Oleh Ana Subekti, S.Pd.I.
Guru SD N Banjarharjo, Kalibawang, Kulon Progo, DIY
Setelah enam tahun menjadi pendidik bagi anak-anak remaja, tepatnya siswa SMA, akhirnya takdir membawa saya untuk menjadi seorang pendidik di salah satu sekolah dasar yang masih satu wilayah kapanewon (kecamatan) tempat saya tinggal. “Sekolah Bengkel”, itulah sebutan bagi sekolah tempat saya mengabdi saat ini, yaitu SDN Banjarharjo, Kalibawang. Saya mulai mengabdi di sekolah tersebut sejak tahun 2019 sebagai guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti sejak saya diterima sebagai CPNS.
Peralihan dari seorang pendidik SMA menjadi pendidik SD bukanlah sesuatu yang mudah, karena siswa SMA dan siswa SD jelas memiliki karakteristik yang berbeda, baik dari segi fisik maupun dari segi psikologis di mana siswa SMA berada dalam tahap operasional formal sedangkan siswa SD berada dalam tahap operasional konkret.
Sebutan “Sekolah Bengkel” untuk SDN Banjarharjo dikarenakan beberapa sebab, antara lain: pertama, karena sekolah ini adalah pilihan terakhir bagi sebagian besar siswanya untuk bersekolah di lembaga tersebut; kedua, hampir setiap tahun sekolah ini menerima siswa pindahan dari sekolah lain dikarenakan siswa tersebut memiliki masalah di sekolah sebelumnya, misalnya karena tidak dapat mengikuti pelajaran, sering terlibat perkelahian dengan teman, dan beberapa anak berkebutuhan khusus lainnya; dan ketiga, banyak siswa yang berasal dari keluarga “broken home”.
Dampak dari beberapa masalah tersebut juga beragam, antara lain rendahnya daya intelektualitas siswa (slow learner), fokus siswa yang mudah teralihkan dari pelajaran, aktivitas siswa yang terlalu berlebihan tidak pada tempat dan waktu yang tepat, serta beberapa siswa cenderung murung dan asyik dengan dunianya sendiri. Apalagi khusus untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti cenderung dianggap sebagai mata pelajaran yang kurang menarik dan membosankan. Jadi, ibaratnya sekolah kami menjadi bengkel dari beberapa siswa yang kurang beruntung karena beberapa masalah yang sebenarnya kondisi tersebut tidak sepenuhnya kesalahan mereka.
Sebagai seorang guru tentunya saya berupaya mencari suatu formula khusus yang dapat mengatasi permasalahan tersebut. Mengingat tahapan psikologi anak usia SD, yaitu tahap operasional konkret, akhirnya saya mencoba membuat sebuah media ajar yang saya harapkan mampu mengubah aktivitas siswa dalam belajar lebih menarik. Selain itu, media tersebut diharapkan mampu menyajikan pembelajaran yang konkret bagi siswa, yaitu berupa media pembelajaran “Ultraguna”.
Media ajar “Ultraguna” yaitu berupa media ajar berbentuk ular tangga serbaguna. Mengapa disebut ular tangga serbaguna? Karena diharapkan media ajar ular tangga tersebut dapat digunakan sebagai media ajar untuk berbagai kelas bahkan berbagai mata pelajaran, mulai dari kelas satu sampai dengan kelas enam.
Awal mula saya menerapkan media pembelajaran “Ultraguna” pada siswa kelas lima, karena pada kelas tersebut terdapat beberapa siswa dengan kondisi istimewa, antara lain belum mampu membaca dengan lancar, siswa hiperaktif, dan siswa pemurung yang cenderung asyik dengan dunianya sendiri.
Cara penggunaan media ajar “Ultraguna” tidak jauh berbeda dengan aturan main pada permainan ular tangga pada umumnya, perbedaannya terletak pada reward dan punishment yang saya terapkan bagi siswa yang mendapat ular atau tangga, yaitu saya kombinasikan dengan sebuah pertanyaan yang saya kaitkan dengan materi ajar yang sedang dipelajari. Media ajar “Ultraguna” juga dapat dikombinasikan dengan media permainan kartu, hingga reward dan punishment berupa permainan peran bagi siswa.
Ternyata media pembelajaran “Ultraguna” sangat efektif dalam menumbuhkan semangat dan aktivitas belajar siswa, sehingga siswa yang belum bisa membaca dengan lancar tidak merasa minder dan tetap dapat aktif turut serta dalam proses belajar, seperti bertanya dan menjawab pertanyaan. Sedangkan siswa yang hiperaktif dapat meningkatkan kualitas aktivitas belajarnya dan tidak lagi mengganggu teman-temannya ketika belajar, serta bagi siswa yang cenderung pemurung dan asyik dengan dunianya sendiri mulai dapat membaur belajar dengan teman-temannya yang lain.
Kelas yang semula tidak kondusif dapat diubah menjadi kelas yang mampu belajar aktif dan produktif. Setiap saya masuk kelas mereka merasa senang karena saya mengajak mereka belajar sambil bermain dengan menggunakan media pembelajaran “Ultraguna” yang saya kombinasikan dengan permainan lainnya yang beragam dan berganti-ganti. Pelajaran yang semula terasa kurang menarik dan membosankan menjadi salah satu mata pelajaran yang dinanti-nantikan oleh siswa.
Pada kesempatan lain, saya mencoba menerapkan media “Ultraguna” pada kelas lain, yaitu saya mulai dari kelas satu. Setelah saya terapkan, siswa kelas satu bukan hanya dapat belajar materi yang diajarkan, melainkan mereka juga dapat belajar berhitung karena dalam permainan ular tangga siswa harus berjalan mengikuti angka secara berurutan.
Melihat efektivitas media ajar “Ultraguna” tersebut, akhirnya saya pergunakan media “Ultraguna” pada semua kelas, dan aktivitas belajar siswa masing-masing kelas meningkat. Aktivitas siswa yang semula tidak terkontrol dan cenderung berlebihan menjadi aktivitas belajar yang produktif, sebaliknya siswa yang sebelumnya kurang aktif pun dapat mulai menumbuhkan rasa percaya dirinya.
Beberapa siswa yang sudah lulus banyak yang diterima di sekolah negeri bahkan dengan rangking 10 besar. Mereka yang sebelumnya mendapat predikat “siswa istimewa” dan berkebutuhan khusus jika kita berikan solusi pembelajaran yang tepat ternyata dapat menjadi siswa yang berprestasi dan membanggakan.
Sekolah kami memang mendapat predikat “Sekolah Bengkel”, tetapi saya sebagai seorang guru berusaha menjadikan bengkel ini sebagai sebuah bengkel yang benar-benar mampu mengubah siswa yang sebelumnya bukan apa-apa menjadi istimewa, siswa yang sebelumnya dianggap sebelah mata menjadi luar biasa. (*)
NOTE: Tulisan ini juga dipublikasikan dalam format buku antologi “Praktik Baik”—yang berisi kisah dan pengalaman terbaik para guru dalam mengatasi masalah yang dihadapi dalam proses mendidik siswa.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud, S.S.