Backward Design adalah perancangan pembelajaran dengan prosesnya berjalan mundur. Dimulai dari identifikasi result atau berorientasi pada assessment dimana hasil nyata dari apa yang dipahami oleh siswa. Jadi tujuan pembelajarannya bukan sekadar memahami konsep X atau langkah Y, melainkan hasil apa yang diperoleh siswa jika mereka memiliki pemahaman – pemahaman tersebut.
Keunggulan dari Backward Design yakni pendekatan yang cukup praktis ini secara langsung dapat mengeliminasi tujuan dan sasaran pembelajaran yang kurang relevan. Bahkan pendekatan design ini bisa mengantarkan peserta kepada performance yang diharapkan, bukan sebatas memperbaiki kompetensi.
Dalam merancang pembelajaran, guru harus merancang tujuan dan bagaimana tujuan itu betul-betul dicapai. Kalau siswa diminta membaca, guru harus jelas apa yang harus dibaca, bagaimana membacanya, apa yang harus dihasilkan dari kegiatan membaca tersebut, kemungkinan bantuan apa saja yang harus diberikan agar maksimal hasil membacanya, bagaimana cara membagikan apa yang sudah dipahami dari bacaan tersebut dan lain sebagainya. Karena itu, mereka lebih cenderung untuk menggunakan results-focused design.
Backward Design yang dipopulerkan Grant Wiggins dan Jay McTighe pada tahun 1998. Langkah-langkah Backward Design, ada tiga tahapan dalam menyusun desian mundur diantaranya.
1. Identify Desired Result (identifikasi hasil yang diinginkan)
Tahap mengidentifikasi hasil ini disebut juga sebagai tahap menentukan tujuan pembelajaran. Dalam menentukan hasil yang diinginkan sebaiknya tidak normatif semata, tetapi yang benar – benar berdampak secara nyata.
Menetapkan tujuan yang mengacu kepada standar kompetensi. Kompetensi dasar, indikator dan tujuan pembelajaran atau outcomes learning. Menetapkan tujuan pembelajaran dapat diambil berdasarkan standar kurikulum nasional dari pemerintah yang berupa KI (Kompetensi Inti), KD (Kompetensi Dasar) dan Indikator dari masing-masing mata pelajaran atau capaian pembelajaran
Disarankan, ketika guru memulai perencanaan, identifikasilah satu atau dua tujuan atau hasil pembelajaran – apa yang akan dapat diketahui oleh siswa sebagai hasil dari kegiatan pembelajaran yang akan kita rancang.
Pada tahap ini ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab, yaitu:
- Apa ide-ide utama yang akan dipelajari oleh siswa?
- Apa gunanya dan manfaatnya jika siswa memiliki pemahaman atau keterampilan tersebut?
- Hasil nyata apa yang didapat siswa jika mereka telah paham dan terampil?
- Jika demikian, maka pemahaman dan keterampilan apa yang benar – benar perlu dimiliki itu?
Guru juga bisa mencoba menjawab pertanyaan, misalnya pernyataan seperti “Siswa memahami bagaimana peta konsep dapat digunakan dalam proses curah pendapat” – merupakan sebuah tujuan pembelajaran. Pertanyaan tersebut bukan saja reflektif, tapi untuk menjawabnya perlu perenungan mendalam.
2. Determine Acceptable Evidence (tentukan bukti yang dapat diterima)
Bukti disini maksudnya indikator atau tolok ukur keberhasilan yang dapat dillihat dan diukur. Di tahapan ini silakan tentukan apa buktinya jika siswa telah memiliki pemahaman yang diharapkan. Bisa juga, apa buktinya jika 3 pertanyaan di tahap pertama terjawab sesuai. Misalnya saja bukti dari siswa memahami langkah menjual adalah bisa mendemonstrasikan langkah – langkah menjual tersebut.
Jika dikaitkan dalam pembelajaran, bagaimana para guru akan mengetahui bahwa para siswa telah memenuhi tujuan-tujuan tersebut? Ini adalah sebuah asesmen. Biasanya, dalam pembelajaran tradisional, asesmen ada di akhir pelajaran. Dalam kelas yang berpusat pada siswa, asesmen dilakukan selama pelajaran berlangsung. Bentuknya adalah formatif (selama pembelajaran berlangsung) dan sumatif (di akhir pembelajaran). Ada beberapa tipe dari asesmen formatif—tanya jawab, observasi, esai, bermain peran, proyek, quiz, jurnal, dsb.
Tujuan dari asesmen formatif adalah untuk melihat seberapa jauh siswa telah dapat mencapai tujuan pembelaran dan membantu memperbaiki kesalahpahaman. Sebagai guru, kita ingin memastikan seluruh siswa berhasil, dan cara terbaik adalah dengan melakukan “pengecekan” secara konsisten dan melakukan asesmen terhadap pemahaman mereka.
Bentuk-bentuk asesmen yang telah didaftar dalam paragraf sebelumnya juga dapat menjadi asesmen sumatif. Asesmen sumatif biasanya berbentuk tes atau ujian, dan biasanya bersifat final. Tujuan dari asesmen Sumatif adalah untuk memberi sertifikasi kepada siswa atas penguasaan konsep atau ketrampilan.
3. Plan Learning Experiences and Instruction (rencanakan pengalaman belajar dan instruksinya)
Kemudian langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah merencanakan kegiatan pembelajaran. Dengan merencanakan strategi, metode, dan aktivitas pembelajaran apa yang tepat untuk mencapai tujuan dan sasaran pembelajaran tersebut.
Menariknya disini, Wiggins terang – terangan menggunakan kalimat “rencanakan pengalaman belajar”. Ini agak berbeda dengan pendekatan – pendekatan lain yang umumnya hanya menyatakan “rancang instruksi” atau “rencanakan aktivitas pembelajarannya”.
Seolah – olah Wiggins ingin menekankan peserta perlu memiliki pengalaman belajar secara mendalam dan berkualitas yang akan menjadi tunas – tunas pemahaman.
Ingin merancang pembelajaran yang mudah dan cepat? Bapak dan Ibu Guru juga dapat mengikuti pelatihan “Pengelolaan Kelas Masa Daring dan PTMT” yang diselenggarakan oleh e-guru.id