Oleh Juarni, S.Pd.I.
Guru di MIN 17 Pidie
Tugas guru bukan hanya sekadar mentransfer ilmu saja tetapi juga membimbing akhlak peserta didik. Apalagi bagi seorang guru mata pelajaran Akidah Akhlak, selain memberikan materi pelajaran juga membimbing dan memberikan contoh akhlak yang baik. Akhlak lebih utama di atas ilmu, untuk apa ilmu tinggi bila tidak disertai dengan akhlak yang baik. Dan Rasulullah diutus oleh Allah SWT ke dunia ini adalah untuk memperbaiki akhlak manusia.
Atas dasar itulah, ketika saya mengajar, sebelum memberikan materi pelajaran, saya selalu memantau perilaku dari siswa-siswa di kelas. Kalau ada yang perilakunya kurang baik akan saya bimbing secara terpisah dengan cara memberikan nasihat. Di kelas saya juga sering memberikan nasihat secara klasikal dan menceritakan kisah-kisah tentang akhlak yang baik.
Setiap kelas tentunya berisi ragam siswa yang datang dari latar keluarga yang berbeda, dengan kepribadian yang tidak sama, bahkan tak jarang berbenturan antara anak yang satu dengan anak yang lainnya.
Masih teringat dalam ingatan saya tentang seorang anak yang akhlaknya sangat tidak baik. Karena saya mengajar pelajaran Akidah Akhlak, maka saya selain memberikan materi pelajaran juga membimbing akhlak anak didik saya supaya menjadi lebih santun dan berakhlak mulia. Pada saat saya sedang mengajar ada seorang anak yang membuat onar di kelas dan sering membully teman-temannya. Anak tersebut merasa dia hebat dan anak orang yang terpandang sehingga ia sering mengejek dan menyepelekan guru dan teman-temannya.
Banyak laporan dari guru dan teman-temannya tentang tingkah laku anak tersebut, sehingga kondisi kelas menjadi tidak nyaman saat pembelajaran dan teman-teman sekelasnya merasa tertindas akibat perbuatannya. Bahkan banyak laporan dari wali murid tentang kenakalan anak tersebut.
Pada suatu hari saya sedang mengajar di kelas anak tersebut. Anak tersebut duduk asyik bicara dan mengganggu teman sebangku, kalau tidak mendengar kata-katanya ia akan langsung mencoret buku teman sebangku tersebut.
Sebagai guru pelajaran Akidah Akhlak, saya harus bertanggung jawab atas kenakalan anak tersebut agar menjadi anak yang lebih baik. Jadi cara satu-satunya adalah harus menjumpai orang tuanya dan menceritakan bagaimana tingkah anak tersebut di sekolah. Kemudian saya datang ke rumah orang tua anak tersebut.
Sampai di rumahnya, saya disambut ramah oleh ibunya lalu saya bahas tentang kelakuan anaknya di sekolah. Saya ceritakan semua pada orang tuanya bahwa di sekolah anaknya malas belajar dan senantiasa membuat kerusuhan di kelas. Anehnya anak tersebut mengaku di sekolah bahwa dia anak tentara, dia itu malu mengakui anak dari seorang kuli bagunan.
Ibunya pun menangis mendengar hal tersebut. Kemudian ibunya minta tolong sama saya disuruh membina agar anaknya menjadi anak yang sayang sama orang tua dan menjadi anak yang sholeh dan berguna bagi nusa dan bangsa.
Hari demi hari anak tersebut masih aneh saja perbuatannya terhadap teman di kelasnya. Kemudian saya memanggil anak tersebut. Saya menasihatinya secara pribadi. Yang pertama sekali saya katakan adalah tentang masalah orang tuanya, perjuangan orang tuanya saat mengandungnya yang harus mempertaruhkan nyawa. Apalagi saat membesarkannya dengan kondisi ekonomi yang sangat sulit. Saya mencoba menguras emosi anak tersebut dan meminta supaya ia mengingat perjuangan dan pengorbanan kedua orang tuanya.
Saya melanjutkan nasihat saya, “Apapun pekerjaan orang tua kamu ataupun pekerjaan ibumu, kamu harus tetap bangga dengan mereka.”
“Dengan adanya ibu dan ayah kamu, maka kamu ada di muka bumi ini. Sayangilah orang tua kamu, hargailah keduanya, karena kedua orang tuamu itu adalah orang yang membesarkan kamu. Jadi sekarang, ubahlah akhlak yang tidak baik itu agar kamu jadi anak berbakti kepada kedua orang tua. Sekarang juga, kamu harus rajin belajar, disiplin, patuh pada guru di sekolah dan patuh juga pada guru mengajimu, agar kamu jadi anak yang sholeh dan berguna bagi nusa dan bangsa.”
Anak tersebut menangis dengan hebat. Tampaknya ia benar-benar menyesali perbuatannya yang malu mengakui profesi kedua orang tuanya. Ia pun mengakui kesalahannya yang selalu mem-bully teman-temannya dan sering membuat onar di kelas.
Ia ragu apakah teman-temannya akan memaafkannya; apakah guru dan kedua orang tuanya menganggap dia sebagai anak durhaka. Saya mencoba menenangkannya dengan mengatakan bahwa setiap orang tua selalu mendoakan anak-anaknya. Tidak ada orang tua yang mendoakan kejelekan untuk anak-anaknya.
“Begitu juga dengan kami gurumu, kami selalu ingin anak didik kami sukses di dunia dan akhirat. Kebahagiaan kami adalah melihat kesuksesan dari para murid kami. Tentang teman-temanmu, tidak usah khawatir, saya akan menasehati mereka asal kamu benar-benar berubah dan meminta maaf dengan sungguh-sungguh.”
Akhirnya anak tersebut meminta maaf dan mengubah akhlaknya. Ia menjadi anak yang penurut dan tidak malu lagi mengakui profesi kedua orang tuanya yang sebenarnya. Ia juga menjadi anak yang taat pada guru di kelasnya. Ia benar-benar menghormati dan bersikap santun di kelas.
Perubahan itu sungguh membawa kebahagiaan bagi saya. Perubahan kecil ini saya yakini yang akan menjadi sesuatu yang besar. Sebab akhlak yang baik akan menjadi pondasi masa depan bagi anak tersebut di kehidupannya. Jika saat ini ia bersikap dan berakhlak baik, maka kelak dewasa ia akan mempunyai akhlak yang baik.
Sekarang anak tersebut sudah bersekolah di sekolah menengah atas. Saat bertemu dengan saya, sikapnya sungguh sangat santun dan orang tuanya juga mengucapkan terima kasih atas penanganan yang saya lakukan terhadap anaknya. Menurut orang tuanya, sejak kejadian itu anaknya sangat jauh berubah; yang biasanya sangat kasar dengan orang tua menjadi sangat sopan dan penurut bahkan tak jarang ikut membantu kedua orang tuanya; ia tidak malu lagi dengan pekerjaan orang tuanya dan sering mengajak teman-temannya untuk kerja kelompok dan belajar bersama.
Orang tuanya juga menuturkan bahwa prestasi anaknya sudah meningkat apalagi tentang akhlaknya yang sudah sangat jauh berbeda. Akhirnya orang tua dan guru-gurunya di sekolah sangat senang melihat dan mendengar bahwa ia saat ini sudah menjadi anak yang sholeh dan patuh pada kedua orang tua dan gurunya. (*)
NOTE: Tulisan ini juga dipublikasikan dalam format buku antologi “Praktik Baik”—yang berisi kisah dan pengalaman terbaik para guru dalam mengatasi masalah yang dihadapi dalam proses mendidik siswa.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud, S.S.