Meniti Jalan Menjadi Guru: Muhlisin

- Editor

Senin, 21 Februari 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh Muhlisin, S.Pd.I

Guru di SMK Diponegoro Banyuputih

Semasa masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah (setingkat sekolah dasar), saya termasuk anak yang bingung saat ditanya tentang cita-cita. Apalagi cita-cita menjadi seorang guru, sangat jauh dari anganku. 

Kebanyakan teman-teman pada umumnya akan menyebutkan cita-cita mereka dengan lugas seperti; “Saya ingin menjadi dokter!”, “Saya ingin jadi guru”, “Saya ingin menjadi pilot!”, dan lain sebagainya. Lain halnya dengan saya, dalam benak saya hanya ingin menjadi manusia yang baik dan bermanfaat bagi orang lain. Mungkin itu bukan sebuah cita-cita yang spesifik, bahkan saya ragu apakah itu termasuk cita-cita, atau hanya sekedar harapan yang biasa-biasa saja. 

Saya baru menyadari ketika kelulusan sekolah dasar tiba. Ternyata keinginanku sangat sederhana, dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). 

Selepas lulus dari sekolah dasar, besar harapan saya dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP. Namun takdir berkata lain. Walaupun di kelas akhir saya termasuk siswa yang berprestasi di kelas dengan ranking 2 di caturwulan satu, rangking 1 di caturwulan dua dan tiga, semua itu tak banyak membantu. Pendidikanku harus terhenti dengan berbagai faktor dan alasan. Faktor ekonomi menjadi alasan paling dominan. 

Kondisi demikian yang memaksa saya untuk bekerja menjadi tukang pembuat bata merah. Itu satu-satunya pekerjaan yang bisa saya kerjakan untuk membantu meringankan beban ekonomi orang tua pada waktu itu. Kebetulan di daerah saya ada beberapa tempat pembuat bata merah yang lokasinya tepat di pinggir jalan desa. 

Di usia yang relatif masih muda (antara 11 atau 12 tahun) adalah usia yang belum matang untuk bekerja. Pekerjaan ini cukup berat. Tiap pagi buta, saya sudah harus siap sedia bergelut dengan tanah untuk membuat adonan bata merah. 

Di saat anak-anak seusia saya yang lain berangkat ke sekolah dengan riang gembira, saya hanya bisa memandangi mereka dari balik tumpukan bata dengan perasaan perih. Saya tahu bahwa saya tidak seberuntung mereka yang dapat langsung melanjutkan sekolah. Namun di hati kecilku tetap punya keyakinan yang tinggi bahwa pada suatu saat saya akan kembali melanjutkan pendidikanku.

Setelah satu tahun bekerja menjadi tukang pembuat batu bata, ada seorang guru sekolah dasar memberi kabar yang sangat menggembirakan bagi saya. Ada sekolah gratis program dari pemerintah yaitu SLTP-T (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Terbuka) yang merupakan satu alternatif sub-sistem pendidikan formal yang menerapkan prinsip pembelajaran secara mandiri. Siswa dapat belajar dengan bantuan seminimal mungkin dari guru atau orang lain menggunakan modul sebagai bahan ajar utama  

Dengan senang hati dan rasa bersyukur yang luar biasa, saya ambil kesempatan itu. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa bersekolah lagi. Walaupun cara pembelajarannya sangat berbeda dengan sekolah formal pada umumnya, di mana siswa harus belajar mandiri dan jika ada kesulitan baru boleh mengadu kepada guru.  Tapi bagaimanapun, saya tetap bersyukur karena bisa bersekolah lagi. 

Hari demi hari saya lalui untuk belajar dengan panduan buku modul yang telah dibagikan dari pihak sekolah. Saya nikmati proses itu tanpa mengeluh, walaupun sesekali  stres akibat tidak bisa memahami terhadap satu topik pelajaran tertentu. Dengan keterbatasan kemampuan diri saya untuk menguasai modul pembelajaran, saya tetap mendapatkan peringkat di kelas antara peringkat 3, 2 dan 1. Tak terlalu buruk untuk siswa yang belajar mandiri dengan bantuan minim dari guru maupun orang lain. Dengan model sekolah seperti ini, jika siswa malas belajar, sudah barang tentu akan ketinggalan. 

Singkat cerita akhirnya saya bisa lulus dengan perasaan gembira. Namun di sisi lain saya bersedih karena akan mengulang momen empat tahun lalu di mana saya tidak bisa melanjutkan sekolah lagi karena alasan ekonomi. Dan benar saja, saya harus menunggu selama tiga tahun untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTA, bukan waktu yang sebentar memang.  

Selama kurun waktu tiga tahun tersebut, saya sibukkan diri dengan bekerja. Dengan harapan dapat mengumpulkan pundi-pundi agar dapat digunakan sebagai biaya sekolah nantinya. Saya bekerja bukan sebagai pegawai kantoran, pastinya. Tapi jadi kuli bongkar muat kayu, jadi buruh tani, hingga menjadi buruh perkebunan tebu. Semua itu saya lakukan demi bisa bersekolah lagi. 

Setelah itu, tibalah sebuah kebahagiaan setelah tiga tahun bekerja. Saya dapat menginjakkan kaki dan merasakan bangku sekolah di tingkat SLTA. Ini anugerah yang luar biasa yang harus disyukuri. Sebab sering putus sekolah, usiaku jadi lebih tua jika dibandingkan teman-teman satu kelas. Namun bagiku itu tidak masalah karena lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Selama belajar di bangku SLTA, saya aktif di berbagai kegiatan sekolah baik yang sifatnya intra maupun ekstra. Kegiatan tersebut membawa banyak keuntungan bagi saya, karena bisa mengenal banyak guru dan civitas akademika.  

Kesibukan di sekolah membuat waktu berjalan terasa lebih cepat. Dan tibalah wisuda kelulusan yang menjadi tanda berakhirnya masa pendidikan di sekolah tersebut. 

Satu hari setelah acara wisuda, saya kembali bingung apa yang harus saya lakukan. Sangat jauh dari bayangan untuk bisa melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Itu suatu hal yang mustahil. Hingga pada akhirnya saya mendapatkan tawaran untuk bekerja di percetakan. Saya  tak bisa menolak karena memang ini yang saya butuhkan.

Sekira setelah 29 hari bekerja di percetakan tersebut, tiba-tiba telepon bos berdering.  Terdengar percakapan dengan orang di seberang sana. Tak lain dan tak bukan, orang yang di seberang sana adalah salah satu civitas akademika  tempat saya bersekolah dulu. Ia meminta izin kepada bos percetakan agar saya bisa datang ke sekolah saat itu juga. 

Setelah mendapatkan izin, saya pun bergegas berangkat ke sekolahan yang lokasinya tak cukup jauh dari tempat saya bekerja: sekitar 7 KM. Beberapa saat kemudian, akhirnya saya sampai di sekolah almamater dan bertemu dengan kepala sekolah. Tanpa basa basi, beliau menyampaikan maksud memanggil saya. Yaitu menawarkan sebuah pekerjaan untuk menjadi bagian dari civitas akademika di sekolah tersebut. 

Perasaanku langsung bergejolak karena saking bahagianya mendengar tawaran itu. Dan tentu saja saya tidak menolak. Karena saya yakin setelah nanti bekerja di sekolahan akan menjadi pintu utama terbukanya pintu-pintu yang lain. Di hari itu juga, saya kembali ke percetakan untuk meminta izin berhenti bekerja. Dan bos percetakan mengizinkan serta mendukung keputusan saya tersebut.

Hari pertama bekerja di sekolahan terpancar rona wajah bahagia. Saya semangat melakoni peran baru yang jauh  berbeda dengan peran-peran sebelumnya. Saya ditempatkan di bagian staf tata usaha yang bekerja membantu administrasi sekolah. Namun terkadang juga masuk kelas untuk menggantikan guru yang izin tidak mengajar. 

Setelah setahun berlalu, mulai muncul keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Alhasil, keinginan itu terwujud. Saya mengambil kuliah akhir pekan supaya tetap bisa kuliah dan bekerja. 

Setelah beberapa tahun, akhirnya saya dapat merampungkan kuliah tanpa kendala yang berarti. Hingga kemudian terdapat sekolah yang tak sungkan mengangkat saya menjadi seorang guru, yang saya jalani hingga sekarang. Dan sekolah yang sekarang tempat tugas saat ini adalah sekolah yang kedua setelah almamaterku dulu.

Siapapun kita, jangan pernah menyerah terhadap keadaan, yakinlah bahwa segala aral melintang yang menghadang pasti dapat kita lalui. Dan cita-cita pasti  akan tercapai.

Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!

*Meniti Jalan Menjadi Guru (MJMG) adalah konten serial yang mengisahkan perjalanan dan pengalaman menjadi seorang guru yang ditulis sendiri oleh nama bersangkutan. Tayang eksklusif di NaikPangkat.com dan akan dibukukan dalam sebuah antologi dengan judul “Meniti Jalan Menjadi Guru”

Berita Terkait

Memaksimalkan ChatGPT untuk Pembelajaran Berdiferensiasi dalam Kurikulum Merdeka
Dampak Positif Kecerdasan Buatan untuk Pendidikan di Indonesia 
Menggali Potensi Kecerdasan Buatan dan Etika Penerapannya di Dunia Pendidikan
Kecerdasan Buatan yang Mengguncang Dunia Pendidikan
Geogebra Media Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan
Apakah  Sosok Guru Akan Tergantikan oleh Teknologi AI? 
Kehadiran ChatGPT dalam Dunia Pendidikan, Bagai  Pedang Bermata Dua
Keajaiban Kecerdasan Buatan (AI) yang Mampu Merevolusi Dunia Pendidikan
Berita ini 18 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 20 Februari 2024 - 10:35 WIB

Memaksimalkan ChatGPT untuk Pembelajaran Berdiferensiasi dalam Kurikulum Merdeka

Senin, 19 Februari 2024 - 15:20 WIB

Dampak Positif Kecerdasan Buatan untuk Pendidikan di Indonesia 

Jumat, 16 Februari 2024 - 09:32 WIB

Menggali Potensi Kecerdasan Buatan dan Etika Penerapannya di Dunia Pendidikan

Selasa, 13 Februari 2024 - 10:50 WIB

Kecerdasan Buatan yang Mengguncang Dunia Pendidikan

Selasa, 6 Februari 2024 - 10:35 WIB

Geogebra Media Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan

Senin, 5 Februari 2024 - 10:27 WIB

Apakah  Sosok Guru Akan Tergantikan oleh Teknologi AI? 

Sabtu, 3 Februari 2024 - 15:55 WIB

Kehadiran ChatGPT dalam Dunia Pendidikan, Bagai  Pedang Bermata Dua

Sabtu, 3 Februari 2024 - 15:20 WIB

Keajaiban Kecerdasan Buatan (AI) yang Mampu Merevolusi Dunia Pendidikan

Berita Terbaru