Oleh Uswatun Hasana, S. Pd.
Guru SMA N 1 Koto Baru
Kabar rencana pemerintah mengambil kebijakan penghapusan guru non ASN (Aparatur Sipil Negara) di tahun 2023 sudah tersebar luas hingga pelosok negeri. Hal ini diperkuat dengan adanya Surat Edaran (SE) dari Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia tertanggal 22 Juli 2022 tentang pendataan tenaga non ASN di lingkungan instansi pemerintah.
Pemerintah berencana mewajibkan status kepegawaian di lingkungan pemerintah terdiri dari dua jenis status kepegawaian, yaitu PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Rencana tersebut disebut harus sudah beres sebelum tanggal 28 November 2023. Ini semua menyebabkan kecemasan-kecemasan bagi guru non ASN atau guru honorer. Penghapusan guru non ASN ini tentu saja akan berdampak buruk terhadap nasib guru honorer yang jumlahnya tidak sedikit.
UU No. 14 Tahun 2005 menyebutkan bahwa guru adalah tenaga pendidik yang profesional dan memiliki tugas utama untuk mengajar, mendidik, membimbing, serta mengevaluasi peserta didik melalui jalur formal pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Artinya, siapapun bisa disebut sebagai guru apabila sudah mengajar di PAUD sampai SMA, tanpa memandang statusnya.
Guru ASN atau guru Non ASN atau sering disebut sebagai honorer sebenarnya memiliki tugas yang sama, yang membedakan hanyalah sumber penghasilan mereka. Ketika guru ASN dituntut untuk mengumpulkan semua perangkat pembelajaran, guru non ASN pun juga perlu mengumpulkan perangkat pembelajaran tersebut. Tugas mereka sama, yang membedakan mereka hanyalah status di pemerintahan.
Apabila kebijakan penghapusan guru non ASN tetap direalisasikan dan membuat yang bersangkutan kehilangan pekerjaan, maka mereka tidak bisa lagi disebut sebagai seorang guru. Sejalan dengan pendapat Husnul Chotimah (2008), pengertian pendidik adalah seseorang yang memberikan fasilitas terhadap proses pemindahan ilmu pengetahuan dari berbagai sumber belajar ke peserta didik. Jika mereka tidak bekerja lagi, mereka tidak bisa lagi disebut sebagai seorang guru.
Kebijakan ini tentu akan mengecewakan guru-guru non ASN, mereka akan kehilangan pekerjaan dan status mereka sebagai pendidik. Padahal mereka sangat berharap di tahun 2023 langkah yang diambil pemerintah bukan penghapusan, tapi pengangkatan semua guru non ASN. Kesamaan status ini, tentu yang menjadi harapan semua guru non ASN.
Para guru non ASN berharap pemerintah segera memberi kebijakan demi kesejahteraan mereka. Namun, di lain sisi guru non ASN juga menemui tantangan yaitu dengan adanya surat edaran tertanggal 25 Juli 2022, khususnya di lingkungan Dinas Provinsi Sumatera Barat, tentang pembagian tugas jam mengajar guru yang harus mempedoman padaPermendikbud, No. 15, Tahun 2018, pasal 4 ayat 3 yang berbunyi: “Pelaksanaan pembelajaran yang dimaksud pada ayat 2 dipenuhi paling sedikit 24 jam tatap muka per minggu dan paling banyak 40 jam tatap muka per minggu termasuk jam tambahan lainnya.” Jika hal ini harus direalisasikan, lalu apa kabar guru honorer? Akankah masih tersisa jam mengajar untuk guru non ASN?
Di sekolah saya sudah menerapkan optimalisasi jam guru ASN sehingga ada empat rekan guru non ASN terpaksa tidak memiliki jam mengajar dan harus diberhentikan dari sekolah. Padahal mereka sudah mengabdi cukup lama. Sebut saja RA, ia merasa sangat kecewa dengan adanya kebijakan tersebut ketika harus diberhentikan setelah mengabdi selama 15 tahun dan sudah lulus pretest PPG. Tapi, sekolah memang tidak berdaya dengan aturan dari pemerintah tersebut.
Kami sangat berharap pemerintah dapat memikirkan dan mempertimbangkan nasib-nasib para guru non ASN. Seharusnya bukan menghapus, tapi mengangkat. Itulah harapan kami sebagai guru non ASN.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud, S.S.