Oleh Iih Kusmana, S.Ag, MA
Siti Hajar, itulah nama seorang wanita sholehah yang taat dan berbakti kepada suaminya, Ibrahim AS. Setelah melahirkan, Siti Hajar dibawa pergi oleh Nabi Ibrahim AS ke suatu tempat yang asing, yaitu suatu lembah yang jauh dari kehidupan—tidak ada sawah, ladang atau kebun—yang terlihat hanyalah gunung–gunung batu dan lautan pasir. Siti Hajar dan putranya Ismail yang masih bayi, ditempatkan di tempat itu lalu ditinggalkan untuk waktu yang agak lama.
Ibrahim berkata, ”Istriku, tinggal lah kau di sini!”
Mendengar perkataan Nabi Ibrahim, Siti Hajar merasa heran dengan perasaan takut dan bimbang. Sebab terbayang bagaimana mungkin ia dan bayinya akan tinggal di tempat yang gersang dan tandus.
Siti Hajar pun bertanya kepada Ibrahim, ”Hai Ibrahim, Engkau mau pergi ke mana lagi, Kau tinggalkan kami berdua di lembah yang tidak ada seorang pun dan tidak ada sesuatupun.”
Yang ditanya tidak menjawab, walaupun Siti Hajar telah beberapa kali bertanya. Sebab siapa yang tidak sayang dan siapa yang tega meninggalkan seorang istri dan seorang anak di tempat yang sangat sepi dan terpencil.
Kemudian Siti Hajar bertanya kembali, ” Apakah Allah memerintahkan Engkau untuk ini?
Ibrahim menjawab, “Betul!”
Setelah Siti Hajar mendengar jawaban suaminya, ia berkata: ”Jika demikian, Allah tidak akan membiarkan kami.”
Nabi Ibrahim pun berlalu meninggalkan Hajar berdua di tempat yang gersang dan sepi. Walaupun hati berat untuk meninggalkannya, tapi karena perintah Allah, walaupun berat rasanya, Ibrahim tetap sabar untuk menjalani .
Nabi Ibrahim yang penuh dengan rasa cinta dan kasih sayang terhadap keluarganya tapi tidak menjadi penghalang untuk melaksanakan perintah Allah dengan penuh kesabaran. Ia pun berdo’a meminta kepada Allah:
ربنا انى اسكنت من دريتى بواد غير دى زرع عند بيتك المحرم
Artinya: ”Ya, Tuhan kami sesungguhnya aku telah menempatkan keluargaku di suatu lembah yang tidak ada tumbuhan di dekat rumahmu (Baitullah) yang penuh dengan kehormatan ( QS. Ibrahim: 37).
Waktu terus berlalu, malam berganti siang, siang berganti malam, persediaan makanan dan minuman pun semakin menipis dan akhirnya habis. Tak ada tempat untuk mengadu dan tak ada orang untuk dimintai pertolongan. Ismail pun menangis karena kehausan.
Hajar pun pergi untuk mencari air. Dia berlari antara bukit Sofa dan Marwa tapi air tak kunjung ditemukan. Badan semakin lelah tubuh semakin letih. Dalam keadaan yang demikian, otak (IQ) tidak melihat harapan dan seakan sirna, emosi (EQ) musnah seakan tidak bisa lagi melihat peluang. Tapi ada satu yang ia yakini secercah harapan yang memancar dari dalam jiwanya yaitu Nur Ilahi.
Allah sayang atas makhluk-Nya yang sabar. Air pun muncul tak jauh dari tempat Hajar dan Ismail tinggal, memancar dan tak pernah terhenti sampai sekarang itulah yang sekarang dikenal dengan sumur Zam-zam.
Dengan adanya air tersebut, orang-orang pada datang, kabilah terus bertambah dan terus bertambah sehingga terbentuk menjadi sebuah komunitas masyarakat yang saling tolong menolong dengan sesamanya.
Siti Hajar dan Ismail pun terjamin hidupnya dan tak pernah kekurangan. Ternyata Allah tidak akan memerintahkan kepada hamba-Nya kepada hal-hal yang berbahaya, asal betul-betul melaksanakan kewajibannya .
Begitupun Nabi Ibrahim ketika datang perintah Allah untuk menyembelih putranya Ismail, maka terjadilah kontraksi antara sifat kebapakan dan perintah Allah. Ketika akal seolah–olah berhenti berpikir, perasaan kemanusiaan ditekan kuat-kuat, maka yang ada hanya ketaatan dan kesiapan melaksanakan perintah Allah. Apapun risikonya yang akan terjadi di kemudian hari tetapi keyakinan dan kepercayaan nabi Ibrahim pada Allah lebih besar. Dia yakin bawa Allah lebih sayang kepada hamba-Nya dan Allah tidak akan memerintahkan kepada hamba-Nya kecuali demi keuntungan hamba itu sendiri.
Dengan penuh kesabaran, Ismail pun dibawa ke suatu tempat. Setan datang kepada Siti Hajar dengan memberitahukan kepadanya bahwa anaknya akan dibunuh oleh Ibrahim. Namun Haja menjawab, ”Tidak mungkin, sebab ayahnya juga sayang terhadap anaknya.”
Setan berkata, ”Dia (Ibrahim) diperintah oleh Allah.”
Hajar menjawab, ”Allah lebih sayang kepadanya daripada kedua orang tuanya.”
Sampailah pada tempat yang dituju, Nabi Ibrahim berkata pada anaknya, Ismail, bahwa dia mendapat wahyu dalam mimpi harus menyembelih Ismail—seorang pemuda yang tentunya masih banyak harapan dan kemauan layaknya seorang pemuda. Tetapi dengan kesabaran dan rasa baktinya kepada orang tua dia berkata, “Hai, Bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, InsyaAllah Engkau akan mendapatiku termasuk orang–orang yang sabar .” ( QS. Al Shaffat: 102)
Berkat kesabaran seorang ayah dan anak, Ismail tidak jadi disembelih sebab itu merupakan ujian dari Allah. Allah menggantinya dengan seekor domba.
Dari kisah di atas dapat kita ambil beberapa pelajaran (ibrah) yang esensinya antara lain :
1. Al-Inqiyad (ketundukan)
Ketundukan dan ketaatan atas amr (perintah) sang Khalik dapat menemukan Nur (cahaya) dan jati dirinya yaitu Ruh Ilahiyah sehingga dapat merasakan suatu martabat dan derajat, menjauhi kehinaan, mengenali kesucian diri, sosial serta etis sebagaimana yang dialami keluarga Nabi Ibrahim. Ketundukan kepada perintah Allah juga dapat menegasikan segala macam sifat-sifat syaithoniyah dan sifat–sifat di dalam jiwa.
2. Tajallud (menahan diri)
Tajallud mengandung isyarat kebal serta kuatnya jiwa dengan sengaja untuk menahan segala musibah yang menimpa pada diri sendiri agar terlepas dari bencana di dunia masa kini dan mendatang.
Dengan kata tahan diri bukan berarti segala musibah dan kelaraan jiwa sirna begitu saja tapi semua yang menimpa terhadap dirinya tidak berpengaruh terhap jiwa karena seluruh kepedihan dan kelaraan tidak akan terasa sebab perasaan tidak konsen terhadap musibah, tidak tunduk terhadap hayalan tetapi kembali ingat akan takdir Ilahi dan menerima keputusan yang Maha Kuasa.
3. Shabar (menerima dan ridha)
Menerima dan ridha artinya menerima kepada qadar dan ukuran dari Allah sebab manusia diwujudkan dan diatur oleh Allah serta yakin bahwa Allah adalah Yang Maha Pengasih walaupun berbagai musibah datang, tetapi hakikatnya sangat dalam yaitu kasih sayang Allah yang tersimpan di dalamnya .
Berkat ketundukan, Nabi Ibrahim dan Siti Hajar serta kesabaran Nabi Ismail menempatkan mereka menjadi kesatria–kesatria pilihan yang langkah dan perjuangannya diabadikan Allah sampai akhir zaman. Oleh karena itu dapat dijadikan sebagai suatu referensi yang terkodifikasi dengan rapi yang bersifat transendental yang harus ditransformasikan menjadi moralitas dan spiritualitas masyarakat, yaitu dengan mengkonstruksi realitas sekaligus memberikan motivasi etis dan teologis melalui aksi aktual historis education (Pendidikan Sejarah).
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!