Oleh Aty Muyassaroh
Widyaprada di LPMP Provinsi Kalimantan Tengah
Dalam sebuah Webinar yang digagas oleh Fakultas Pendidikan salah satu universitas swasta di Jakarta, seorang Kepala Sekolah SMP dari Kabupaten Majene, Sulawesi Barat dengan lantang mengungkapkan bahwa pendidikan karakter sekarang telah hilang dari sekolahnya sejak pandemi Covid-19 melanda. Menurutnya, semua program pendidikan karakter yang sebelumnya telah dilaksanakan dengan baik, mendadak tidak dapat lagi dilaksanakan. Berbagai pembiasaan baik yang sebelum pandemi telah rutin ditanamkan kepada anak didiknya, sekarang menjadi sulit untuk ditanamkan.
Fenomena yang terjadi di sekolah tersebut mungkin juga terjadi di sekolah lain di Indonesia. Baru-baru ini di salah satu SMP Negeri di Sampit, sebuah kota di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, dikutip dari Borneonews.co.id, pada tanggal 17 Desember 2021 telah terjadi pengeroyokan yang dilakukan oleh kakak kelas terhadap adik kelas karena kesalahpahaman. Peristiwa pengeroyokan oleh puluhan kakak kelas terhadap satu orang korban tersebut terjadi di sekolah di saat guru sibuk mengisi raport elektronik.
Dari sini kita bisa melihat betapa memprihatinkan ketika sekolah juga tidak berdaya menanamkan pendidikan karakter di sekolah dengan baik.
Pentingnya Kolaborasi Tri Pusat Pendidikan
Berdasarkan fenomena dan persoalan di atas, maka sebetulnya ada benang merah yang bisa kita tarik untuk mengatasinya. Guru, kepala sekolah, orang tua, dan siswa sendiri, merupakan suatu lingkaran atau siklus yang terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain. Lingkaran ini bahkan dapat lebih besar jika ditambahkan unsur lain, yaitu bagian masyarakat di luar sekolah, seperti dunia usaha dan industri, serta komunitas-komunitas yang ada di masyarakat.
Mengenai Pendidikan Karakter, sebetulnya pemerintah menaruh perhatian yang besar. Bahkan kalau kita merunut kembali ajaran Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, sebenarnya kita bisa mengolah Pendidikan Karakter dengan sangat baik. Beliau telah mengajarkan pentingnya Tri Pusat Pendidikan yaitu keluarga, masyarakat, dan sekolah untuk dilibatkan dalam pendidikan karakter. Hanya pada praktiknya, keterlibatan ketiga pusat pendidikan tersebut kurang maksimal. Hal ini terbukti dari masih banyaknya masalah karakter anak, terutama setelah munculnya pandemi Covid-19. Namun konsep Tri Pusat Pendidikan ini tetap bisa dipakai untuk penguatan Pendidikan Karakter.
Sejak tahun 2010 pendidikan karakter sudah dikumandangkan sebagai Gerakan Nasional. Kemudian Presiden Jokowi telah meluncurkan Gerakan Nasional Revolusi Mental yang mewujud di dunia pendidikan sebagai gerakan nasional Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) melalui Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Selain Perpres tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga telah menerbitkan Peraturan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter di satuan pendidikan formal.
Nilai-nilai utama karakter yang perlu diperhatikan adalah aspek religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas, yang diturunkan ke banyak karakter lainnya. Fokus pengembangan PPK ini memang di sekolah (satuan pendidikan). Hal ini dipandang karena sekolah memiliki struktur, sistem dan perangkat yang tersebar di seluruh Indonesia dari daerah sampai pusat. Jadi, sangat wajar apabila sistem sekolah menjadi tumpuan utama dalam pelaksanaannya.
Program PPK di sekolah dilaksanakan melalui tiga jalur/basis. Bisa melalui basis kelas, berbasis budaya sekolah, dan berbasis masyarakat. Permasalahannya adalah apakah setiap warga sekolah paham akan penerapan ketiga basis ini? Pasalnya, kegagalan terhadap pemahaman implementasi ini dapat berakibat PPK tidak dapat dilaksanakan dengan baik, apalagi di masa pandemi.
Melalui basis kelas, artinya penguatan pendidikan karakter diintegrasikan dalam pembelajaran di setiap mata pelajaran. Ini bisa diterapkan pada saat guru mengajar atau melakukan penilaian terhadap anak didiknya. Bahkan mulai dari saat perencanaan pembelajaran, sudah harus direncanakan pada kegiatan atau tahapan mana nilai karakter itu akan dimunculkan. Apakah di tahap awal, tahap inti, atau tahap akhir pembelajaran.
Pada masa pembelajaran jarak jauh (PJJ), khususnya dengan mode synchronous, sebenarnya tidak terlalu susah menguatkan karakter anak karena pembelajaran dilaksanakan tatap muka walaupun virtual, misalnya dengan aplikasi Zoom. Contohnya, guru meminta anak untuk mengerjakan dengan jujur dan mengumpulkannya tepat waktu. Hal itu sudah mencakup penguatan karakter jujur, integritas, dan karakter disiplin.
Kemudian melalui basis budaya sekolah, maka penguatan karakter adalah melalui penerapan aturan-aturan di sekolah seperti tata tertib, pembiasaan-pembiasaan positif seperti pelaksanaan Hari Jumat Bersih, Sehari Pakai Batik, berdoa bersama, dan aktivitas lainnya.
Nah, pada saat PJJ ini guru juga perlu berkreasi agar pembiasaan-pembiasaan serupa dapat tetap diterapkan dengan cara lain. Ubah pembiasaan hidup bersih dengan cara lain. Misalnya sehari dalam seminggu membersihkan kamar mandi di rumah, kemudian siswa diminta untuk melaporkannya melalui video.
Implementasi jalur ketiga adalah yang paling relevan dan mungkin bisa membantu tugas guru di sekolah sedikit lebih ringan, yakni implementasi PPK melalui basis masyarakat. Orang tua termasuk dalam kelompok ini dan orang tua adalah ekosistem terdekat anak pada saat PJJ.
Untuk itu, sudah seharusnya Bapak dan Ibu guru berkreasi dan berkolaborasi dengan orang tua dalam penerapan penguatan pendidikan karakter. Di sini diperlukan niat dan tekad yang kuat dari kepala sekolah dengan dukungan guru. Kepala sekolah, guru, serta orang tua duduk bersama membicarakan hal ini.
Menurut Philiips (200) dalam Hendarman (2019) menyatakan bahwa pendidikan karakter dalam pembentukan watak harus melibatkan semua pihak; rumah tangga dan keluarga; sekolah dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat). Hubungan dan sinergi yang erat di antara komponen tersebut menjadi prasyarat utama karena tampaknya ketiga komponen jejaring pendidikan tersebut nyaris terputus hubungannya.
Salin itu, penanaman karakter memerlukan keteladanan dan pembiasaan. Orang tua perlu lebih peduli lagi untuk membantu sekolah untuk implementasi penguatan karakter supaya berhasil. Tidak hanya orang tua, ada berbagai unsur ekosistem lain di luar sekolah seperti komunitas pengajian, komunitas literasi, tokoh seni, tokoh agama, praktisi pendidikan non formal, dan apa pun itu bisa digandeng oleh sekolah. Tentunya di bawah kepemimpinan Kepala Sekolah.
Sudah saatnya sekolah mulai lebih terbuka untuk berkolaborasi dengan orang tua dan masyarakat dalam pembangunan watak atau karakter anak!
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!