Disiplin Positif – Beberapa hari yang lalu, jagat dunia maya terutama di instagram dan twitter, dihebohkan dengan salah satu video viral. Video tersebut berisikan seorang oknum guru yang melakukan kekerasan kepada muridnya di kelas.
Kekerasan ini diduga dilakukan oleh oknum guru SMA Negeri 2 Poso, Sulawesi Tengah. Kronologi dalam kejadian ini bermula ketika oknum guru yang menggunakan baju batik tersebut sedang berdiri di depan kelas.
Tiba-tiba oknum guru tersebut menarik seorang murid ke dalam kelas dan menampar murid tersebut dengan tas. Tak lama kemudian, oknum guru tersebut juga menendang siswa lain yang juga sedang masuk kelas.
Kejadian tersebut diduga disebabkan karena oknum guru yang merupakan wali kelas dari kedua siswa, mendapatkan laporan bahwa ada muridnya yang membolos mata pelajaran.
Video yang diunggah Minggu 18 Oktober 2022, di salah satu akun instagram tersebut akhirnya viral dan tuai berbagai komentar warganet.
Setelah mendapatkan aduan adanya tindak kekerasan oleh oknum guru tersebut, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Sulawesi Tengah sedang melakukan penyeledikan terdapat perilaku oknum guru tersebut.
Warganet mengganggap tindakan itu tidaklah pantas dilakukan oleh seorang guru. Namun sebagian lain menyetujui tindakan tersebut sebagai bentuk kedisiplinan. Lalu, bagaimanakah langkah yang seharusnya guru lakukan ketika menghadapi situasi seperti ini?
Disiplin vs Kekerasan : Serupakah?
Menurut The Liang Gie (1972) disiplin adalah suatu keadaan tertib di mana orang-orang yang tergabung dalam suatu organisasi tunduk pada peraturan-peraturan yang telah ada dengan rasa senang.
Sedangkan dalam konteks pendidikan anak, disiplin merupakan pendekatan mendidik anak untuk melakukan kontrol diri dan pembentukan kepercayaan diri. Tujuan dari implementasi disiplin ini adalah agar peserta didik mampu memahami diri dan perilaku mereka sendiri.
Selain itu, peserta didik juga harapannya mampu mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas pilihan mereka, dan menghormati diri mereka sendiri serta menghormati orang lain. Dengan kata lain, peserta didik dapat mampu menginternalisasi proses berpikir dan berperilaku secara positif.
Sehingga disini menjadi jelas, bahwa kekerasan bukanlah tindakan yang benar dalam proses internalisasi nilai disiplin kepada peserta didik. Disiplin tidak hanya berfokus pada punishment atau hukuman saja, tetapi bagaimana mereka secara sadar memahami dan bertanggung jawab atas perilaku mereka.
Dalam praktiknya, selama proses pembelajaranpun perlu dilakukan penegasan terhadap perilaku peserta didik. Tetapi tidak dengan menggunakan kekerasan.
Jika dikatakan bahwa orang tua atau guru zaman dahulu melakukan kekerasan sebagai bentuk kedisiplinan, maka miskonsepsi ini perlu diluruskan.
Pertama, perkembangan zaman, kondisi, dan teknologi pastinya akan mempengaruhi karakteristik suatu generasi. Sehingga kebutuhan ataupun tantangannya tidak bisa disamakan dengan generasi-generasi sebelumnya. Tidak ada metode yang lebih baik, semuanya baik ketika ditempatkan sesuai porsi dan waktunya.
Kedua, punishment terutama dalam bentuk kekerasan tidak sesuai dengan prinsip Sekolah Ramah Anak. Disiplin itu tidak hanya sekedar membuat peserta didik jera, tetapi lebih dari itu. Disiplin adalah proses yang dapat membuat peserta didik ‘sadar’.
Disiplin Positif : Murid Sadar, Tanpa Paksaan
Melakukan penyadaran terhadap peserta didik bukanlah tugas yang mudah. Kesadaran ini tidak muncul begitu saja. Guru sebagai pendidik turut andil dalam memancing kemunculan rasa ‘sadar’ ini.
Menurut Nelsesn dkk dalam buku Positive Discipline, disiplin positif adalah program yang dirancang untuk mengajarkan anak untuk menjadi bertanggung jawab serta hormat pada anggota dari komunitas mereka.
Artinya, disiplin ini bukan tindakan tunggal tetapi merupakan suatu proses yang kemunculannya dapat dipantik. Disiplin positif juga menuntut guru untuk bersikap tegas sekaligus ramah, tidak bersifat keras/kasar, ataupun tidak bersikap permisif ataupun intimidatif.
Karakteristik dari terciptanya proses disiplin positif yang dilakukan guru terhadap peserta didik adalah sebagai berikut,
1.Terdapat solusi jangka panjang yang akan membangun disiplin diri anak. Dialog menjadi hal yang penting dalam proses disiplin positif. Tidak hanya bertumpu pada ego, guru juga dapat mengambil perspektif peserta didik untuk menemukan solusi jangka panjang.
2. Komunikasi yang asertif tentang harapan, aturan dan batasan. Proses mendengarkan menjadi hal yang sangat penting disini. Mengingat peserta didik akan merasa dihargai ketika didengarkan.
3. Terciptanya hubungan yang baik dan menguntungkan antara guru dan peserta didik. Masing-masing mempunyai kesadaran untuk menghargai batasan dan melakukan tanggung jawabnya.
4. Secara tidak langsung, proses disiplin positif ini akan meningkatkan kompetensi dan kepercayaan diri peserta didik untuk menghadapi tantangan. Peserta didik juga akan dapat mengambil value berupa empati, good attitude dan toleransi dari proses disiplin positif ini.
Langkah kongkritnya dimulai dari mengidentifikasi kesalahan peserta didik. Setelah itu baru memilih tindakan yang akan dilakukan kepada peserta didik. Tak lupa, proses ini juga harus diabarengi dengan mendengarkan dan memahami alasan peserta didik melakukan hal tersebut.
Buatlah ruang dialog dengan peserta didik agar tercipta bounding yang kuat. Setelah tercipta, guru dapat memasukan value kebaikan sambil terus memompa harapan dari peserta didik agar mereka terus bertumbuh.
Pada akhirnya, guru juga hanyalah manusia biasa. Bukan superhero, dan dapat membuat kesalahan. Tugas guru adalah mengajar, tapi bukan berarti ia selesai belajar. Dengan berbagai dinamika dan keruwetan yang dihadapi guru, penulis percaya bahwa titik keikhlasanlah yang membuat mereka menjadi luar biasa.
Mari bergerak dan bertumbuh bersama dengan bergabung dalam komunitas Guru Juara untuk terus belajar agar menjadi berdaya. Silahkan bergabung dalam channel telegram ini https://t.me/gurujuara, dan selamat berproses.
Penulis : Ganis Khoiru Nisa’
(gan/gan)