BDR adalah singkatan dari istilah Belajar dari Rumah. Sistem pembelajaran seperti ini harus dilakukan karena adanya pandemi akibat virus Covid-19 yang sangat meresahkan bagi seluruh penduduk di muka bumi. Namun di sisi lain, sistem pembelajaran dengan BDR dapat menimbulkan dampak yang sangat memprihatinkan.
BDR harus dilakukan untuk menghentikan penyebaran virus tersebut berdasarkan keputusan pemerintah yang mengimbau agar seluruh masyarakat membatasi kegiatan di luar rumah. Jika tidak ada kegiatan yang esensial, maka dianjurkan untuk tetap diam di rumah saja. Sehingga kegiatan sekolah pun juga harus dilakukan dari rumah.
Dalam pelaksanaan belajar dari rumah ini mengakibatkan siswa tidak dapat bertemu langsung dengan gurunya. Para siswa melaksanakan kegiatan belajar dengan guru melalui perantara media digital.
Banyak sekali media digital yang bisa dimanfaatkan dalam melaksanakan BDR. Mulai dari televisi, komputer, laptop, ponsel bahkan Radio. Namun, sebagian besar siswa dan orang tua lebih memilih memanfaatkan media digital berupa ponsel karena dianggap paling murah dan praktis. Sehingga kegiatan BDR sangat identik dengan penggunaan handphone.
Dalam pengoperasian ponsel yang menggunakan kuota data akses internet, mengakibatkan perangkat tersebut mampu mengantarkan dan menyajikan berbagai informasi dengan mudah dan bebas. Namun di sisi lain, kemudahan akses informasi secara online tersebut sangat riskan jika anak tidak didampingi dengan ketat oleh orang tua atau walinya di rumah. Bisa jadi anak akan lepas kontrol.
Masalah dari BDR tidak hanya sekedar bebasnya akses informasi tanpa batas yang dilakukan oleh para siswa. Kompetensi orang tua dalam mendampingi anak dalam BDR juga menjadi kendala terbesar. Hingga banyak bermunculan curahan hati emak-emak tentang BDR yang ramai di dunia sosial media.
Namun, jika kita melihat lebih dalam lagi secara menyeluruh, ada hal lain yang lebih esensi untuk diperhatikan yaitu kualitas moral anak. Ini dapat berakibat panjang jika tidak ada kesadaran dan penanganan yang segera dan tepat, misalnya hilangnya rasa hormat siswa terhadap guru.
Hilangnya rasa hormat siswa pada guru karena pembelajaran BDR ini dapat disebabkan oleh beberapa hal. Berdasarkan hasil pengamatan, hampir 50% wali murid mengeluhkan metode pembelajaran yang dilakukan secara daring dari rumah. Menurut mereka, cara belajar seperti ini kurang efektif dan efisien.
Ketika guru mencoba menerapkan metode pembelajaran daring yang kreatif, tetapi ada wali murid yang mengatakan bahwa guru tidak memahami kondisi siswa—karena siswa dinilai belum mampu dengan metode tersebut. Dan semua bentuk protes terhadap kegiatan pembelajaran jarak jauh yang diselenggarakan oleh guru ini dilontarkan langsung di depan anak. Hal ini menyebabkan anak dapat kehilangan kepercayaan terhadap gurunya.
Meskipun berkali-kali dijelaskan bahwa sebenarnya pelaksanaan model pembelajaran BDR bukanlah kemauan guru, tapi tetap saja guru yang menjadi sasaran protes. Sehingga seringkali guru diposisikan sebagai orang yang seakan-akan bertanggung jawab atas kendala yang terjadi selama kegiatan BDR ini.
Banyak orang tua siswa yang mengalami kebingungan dalam menghadapi kegiatan BDR ini, hingga mereka pun merasa putus asa untuk menjalaninya. Rasa putus asa inilah yang mendorong orang tua kurang perhatian lagi dengan tugas-tugas yang diberikan guru kepada anaknya.
Ketika tugas sudah dianggap tidak perlu dikerjakan, maka semua imbauan guru dianggap tidak perlu dipedulikan lagi. Ini adalah titik awal di mana siswa mulai kehilangan kepercayaan pada guru-gurunya. Nah, jika guru telah kehilangan rasa percaya dari siswanya karena orang tua kurang menanamkan rasa hormat, maka tujuan utama pendidikan agar bisa mencetak generasi yang sempurna dalam akhlaknya akan sulit tercapai. Padahal tujuan pendidikan yang utama adalah membentuk akhlak yang baik.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Shahihain).
Inilah hal yang paling mengerikan dari dampak negatif BDR. Guru sebagai orang yang harusnya dihormati karena telah berjasa memberikan ilmu kepada siswa sudah kehilangan kemuliaannya. Imbasnya adalah siswa pun akan kehilangan semangatnya dalam menuntut ilmu. Jika anak sudah enggan menuntut ilmu maka kehancuran lah yang akan hadir di depan mata.
Ditulis oleh Nurul Badriyyah, S.Pd.I. (Guru di UPT SDN Gentong, Kota Pasuruan)