereka berpihak pada nilai-nilai kebenaran. Sehingga tindakan yang dilakukan selaras dan tidak bertentangan dengan kebenaran yang diajarkan agama, adat-istiadat, hukum positif, dan nilai-nilai kemanusiaan universal. (*)
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud, S.S.