Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki keberagaman suku. Hal itu menjadikan negara Indonesia menjadi negara terkaya dengan keberagamannya. Di setiap suku pasti memiliki tradisi dan bahasa daerah sendiri.
Badan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatat saat ini Indonesia memiliki 718 bahasa daerah. Angka ini bertambah setelah tahun lalu Indonesia hanya memiliki 668 bahasa daerah. Data ini menjelaskan bahwa Indonesia kaya akan keragaman bahasanya.
Dengan banyaknya keberagaman suku di Indonesia, untuk mewujudkan kemerdekaan, maka pada tanggal 28 November 1928 di wujudkan persatuan rakyat Indonesia dengan mengikrarkan Sumpah Pemuda, yang salah satu isinya adalah “Menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia”. Inilah awal bahasa Indonesia kemudian menjadi bahasa nasional dan bahasa negara.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, fungsi bahasa Indonesia adalah sebagai lambang kebanggaan kebangsaan, identitas nasional, alat perhubungan antar warga, antar daerah dan antar budaya. Serta sebagai alat pemersatu suku, budaya, dan bahasa yang beragam di Nusantara. Sedangkan dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, fungsi bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar pendidikan, alat perhubungan tingkat nasional dan alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jika kita melihat fakta di lapangan akan banyak kita dapati bahwa bahasa Indonesia ternyata belum menjadi bahasa utama dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah daerah. Sebagian besar guru dan siswa masih terbiasa untuk menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa komunikasi, bahkan di saat pembelajaran berlangsung. Maka kebiasaan ini tentu menyebabkan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara mengalami krisis atas eksistensinya.
Bahasa Indonesia dan Pendidikan
Fungsi bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan lembaga pendidikan adalah sebagai bahasa pengantar. Dalam pembelajaran, bahasa pengantar seharusnya menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia perlu diterapkan sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Akan tetapi, menurut Mujid (2009) di beberapa daerah-daerah seperti Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan Makassar masih banyak yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar sampai dengan tahun ketiga pendidikan dasar.
Pernyataan tersebut menyiratkan bagaimana di daerah-daerah tertentu bahasa Indonesia belum menjadi prioritas utama sebagai bahasa pengantar sehari-hari di lembaga pendidikan. Bahasa daerah sebagai bahasa ibu masih menjadi bahasa utama dalam komunikasi sehari-hari masyarakat, tidak terkecuali di sekolah.
Sekolah sebagai tolok ukur pengembangan ilmu pengetahuan dan tempat di mana terjadinya proses belajar mengajar antara siswa dengan guru adalah sumber utama dari penanaman nilai-nilai karakter serta nasionalisme bagi peserta didik dalam upaya mendewasakan diri dengan ilmu pengetahuan agar menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur dan cinta pada ibu pertiwi. Namun, jika dalam penggunaan bahasa Indonesia saja masih belum optimal, akankah nilai-nilai nasionalisme siswa dapat terbentuk?
Faktor utama masih banyak sekolah yang masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran di kelas karena bahasa daerah sebagai bahasa ibu dirasa lebih mampu dipahami oleh peserta didik dibandingkan penggunaan bahasa Indonesia.
Seorang peneliti dari lembaga INOVASI, George Adam Sukoco, pernah mengadakan program kerja sama pendidikan antara pemerintah Australia dan Indonesia untuk memfasilitasi guru untuk belajar menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar secara lebih efektif di dalam kelas. Mereka melakukan program Pendidikan Multi Bahasa Berbasis Bahasa Ibu (PMBBI). Program ini melibatkan sekitar 40 sekolah di dua provinsi Indonesia bagian timur. Mereka memilih daerah tersebut karena masih banyak siswa yang belum lancar berbahasa Indonesia.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan pada 2019 di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, menunjukkan bahwa pendekatan PMBBI yang diimplementasikan sejak awal 2018 mengindikasikan peningkatan kemampuan literasi siswa secara umum. Tingkat kelulusan tes literasi dasar (mengenal huruf, suku kata, dan kata) siswa dengan bahasa daerah meningkat dari 27% menjadi 79%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa peserta didik yang diajarkan dengan bahasa daerah sebagai bahasa ibu lebih mudah dan lebih cepat memahami materi pelajaran.
Hal yang sama juga terjadi di MTs Negeri 2 Bener Meriah. Sebagai salah satu daerah yang mayoritas bersuku Gayo ini dalam keseharian masyarakatnya juga masih kental dengan penggunaan bahasa Gayo sebagai bahasa pengantar. Begitu pula di tingkat sekolah, bahasa daerah akan banyak ditemukan di kelas-kelas dalam proses pembelajaran. Alasan serupa menjadi penyebab mengapa bahasa daerah masih digunakan dalam proses pembelajaran. Karena dengan menggunakan bahasa daerah dalam proses pembelajaran, siswa dianggap lebih mampu memahami materi pembelajaran.
Bahasa Gayo dan Bahasa Indonesia
Bahasa Gayo adalah bagian dari kekayaan budaya di Kabupaten Bener Meriah memang harus perlu dilestarikan dan dijaga. Namun, perlu juga diperhatikan bahwa krisis penggunaan bahasa Indonesia dalam pembelajaran di kelas juga akan menjadi masalah yang cukup berarti. Mengingat sistem pendidikan di Indonesia yang masih menjalani sistem penilaian akhir yang merata di seluruh Indonesia. Hal itu tentu mewajibkan seluruh peserta didik harus paham setiap pertanyaan yang menggunakan bahasa Indonesia. Misalnya, mata pelajaran Bahasa Indonesia, masih dijadikan salah satu pelajaran dalam Ujian Nasional.
Bagi siswa yang belum fasih dengan bahasa Indonesia, memulai pendidikan dalam bahasa Indonesia tentu sangat menantang. Praktik ini dapat menyebabkan mereka kesulitan untuk mengikuti pembelajaran, bahkan memaksa mereka keluar dari sekolah. Dampak dari praktik ini akan semakin terlihat setelah siswa naik ke jenjang yang lebih tinggi saat bahasa yang digunakan dalam pembelajaran semakin kompleks.
Tantangan lain hadir dalam penggunaan bahasa daerah di sekolah sebagai bahasa pengantar ketika ada guru pendatang. Ini juga sering menjadi salah satu kesulitan yang pastinya akan dihadapi sekolah.
Maka di sini peran sekolah dan lembaga lainnya untuk dapat menjaga kedua bahasa tersebut. Penggunaan bahasa daerah bukanlah hal yang buruk karena dapat melestarikan budaya daerah. Namun, penggunaan bahasa Indonesia juga tidak dapat diabaikan. Mengingat bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan, memiliki kedudukan yang penting dan eksistensinya harus terus dipertahankan.
Ditulis oleh Putri Yanti, S.Pd, Guru MTs Negeri 2 Bener Meriah