Guru pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan– Guru merupakan sosok yang memiliki ragam peran yang harus dijalani. Salah satu peran guru adalah sebagai pemimpin. Guru adalah seorang pemimpin. Dalam hal ini, peran sebagai pemimpin bukan tugas tambahan sebagai kepala sekolah, kepala perpustakaan ataupun lainnya. Tetapi, guru dapat menjadi pemimpin bagi siswa dalam pembelajarannya, bagi kolega atau teman-teman seprofesinya, dan bagi dirinya sendiri.
Guru sebagai pemimpin pembelajaran. Guru memimpin ketika ia sedang melaksanakan pembelajaran di kelasnya. Ia adalah pemegang kendali dan pengambil keputusan yang bijak saat melaksanakan pembelajaran. Setiap saat guru harus melakukan suatu tindakan sebagaimana seorang pemimpin di dalam kelasnya.
Lalu, bagaimana peran guru dalam mengambil keputusan sebagai pemimpin pembelajaran?
Sebelumnya, materi peran guru dalam mengambil keputusan sebagai pemimpin pembelajaran merupakan salah satu bagian dari materi yang harus dikuasai oleh Guru Penggerak. Berikut ini akan merangkum dan memaparkan materi ini.
Guru sebagai pemimpin pembelajaran
Seorang pemimpin pembelajaran diharapkan mampu melakukan pengambilan keputusan berdasarkan prinsip pemimpin pembelajaran, mampu menyadari dan menggunakan prinsip moral dalam melakukan pengambilan keputusan dan mampu menerapkan strategi untuk menghindari adanya isu kode etik kepemimpinan sekolah dan konflik kepentingan.
Lebih mudahnya, guru sebagai pemimpinan pembelajaran diharapkan dapat melakukan, sebagai berikut
- Dapat melakukan praktik keputusan yang berdasarkan prinsip pemimpin pembelajaran.
- Dapat mengidentifikasi jenis-jenis paradigma dilema etika yang dihadapi oleh dirinya sendiri maupun orang lain dan mampu bersikap reflektif, kritis, kreatif, dan terbuka dalam menganalisis dilema tersebut.
- Dapat memilih dan memahami 3 (tiga) prinsip yang dapat dilakukan untuk membuat keputusan dalam dilema pengambilan keputusan.
- Dapat menerapkan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan yang diambil dalam dilema pengambilan keputusan dan bersikap reflektif, kritis, dan kreatif dalam proses tersebut.
Dua kondisi dalam mengambil keputusan
Dalam mengambil keputusan yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Harus memiliki pengetahuan dan ilmu tentang pengambilan keputusan. Pernahkan kita berada dalam posisi bingung dalam menentukan sebuah keputusan? Nah ternyata kebingungan itu mengarahnya ke dua keadaan yaitu dilema etika dan bujukan moral?
Dilema etika dan bujukan moral adalah sebuah kondisi atau keadaan yang mengharuskan kita memutuskan sesuatu tapi kita bingung. Sama-sama bingung tapi penyebab kebingungannya berbeda.
1. Dilema etika
Dilema etika adalah situasi yang terjadi ketika seseorang harus memilih antara dua pilihan secara moral benar tetapi bertentangan. Artinya ada dua pilihan sulit. Dua-duanya sama benar.
Contohnya, Ani, seorang guru yang memiliki kinerjanya sangat baik. Suatu hari ia mendapat telepon dari yayasan untuk mengikuti fit and proper test kepala sekolah. Di karenakan kepala sekolahnya dimutasi ke sekolah lain. Ani menyanggupi janji tersebut. Pada hari yang telah dijanjikan, Ani mulai berangkat untuk memenuhi janji sebelumnya. Tetapi pada saat itu juga, Ani mendapatkan kabar jika ayahnya jatuh dan butuh pertolongan. jika Anda sebagai Ani, apa yang harus Anda lakukan?
Tentu keputusan yang amat sulit, dan keduanya benar secara moral namun kondisi yang bertentangan atau berbeda. Hal pertama Ani berangkat karena telah berjanji dan menepatinya itu benar. Dan hal kedua, Ani harus menolong ayah juga benar karena kewajiban anak terhadap orang tua.
2. Bujukan moral
Bujukan moral merupakan situasi yang terjadi ketika seseorang harus membuat keputusan antara benar atau salah. Artinya ada dua pilihan tetapi benar vs salah. Segala sesuatu yang kita lakukan sengaja ataupun tidak sengaja jika itu salah dengan alasan baik apapun tentang kejadian tersebut maka tetap saja bernilai salah.
Contohnya Ari, seorang bendahara kegiatan di sekolahnya. Setelah acara selesai, ketua panitia mengajak Ari untuk makan-makan bersama di sebuah restoran sebagai apresiasi atas keberhasilan suatu acara yang telah diselenggarakan. Tetapi, dana untuk acara makan-makan bersama tersebut berasal dari Dana BOS, yang notabennya Dana BOS diperuntukan untuk kepentingan sekolah. Saat Ari bertanya, “Dananya dari mana, Pak?”. Dengan entengnya, ketua panitia menjawab, “Pakai dana Bos dulu, Bu?”. Kalau Anda sebagai Ari, apa yang akan Anda lakukan?
Dalam hal ini, Merayakan keberhasilan adalah benar namun karena uang yang dipakai itu dana bos dan peruntukan dana bos itu bukan untuk selebrasi menjadi keputusan yang salah jika Ari meng-iyakan apa kata ketua panitia.
4 Paradigma untuk menganalisa dilema etika
Pengalaman selama kita bekerja di Institusi pendidikan, kita telah memahami jika dilema etika adalah hal berat yang harus dihadapi dari waktu ke waktu.
Ketika dihadapi situasi dilema etika, nantinya akan ada nilai-nilai kebajikan mendasari yang bertentangan seperti cinta dan kasih sayang, kebenaran keadilan, kebebasan, persatuan, toleransi, tanggung jawab dan penghargaan akan hidup.
Umumnya ada pola, model, atau paradigma yang terjadi pada situasi dilema etika yang bisa dikategorikan seperti di bawah ini
- Individu lawan masyarakat (individual vs community)
- Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy)
- Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty)
- Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term)
Pastinya kita akan menimbang-nimbang beberapa hal sampai pada akhirnya menjadi sebuah keputusan final. Nah, pertimbangan-pertimbangan itu ternyata ada ilmunya. Ada 4 paradigma untuk menganalisa dilema etika ini.
1. Individu VS Masyarakat (individual vs community)
Dilema individu melawan masyarakat adalah bagaimana membuat pilihan antara apa yang benar untuk satu orang atau kelompok kecil , dan apa yang benar untuk yang lain, kelompok yang lebih besar.
Artinya pilihan sulit itu karena ada kebenaran untuk kepentingan pribadi namun juga kepentingan masyarakat. Yang dimaksud kepentingan pribadi ini bisa juga kepentingan sekelompok kecil orang dibanding kelompok yang lebih besar.
Dalam paradigma ini ada pertentangan antara individu yang berdiri sendiri melawan sebuah kelompok yang lebih besar dimana individu ini juga menjadi bagiannya. Bisa juga konflik antara kepentingan pribadi melawan kepentingan orang lain, atau kelompok kecil melawan kelompok besar.
Contohnya Guru kadang harus membuat pilihan seperti ini di dalam kelas. Bila satu kelompok membutuhkan waktu yang lebih banyak pada sebuah tugas, tapi kelompok yang lain sudah siap untuk ke pelajaran berikutnya, apakah pilihan benar yang harus dibuat? Guru mungkin menghadapi dilema individu lawan kelompok.
2. Rasa Keadilan VS Rasa Kasihan (justice vs mercy)
Keadilan disini lebih pada aturan tertulis. Apakah kita harus kukuh mentaati semua aturan tertulis yang sudah ada atau sedikit membelokkan karena ada sisi humanis yang menyentil kita.
Paradigma ini memberikkan adanya pilihan antara mengikuti aturan tertulis atau tidak mengikuti aturan sepenuhnya. Pilihan yang ada adalah memilih antara keadilan dan perlakuan yang sama bagi semua orang di satu sisi, dan membuat pengecualian karena kemurahan hati dan kasih sayang, di sisi lain.
Kadang memang benar untuk memegang peraturan, tapi terkadang membuat pengecualian juga merupakan tindakan yang benar. Pilihan untuk menuruti peraturan dapat dibuat berdasarkan rasa hormat terhadap keadilan (atau sama rata). Pilihan untuk membengkokkan peraturan dapat dibuat berdasarkan rasa kasihan (kebaikan)
Misalnya ada peraturan di rumah Anda harus ada di rumah pada saat makan malam. Suatu hari Anda pulang ke rumah terlambat karena seorang teman membutuhkan bantuan Anda. Ini dapat menunjukkan dilema keadilan lawan rasa kasihan, terhadap orang tua Anda. Apakah ada konsekuensi dari melanggar peraturan tentang pulang ke rumah tepat waktu untuk makan malam, atau haruskah orang tua Anda membuat pengecualian?
3. Kebenaran VS Kesetiaan (truth vs loyalty)
Kejujuran dan kesetiaan seringkali menjadi nilai-nilai yang bertentangan dalam situasi dilema etika. Kadang kita perlu untuk membuat pilihan antara berlaku jujur dan berlaku setia (atau bertanggung jawab) kepada orang lain. Apakah kita akan jujur menyampaikan informasi berdasarkan fakta atau kita menjunjung nilai kesetiaan pada profesi, kelompok tertentu, atau komitmen yang telah dibuat sebelumnya.
Misalnya, kita sebagai guru memiliki kesetiaan dan juga pengabdian pada sekolah. Tetapi dilain sisi, kita harus menyembunyikan suatu kebenaran mengenai sekolah tersebut. Dalam konteks pembelajaran, guru terpaksa harus menulis dan memberikan nilai yang tidak sesuai dengan capaian pembelajaran siswa tersebut. Agar nama baik dan reputasi sekolah tetap dianggap baik dan bisa mendidik siswa-siswa dengan baik.
Ini sebuah dilema etika, dimana agar guru memiliki kesetian pada sekolah yang dibuktikan dengan menjaga nama baik dan reputasi sekolah tetap bagus. Namun, harus terpaksa menyembunyikan kebenaran jika nilai-nilai pelajaran di raport siswa hanya direkayasa, agar reputasi tetap bagus.
4. Jangka pendek VS jangka panjang (short term vs long term)
Paradigma ini paling sering terjadi dan relatif lebih mudah diamati. Kadang perlu untuk memilih antara yang kelihatannya terbaik untuk saat ini dan yang terbaik untuk masa yang akan datang. Paradigma ini bisa terjadi di level personal dan permasalahan sehari-hari, atau pada level yang lebih luas, misalnya pada issue-issue dunia secara global, misalnya lingkungan hidup dll. Orang tua kadang harus membuat pilihan ini.
Contohnya: Mereka harus memilih antara seberapa banyak uang untuk digunakan sekarang dan seberapa banyak untuk ditabung nanti. Pernahkah Anda harus memilih antara bersenang-senang atau melatih instrumen musik atau berolahraga? Bila iya, Anda
3 Prinsip dalam Pengambilan Keputusan yang Memuat Unsur Dilema Etika
Tiga prinsip ini yang seringkali membantu dalam menghadapi pilihan-pilihan yang penuh tantangan, yang harus dihadapi pada dunia saat ini. (Kidder, 2009, hal 144). Ketiga prinsip tersebut adalah:
1. Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking)
Melakukan sesuatu karena itu yang terbaik untuk kebanyakan orang. Berpijak pada aliran ulitarianisme, yaitu mengerjakan apa yang dapat menghasilkan kebaikan terbesar untuk jumlah orang terbanyak. Ditentukan dengan konsekuensi atau hasil dari suatu tindakan.
2. Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking)
Ikuti prinsip atau aturan – aturan yang telah ditetapkan. Berpijak dari filsafat, yaitu deontologis, dari bahasa yunani “deon” yang berarti tugas atau kewajiban. Mudahnya, menentukan keputusan berdasarkan peraturan yang telah dibuat.
3. Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking)
Memutuskan sesuatu dengan pemikiran, apa yang anda harapkan orang lain lakukan terhadap anda.
“Lakukan kepada orang lain seperti yang Anda ingin mereka lakukan kepada Anda.” Dengan kepedulian terhadap sesame kita akan menjadi lebih peka dan bersimpati.
9 Langkah Pengambilan Keputusan
- Mengenali bahwa ada nilai-nilai yang saling bertentangan dalam situasi ini
- Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini
- Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini
- Pengujian benar atau salah
- Pengujian paradigma benar lawan benar
- Melakukan prinsip resolusi
- Investigasi opsi trilemma
- Buat keputusan
- Lihat lagi keputusan dan refleksikan
Ingin tahu lebih lanjut? Bapak dan Ibu Guru dapat mengikuti berbagai pelatihan yang diselenggarakan oleh e-guru.