Oleh Krisman Lameanda, S.Pd
Kepala SMPN 2 Lembo Raya
Aku dilahirkan di sebuah desa kecil yang berada di Kecamatan Lembo Raya, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Ayahku adalah seorang petani, rajin bekerja siang maupun malam untuk mencari nafkah buat memenuhi kebutuhan keluarga. Ibuku adalah seorang guru dengan status Pegawai Negeri Sipil Daerah.
Sebelum ayah menikah dengan ibu, ia sudah memiliki lima anak dari ibu yang pertama yang kemudian meninggal karena penyakit. Akhirnya ayahku berfungsi ganda sebagai kepala rumah tangga sekaligus sebagai ibu dari kelima anak tersebut.
Dalam kurun waktu tertentu, kemudian bertemulah ayah dengan ibuku. Akhirnya mereka menikah pada tahun 1965. Ayahku jadi lebih semangat bekerja sebagai bertani dan berkebun karena sudah pasti akan bertambah lagi beban dalam rumah tangga. Namun demikian, ayah tidak pernah mengeluh karena dia tahu akan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga.
Ayahku tidak pernah mengharapkan atau meminta gaji dari ibu. Justru ayah sadar akan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga yang harus mencari nafkah dan memberikan hasilnya kepada seorang ibu.
Ibuku demikian juga dengan aku, sangat menyayangi kelima anak tirinya seperti anak kandungnya sendiri. Dia tidak pernah membeda-bedakan, semua anak-anaknya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kami selalu diberi pelayanan yang terbaik dari ibu.
Ibu sering mengajarkan kami untuk tidak bermusuhan satu sama lainnya. Ibu selalu memberikan nasihat-nasihat yang baik kepada kami untuk semua anak-anaknya. Bersama dengan ayah, sangat kompak dalam memelihara dan menyayangi kami anak-anaknya. Dalam lingkungan keluarga, kami selalu rukun dan damai.
Dalam kesibukannya sebagai seorang guru atau pengajar di sekolah, ibu juga masih bisa mengatur waktu untuk tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Saya sendiri terkadang sangat prihatin dengan kesibukan yang dijalaninya setiap hari, baik yang dilakukan di rumah maupun di sekolah. Sebab, ibu tengah berjuang untuk bagaimana caranya agar semua anak-anaknya nanti bisa mendapatkan pendidikan yang layak, bisa mandiri, dan bisa berbuat baik kepada keluarga maupun orang lain. Itulah harapan ibu kepada semua anak-anaknya.
Kelima kakak semuanya bisa merasakan pendidikan sampai pada tingkat lanjutan atas (SMA). Ada juga yang melanjutkan ke perguruan tinggi, meskipun ada yang tidak berhasil sampai selesai. Sementara aku bersama dengan sembilan orang adikku, juga bisa mengikuti pendidikan sampai sekolah lanjutan atas dan ke perguruan tinggi.
Jika ditotal, kami bersaudara beranggotakan empat belas orang, ditambah satu lagi adik sebagai anak angkat. Ceritanya waktu itu ada satu keluarga sebagai peserta transmigrasi dan bekerja di sebuah unit perkebunan karet. Mereka datang dari pulau Jawa dan kemudian tinggal di daerah di mana ibuku pernah bertugas sebagai guru. Setelah adik angkatku tersebut dilahirkan oleh ibunya—mungkin ibunya tidak betah tinggal di Sulawesi—bayi tersebut dititipkan pada ibuku. Akhirnya ibuku yang mengasuhnya dari bayi hingga sudah dewasa hingga sekarang sudah menikah.
Kelima kakakku semuanya juga sudah menikah dan bekerja, semua itu tak lepas dari peran ayah dan ibuku. Kakak yang pertama perempuan bekerja sebagai PNS di Kodim 1307 Poso, saat ini telah pensiun; kakak kedua laki-laki bekerja sebagai anggota POLRI yang saat ini telah pensiun juga; kakak ketiga laki-laki sebagai petani karet; kakak keempat bekerja sebagai karyawan swasta di PTP Nusantara XIV Unit Beteleme sebagai Sinder dan saat ini telah pensiun; kakak kelima perempuan bekerja sebagai karyawan pada sebuah perusahaan tambang di Morowali Utara hingga saat ini.
Aku sendiri yang merupakan anak kedua dari ibuku yang sekarang (menjadi yang tertua setelah kakak kandung meninggal di usia masih belia karena sakit). Aku bekerja sebagai PNS guru di SMPN 2 Lembo Raya dan menduduki jabatan fungsional Kepala Sekolah. Adik pertama peremuan bekerja sebagai petani karet; adik kedua dan ketiga laki-laki bekerja sebagai karyawan swasta pada sebuah perkebunan karet hingga saat ini; adik keempat dan kelima perempuan bekerja sebagai wiraswasta; adik keenam laki-laki bekerja sebagai PNS pada Dinas Pertanian Kabupaten Morowali Utara hingga saat ini menduduki jabatan Sekretaris Dinas; dan terakhir seorang laki-laki bekerja sebagai tenaga honorer pada Dinas Peternakan Kabupaten Morowali Utara hingga saat ini. Sementara adik angkat adalah seorang perempuan yang saat ini bekerja sebagai petani karet.
Merupakan bukti kasih sayang seorang ibu kepada kami semua anak-anaknya tanpa membeda-bedakan satu sama lainnya, sehingga kami bisa sekolah, bisa mandiri, dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Apapun jenis pekerjaan kami bukan menjadi masalah, kami tetap bersyukur khususnya kepada kedua orang tua yang sudah berjuang, membanting tulang dalam suka maupun duka, khususnya kepada ibu pertiwi kami yang sangat luar biasa dan yang kami banggakan. Jasa yang sangat berharga bagi kami semua anak-anaknya hingga saat ini.
Aku sebagai anak yang tertua dari ibuku tentu punya tanggung jawab yang sangat berat bagi semua adik-adik bahkan kelima kakakku yang selalu aku hormati. Aku belajar banyak dari sosok teladan ibuku. Semasa hidupnya, ibu selalu mengharapkan dan menginginkan dari lima belas anak yang dimilikinya harus ada salah satu anak yang bisa mengikuti jejak dan profesinya.
Bukan karena kebetulan dari lima belas bersaudara tersebut, akulah satu-satunya anak yang dapat mewujudkan keinginan ibu. Awalnya memang tidak seorang dari kami yang mau menjadi seorang guru. Kakakku yang pertama perempuan memang tamat dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan menyelesaikan Sekolah Lanjutan Atas (SLTA), tapi lebih memilih melamar sebagai PNS di Kodim 1307 Poso.
Sebagai anak yang berbakti pada ibu, ketika aku menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, aku berniat untuk berpisah dengan ayah, ibu, serta adik-adik lainnya untuk merantau ke kota. Tujuannya adalah mencari pengalaman di kota serta lanjut di sekolah lanjutan pertama (SMP). Mengapa aku berniat merantau ke kota? Selain melanjutkan pendidikan, aku juga mau merasakan penderitaan yang pernah dirasakan oleh ibuku saat sekolah pada Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di mana beliau harus bertuan kepada orang demi pendidikannya. Sekalian juga mau meringankan beban ibuku dalam membiayai adik-adikku yang lainnya.
Niat yang baik itu akhirnya direstui oleh ibu. Aku pun merantau ke kota pada usia dua belas tahun. Tapi sebelum merantau ke kota, ibu memberikan beberapa masukan, saran, dan nasihat-nasihat.
“Nak, Ibu merestui kamu berangkat ke kota ikut dengan kakakmu di kota. Tapi Ibu minta, nanti kalau kamu sekolah di sana setelah tamat SMP, tolong lanjut di SPG, ya?”
Aku bertanya, ”Kenapa Ibu harus menyarankan seperti itu? Apa tujuan Ibu sebenarnya? Tolong Bu, jelaskan dulu biar aku paham dan mengerti.”
“Begini, Nak…. Ibu kan seorang guru, kalau Ibu perhatikan dari lima orang kakakmu tidak ada yang mau ingin jadi guru. Ibu inginnya ada anakku yang bisa melanjutkan profesi ini, salah satu dari anak-anakku. Ibu ingin profesi ini tidak putus dalam keluarga ini.”
Beliau melanjutkan, “Coba, Nak, dengarkan dan perhatikan bahwa profesi guru itu adalah suatu pekerjaan yang sangat mulia. Ibu dikenal banyak orang karena dengan profesi itu Ibu bisa menjadikan banyak orang sukses. Tidak ada orang sukses tanpa belajar dari seorang guru. Tidak ada orang yang jadi dokter, pegawai, pejabat, tentara, polisi, bupati, gubernur maupun presiden pun tanpa melalui bangku pendidikan, Nak. Karena pendidikan itulah semua orang bisa bekerja, Nak.
“Contohnya seorang petani, Nak, bagaimana bisa dia menanam padi tanpa pendidikan. Dalam pendidikan itulah dia bisa menemukan bagaimana cara menanam padi yang baik dan menghasilkan hasil panen yang melimpah. Cobalah, Nak, berpikir siapa pihak yang paling berpengaruh dalam pendidikan kalau bukan guru? Memang guru ini kerjanya mulia, dialah satu-satunya pahlawan yang tanpa tanda jasa, Nak.”
Mendengar nasihat itu, aku hanya mengangguk-angguk, memahami penjelasan dan arahan yang diberikan oleh ibu. Aku merenung sejenak dan mencoba melihat ke belakang bahwa semua yang disampaikan oleh ibu masuk akal dan sesuai dengan kenyataan. Karena merasa iba dengan harapan yang disampaikan oleh ibu tersebut, membuat aku sadar dan merespon semua perkataan serta permintaan ibu.
“Iya, Bu, terima kasih atas semua yang ibu sampaikan. Itu semuanya benar. Aku terima semuanya, Bu. Tapi aku ini kan masih usia dua belas tahun. Aku masih mau belajar banyak, Bu. Cita-citaku saat ini hanya sekolah, sekolah, dan sekolah dulu, Bu. Untuk saat ini yang aku pikir setelah tamat SD, aku harus lanjut SMP, dan lanjut SMA. Setelah SMA aku harus lanjut lagi dan kuliah. Aku belum bisa menentukan apa jadinya nanti, mau ke mana tujuannya, Bu. Yang penting aku sekolah saja dulu Bu, yah?”
“Iya, Nak. Ibu memahami atas apa yang kamu pikirkan itu. Maaf, Nak, Ibu hanya memberikan pemahaman biar kamu sekolah nanti harus terarah dari sekarang. Untuk mencapai suatu tujuan itu sudah harus dipikirkan serta direncanakan dari sekarang, Nak. Itukan hanya kemauannya ibu karena harapannya ibu seperti itu. Coba pandang keluar dan lihat di kampung kita ini, suatu saat nanti kamu bisa pulang di kampung ini untuk mengabdikan diri membangun sumber daya manusia khususnya pada bidang pendidikan, Nak.”
“Apa kata orang nantinya apabila ibu ini seorang guru, tapi anaknya tidak seorangpun yang bisa meneruskan profesi ibunya. Bukan maksud Ibu menyepelekan profesi ayahmu, tapi profesi petani itu bisa dilaksanakan oleh semua orang, sekalipun dia sebagai PNS. Tapi tidak semua orang bisa jadi guru, kalau bukan di situ bidangnya.”
“Coba lihat banyak pegawai yang masih aktif dan yang sudah pensiun setelah kembali ke kampung mereka bisa bertani, bukan?”
“Iya, Bu, aku sekolah saja dulu. Yang penting aku sudah punya bekal yang Ibu berikan saat ini. Terima kasih atas semuanya. Jika aku pergi ke kota nanti, jangan lupa doakan, yah, Bu? Aku akan sekolah terus dan melanjutkan ke perguruan tinggi agar bisa menggapai keinginan Ibu melanjutkan profesi guru dalam keluarga ini.”
Dan sekarang, aku bisa memenuhi keinginan ibuku yang menjadi impiannya. Karena aku seorang guru. (*)