Rusmanto: Berjuang di Lokalisasi Menjaga Hati Mewujudkan Mimpi Jadi Guru

- Editor

Kamis, 12 Januari 2023

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ditulis oleh Rusmanto, S.Pd., M.Pd.

Guru di SMA Negeri 3 Sentani

 

Sejarah kelam memaksa keluarga saya hijrah ke Irian Jaya mengikuti program transmigrasi di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Tahun 1985 saat itu, usia saya baru tujuh tahun.

Malam itu, tepatnya di bulan Mei tahun 1985 sekitar pukul sebelas malam di desa Jagan, Kelurahan Canden, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, adalah peristiwa yang begitu membekas di hati dan ingatan saya. Betapa tidak, saat keluarga saya tengah menikmati tidur malam, tiba-tiba dikagetkan oleh suara keras teriakan penduduk satu desa di halaman rumah hingga suara teriakan itu membangunkan saya dan seluruh rumah. 

“Keluarrr Zanhari! Buka pintu, keluar…!” begitu keriuhan itu terdengar. 

Suara teriakan satu penduduk desa memanggil Zanhari membuat jantung saya berdebar-debar dan ingin tahu apa gerangan yang sebenarnya membuat penduduk satu desa ini mendatangi rumah saya. Zanhari adalah bapak saya. 

Mereka membawa obor berteriak-teriak memanggil nama bapak saya. Ibu saya lantas membukakan pintu dan penduduk satu desa langsung merangsek masuk ke dalam rumah. Saat itu saya hanya diam berdiri di tengah kerumunan orang dewasa dan mendengar ucapan mereka yang menuduh dan memaksa kakak pertama saya untuk mengakui perbuatan pencurian di salah satu rumah tetangga. Amarah penduduk desa yang sudah terprovokasi oleh seorang warga yang merupakan bekas simpatisan PKI mengusir keluarga saya untuk keluar dari kampung halaman sendiri.  

Tidak berpikir lama, akhirnya pada tanggal 12 Mei 1985 keluarga saya bertransmigrasi ke Kabupaten Sorong, Provinsi Irian Jaya. Hari demi hari keluarga saya menjalani kehidupan di daerah baru, lokasi pemukiman baru yang merupakan pemberian pemerintah bagi warga transmigrasi. Kawasan itu masih berupa hutan belantara dengan bangunan rumah kayu di atas tanah rawa. 

Satu tahun kemudian, bangunan gedung sekolah dasar INPRES berdiri. Dan sejak saat itulah saya langsung duduk di bangku kelas 2 sekolah dasar. 

Di tahun 1987, jatah sembako untuk warga transmigrasi dihentikan oleh pemerintah karena telah mencapai kurun waktu 24 bulan. Ini tentu sangat berdampak terhadap kondisi ekonomi keluarga saya yang masih sangat lemah dengan jumlah 8 orang anak. 

Pada tahun 1988, saat saya duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar, keluarga saya untuk pertama kali bisa memetik hasil pertanian lombok seluas 2 hektar dengan harga yang lumayan tinggi di masa itu. 

Kemudian di tahun 1991, setelah lulus sekolah dasar, saya melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 2 Salawati, Kabupaten Sorong. Meski jarak sekolah sangat jauh dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki dengan menyusuri jalan setapak hutan lindung, tanah berlumpur, mendaki gunung, dan melewati jalan turunan yang sangat curam, semangat untuk melanjutkan pendidikan menengah pertama tidak pernah pudar. Setiap hari saya harus berangkat dari pukul 04.00 dini hari. 

Selama tiga tahun menempuh pendidikan di SMP Negeri 2 Salawati, saya merasakan pendidikan kedisiplinan yang sangat tinggi. Penerapan pendidikan karakter tentang disiplin, integritas, kerja sama, religius, dan nasionalisme sangat dirasakan oleh semua warga sekolah, baik guru, staf tata usaha, maupun siswa. Selama proses pendidikan menengah pertama inilah keinginan menjadi seorang guru mulai tumbuh. Waktu itu saya ingin menjadi guru Geografi. 

Setelah lulus SMP tahun 1994, saya melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri Sorong. Keterbatasan ekonomi keluarga membuat biaya pendidikan saya ditanggung oleh orang tua angkat. Dan di sinilah pengalaman kelam dalam hidup saya alami kembali. 

Selama tiga tahun menjalani pendidikan di Madrasah Aliyah, saya tinggal bersama orang tua angkat. Berbeda kondisi dengan beberapa teman kelas yang juga dibiayai oleh orang tua angkat, saya diperlakukan tidak manusiawi.

Orang tua angkat ini mempunyai 3 orang anak, 2 menantu, dan 4 cucu. Ada aturan yang harus saya taati di rumah keluarga tersebut, yaitu saya tidak boleh menggunakan kamar mandi milik keluarga untuk mandi, buang air kecil ataupun buang air besar. Itu sebabnya selama 3 tahun saya tinggal bersama keluarga tersebut, tiap kali ingin buang air besar harus selalu mengendap-endap mencari tempat yang sepi untuk buang air besar. 

Keterbatasan ekonomi orang tua membuat saya menyadari dan pasrah pada kenyataan hidup yang saya alami. Kendati baru satu bulan tinggal bersama keluarga itu, sebenarnya saya sudah pernah menyerah dan meminta izin pulang. Namun ketika mendengar permintaan saya itu, orang tua angkat justru murka karena merasa telah mengeluarkan sejumlah uang untuk membelikan seragam sekolah, sepatu, buku, dan lain sebagainya. Itulah kenapa saya tidak kuasa untuk melepaskan diri dari keluarga itu karena ada rasa utang budi. Berkat kesabaran dan keteguhan hati, kendati penuh kesedihan, Allah SWT yang Maha Besar selalu menolong saya sehingga bisa bertahan bersama keluarga itu hingga saya tamat Madrasah Aliyah. 

Lulus Madrasah Aliyah Negeri Sorong saya tidak langsung melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Saya mencari pengalaman kerja mulai bekerja sebagai buruh cuci pakaian, berjualan sate keliling menggunakan gerobak, bekerja di rumah makan padang, jadi cleaning service di diskotik, sebagai penyanyi bar, sebagai penyanyi home band di salah satu hotel di kota Sorong, hingga sebagai penyanyi tamu dalam program acara di RRI Sorong, semua pernah saya lakukan. Pengalaman itu membentuk mental saya semakin kuat sekaligus meneguhkan niat saya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Universitas Cenderawasih Jayapura. 

Pada tahun 1998, empat hari menjelang hari terakhir pengambilan formulir Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) di kantor dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sorong, saya harus mencari uang untuk membayar biaya formulir UMPTN kelompok Ilmu Pengetahuan Campuran (IPC) sebesar Rp. 30.000,- yaitu dengan menjadi kondektur angkutan umum kota Sorong selama dua hari. 

Ada tiga program studi pilihan saya antara lain program studi Bahasa Inggris, program studi Kimia, dan program studi Fisika. Setelah mengikuti tahapan tes UMPTN, saat pengumuman hasil tes disiarkan, nama saya ada dalam daftar kelulusan calon mahasiswa baru jenjang Strata Satu (S-1) untuk program studi Kimia Universitas Cenderawasih. 

Setelah melihat hasil kelulusan UMPTN, seketika itu saya memutuskan pulang dan mengajak musyawarah keluarga. Hasil musyawarah keluarga malam itu, kakak pertama, kakak ketiga, dan keempat sudah sepakat bersedia membantu biaya kuliah saya di mana masing-masing menyumbang sebesar Rp. 25.000,-  per bulan. Namun tidak disangka, ternyata kakak kelima dengan penghasilan Rp. 15.000.000,- /bulan yang bekerja sebagai Kepala Mesin Kapal Asing Negara Jepang dengan tegas menolak membantu biaya kuliah sebesar Rp. 100.000. 

Sepajang malam saya hanya bisa meratapi ucapan kakak kelima saya sebagai saudara kandung dan mempunyai penghasilan sangat besar masa itu,  tapi menolak membantu saya sebagai adik yang ingin malanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Saat adzan Subuh berkumandang, saya bergegas melaksanakan shalat kemudian meminta restu kepada bapak dan ibu untuk kembali ke Kota Sorong.

Luapan keperihan dan kepedihan hati yang terbendung sepanjang malam di rumah akhirnya saya tumpahkan dalam perjalanan menyusuri jalan setapak di tengah hutan lindung. Dalam keheningan hutan di pagi itu, saya berteriak keras, menangis, dan mengucap sumpah bahwa saya tidak akan kembali pulang sebelum bisa menunjukkan keberhasilan saya di depan kakak saya yang kelima.

Pada hari Rabu sore pukul 16.00 WIT tanggal 19 Agustus 1998, saya berangkat menuju Jayapura dengan kapal KM Ciremai membawa uang Rp. 5.000.000,- pemberian seseorang yang iba mendengar cerita kehidupan saya.  

Sesampainya di pelabuhan Jayapura, saya langsung naik angkutan umum menuju ke kost teman sekelas saat di Madrasah Aliyah yang sudah lebih dulu melanjutkan kuliah. Dengan jiwa penuh keperihan dan api dendam yang membara terhadap kakak kelima, di kamar kost teman itulah, saya mulai mencari jalan bagaimana agar saya tetap bisa melanjutkan kuliah tanpa berharap bantuan dari keluarga. 

Hingga suatu ketika saya bertemu dengan seorang nenek. Dia menunjukkan jalan menuju lokalisasi (tempat prostitusi) di mana saya akan mencari kerja sebagai buruh cuci pakaian dan tukang pijat. Satu tahun berkecimpung di lokalisasi sebagai buruh cuci pakaian milik para PSK dan tukang pijat, karena takut ada keluarga atau teman yang mengetahui pekerjaan saya itu, akhirnya saya memilih meninggalkan pekerjaan di lokalisasi dan menjadi tukang pijat panggilan. Selain itu saya juga mengambil pekerjaan sebagai penyanyi tamu di salah satu hotel di Jayapura. Dari dua pekerjaan inilah, saya bisa menjalani pendidikan di Universitas Cenderawasih hingga semester empat. 

Di semester lima, di tahun 2000, saya dipertemukan dengan orang tua angkat asal Sidoarjo, Jawa Timur yang bersedia membantu biaya kuliah hingga wisuda. Akhirnya pada tanggal 30 September 2003, saya menyelesaikan pendidikan dan mendapat gelar Sarjana Pendidikan. 

Tiga minggu setelah wisuda ada pengumuman penerimaan CPNS. Saya mencoba ikut mendaftar di Kabupaten Pegunungan Bintang dengan jumlah pendaftar saat itu mencapai 8.786 meliputi kualifikasi pendidikan SD, SMP, SMA, Sarjana dan Magister. 

Pada hari Selasa pagi tanggal 16 September 2003 hasil tes CPNS di seluruh Provinsi Papua termasuk di Kabupaten Pegunungan Bintang diumumkan melalui surat kabar harian Cenderawasih Post dan juga RRI Jayapura. Saya dinyatakan lulus tes CPNS dengan nilai terbaik. 

Lima bulan setelah hasil tes CPNS diumumkan, dibagikan Surat Keputusan (SK) Pengangkatan sebagai CPNS oleh Bupati Kabupaten Pegunungan Bintang yang diserahkan langsung oleh Sekda Kabupaten Pegunungan Bintang. Saya ditempatkan di SMP Negeri 1 Oksibil. Setahun kemudian dibagikan Surat Keputusan (SK) pengangkatan sebagai PNS oleh Sekda Kabupaten Pegunungan Bintang. 

Karena sering sakit selama melaksanakan tugas di Kabupaten Pegunungan Bintang, mulai tahun 2010 saya mengajukan pindah tugas ke SMA Negeri 3 Sentani, Kabupaten Jayapura. Permohonan pindah tugas saya tersebut dikabulkan oleh Bupati Pegunungan Bintang dan terhitung mulai tanggal 01 Oktober tahun 2011 saya melaksanakan tugas sebagai guru Pegawai Negeri Sipil di SMA Negeri 3 Sentani hingga saat ini. 

Tahun 2013, saya mengikuti Ujian Kompetensi Guru (UKG) yang diselenggarakan oleh Kemendikbud dan dinyatakan lulus sebagai tahapan syarat masuk Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) di Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Jayapura untuk memperoleh sertifikat sebagai guru profesional bidang studi Kimia untuk selanjutnya berhak memperoleh tunjangan profesi guru. Kegiatan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) diselenggarakan selama 12 hari dan saya dinyatakan lulus dan memperoleh sertifikat sebagai guru profesional.

Sejak tahun 2014, saya menerima tunjangan profesi guru untuk triwulan I dan II. Dari tunjangan profesi guru inilah, saya bisa melanjutkan pendidikan pascasarjana Program Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam di Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Cenderawasih. Saya memperoleh gelar Magister Pendidikan pada bulan Agustus tahun 2016 silam. 

Sepanjang karir sebagai guru kimia bergelar Magister Pendidikan, saya selalu menuntut diri saya untuk berada satu langkah lebih di depan dari rekan-rekan guru yang masih bergelar Sarjana Pendidikan. Oleh sebab itu, saya tidak pernah berhenti untuk belajar dan melakukan pengembangan diri. 

Pada masa pandemi Covid-19 lalu,  saya mulai mengikuti pelatihan online untuk guru. Pelatihan pertama yang saya ikuti diselenggarakan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kabupaten Gresik. Berikutnya melalui grup WhatsApp IGI Kabupaten Gresik  inilah menjadi jembatan bagi saya mengikuti berbagai pelatihan lainnya dalam pengembangan keprofesian untuk meningkatkan kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga resmi dan terpercaya. 

Beberapa lembaga resmi yang saya ikuti kegiatannya di antaranya: Ikatan Guru Indonesia (IGI), Lembaga Pengambangan dan Konsultasi Nasional (LPKN), Omah Guru Inovatif (OGI), iDS Rumah Pendidikan Indonesia, e-Guru.id, Guru Juaradan Diklat.co (Diklat Online Indonesia). Di antara judul pelatihan yang pernah saya ikuti antara lain: pelatihan Menulis Buku ber-ISBN, Menulis Artikel Ilmiah, Menulis Buku Pedoman Guru, Menulis Artikel Majalah Guru, Diklat Membuat Website, Diklat Penyusunan Dupak Guru, Diklat Membuat Publikasi Ilmiah, Diktat Penyusunan Laporan PKG, Diklat Membuat Makalah Best Practice, Diklat Penyusunan SKP, Diklat Manajemen Kepemimpinan di Sekolah, Diklat Public Speaking, dan sebagainya. 

Dari berbagai pelatihan yang pernah saya ikuti tersebut memiliki dampak yang sangat besar bagi saya sehingga saya mampu menghasilkan karya buku pertama dengan judul: Model Pembelajaran Student Teams Achievement Division (STAD) vs Jigsaw Pada Pembelajaran Kimia Materi Senyawa Alkana (Niramedia, 2022), dan Karya Buku Kedua dengan judul: Hubungan Intelegensi dan Prestasi Belajar Kimia (Madza Media, 2022).

Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!

Editor: Moh. Haris Suhud

Berita Terkait

Di Tengah Peperangan, Begini Cara Guru Palestina Tetap Mengajar Anak-anak Gaza
Berpuluh Tahun Mengajar, Damin Dikenang sebagai Pahlawan yang Tinggalkan Jejak di Hati Masyarakat
Mengesankan, Guru Asal Wonogiri Fasih Bahasa Inggris hingga Viral Karena Konten Uniknya
Kisah Kepala Sekolah Muda Asal Semarang Memik Nor Fadilah: Tumbuhkan Kepemimpinan Melalui Kedekatan dengan Siswa
Perjuangan Ana Rahmawati, Guru Asal Pati yang Mengajar Penuh Dedikasi Sembari Menanti Keputusan Penempatan ASN
Merayakan Hari Raya Idul Fitri dengan Sederhana
Supar: Anak Perbatasan yang Sukses Wujudkan Impian Jadi Guru
Perjalanan Umroh yang Penuh Magis 
Berita ini 36 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 13 Maret 2024 - 11:34 WIB

Di Tengah Peperangan, Begini Cara Guru Palestina Tetap Mengajar Anak-anak Gaza

Minggu, 20 Agustus 2023 - 21:20 WIB

Berpuluh Tahun Mengajar, Damin Dikenang sebagai Pahlawan yang Tinggalkan Jejak di Hati Masyarakat

Minggu, 2 Juli 2023 - 22:08 WIB

Mengesankan, Guru Asal Wonogiri Fasih Bahasa Inggris hingga Viral Karena Konten Uniknya

Selasa, 6 Juni 2023 - 19:26 WIB

Kisah Kepala Sekolah Muda Asal Semarang Memik Nor Fadilah: Tumbuhkan Kepemimpinan Melalui Kedekatan dengan Siswa

Senin, 5 Juni 2023 - 19:30 WIB

Perjuangan Ana Rahmawati, Guru Asal Pati yang Mengajar Penuh Dedikasi Sembari Menanti Keputusan Penempatan ASN

Sabtu, 22 April 2023 - 18:53 WIB

Merayakan Hari Raya Idul Fitri dengan Sederhana

Jumat, 21 April 2023 - 14:05 WIB

Supar: Anak Perbatasan yang Sukses Wujudkan Impian Jadi Guru

Jumat, 21 April 2023 - 13:40 WIB

Perjalanan Umroh yang Penuh Magis 

Berita Terbaru