Mengenalkan Pendidikan pada Suku Taá di Morowali Utara

- Editor

Jumat, 30 Juli 2021

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Suku Taá termasuk salah satu suku terabaikan di Indonesia. Orang suku Taá bertempat tinggal di hutan dan pegunungan. Mereka adalah penghuni Kawasan Cagar Alam Morowali Utara, Pegunungan Batui, dan Pegunungan Balingara.

Orang suku Taá tinggal jauh dari daerah pesisir, mereka hidup terpencil dan berpindah-pindah. Masyarakat adat ini masih banyak yang hidup nomaden di hutan belantara. Bahkan masih ada yang tinggal di balik gunung-gunung dan belum mau dibina atau berpemerintah.

Namun orang suku Taá ini tidak suka bila dikatakan mereka adalah orang wana, karena wana artinya hutan. Ketika kita mengatakan mereka orang wana, mereka merasa dianggap orang hutan, dengan demikian orang suku Taá merasa tersinggung bahkan marah. Begitu juga dengan bahasa, mereka menggunakan bahasa Taá, bukan bahasa wana atau bahasa hutan. Mereka sangat percaya diri dan senang bila orang lain mengatakan mereka orang suku Taá yang berbahasa Taá. Khususnya yang tinggal di dusun Watu Bambang, Kawasan Cagar Alam, Kabupaten Morowali Utara.

Suku Taá sejauh ini, baik dari segi sosial ekonomi, pendidikan maupun spiritual masih terbelakang. Masyarakat suku Taá yang masih nomaden ini pada umumnya belum berkembang, tetapi ada upaya untuk memajukan diri dalam berbagai segi kehidupan.

Dari segi spiritual mereka masih terikat kuat pada sistem kepercayaan aslinya. Dari anak-anak sampai orang tua berbondong-bondong mengikuti upacara keagamaan mereka yang dipimpin oleh tetua-tetua adat yaitu dukun, kepala suku, kepala hukum adat, dan kepala hukum budaya. Masing-masing tetua-tetua adat berperan tersendiri dalam melakukan upacara keagamaan itu. Keagamaan asli suku Taá sangat kuat tertanam. Mereka menolak agama-agama lain yang datangnya dari luar.

Dari cerita orang-orang tua, penjajahan Belanda, Kerajaan Ternate, dan kerajaan-kerajaan lokal di masa lampau, yang membuat mereka tertutup dan berhati-hati dengan kedatangan orang-orang baru yang masuk di kawasan mereka. Sampai hari ini mereka masih merasakan trauma dengan kaum penjajah yang pernah memperlakukan mereka dengan cara menindas secara paksa.

Dan menurut mereka, penindasan itu tidak manusiawi. Pengalaman buruk itu, membuat mereka begitu sulit menerima campur tangan dari luar, paling tidak mereka sangat berhati-hati terhadap orang asing. Suku Taá percaya bahwa setiap benda mempunyai kuasa dan roh yang harus disembah dan dipuja melalui pemberian sesajen khusus.

Dalam keyakinan mereka mengenal istilah pelanggaran dan kesalahan.  Kesalahan atau pelanggaran ini bisa “ditukar” dengan barang-barang tertentu melalui upacara ritual yang disertai dengan sesajen. Upacara penyelesaian kesalahan atau pelanggaran dipimpin oleh seorang dukun. Ini adalah cara masyarakat suku Taá yang berusaha mencari kebenaran menurut kepercayaan mereka. Dengan perantaraan seorang dukun mereka membawa sesajen berupa daun sirih, buah pinang, tembakau, batang dan daun kemangi, pongas (minuman tradisional yang diolah sendiri). Setelah dilaksanakan sesuai hukum adat, dianggap pelanggaran itu sudah terhapus.

Mereka juga meyakini bahwa kekuatan magis itu nyata. Sehingga corak kehidupan dan lingkungan seperti itu telah mendorong berbagai upacara keagamaan mewarnai berbagai sendi kehidupan missal acara pengobatan atau usaha untuk pencapaian harapan kesejahteraan hidup yang lebih baik.

Usaha pelayanan “Kabar Baik” yang dilakukan terkadang mengalami kesulitan karena keadaan masyarakat suku Taá yang selalu ketakutan, curiga, dan trauma, jika melihat orang-orang yang dianggap asing. Pendekatan secara budaya melalui pembelajaran bahasa suku sudah pernah dilakukan agar bisa menyampaikan “Kabar Baik” bagi suku Ta di dusun Watu Bambang yang hidup di kawasan hutan cagar alam Kabupaten Morowali Utara, Provinsi Sulawesi Tengah ini.

Di dalam kehidupan sehari-hari, orang suku Taá di dusun Watu Bambang mempunyai kebiasaan hidup bekerja keras di kebun. Semua orang memiliki lahan kebunnya masing-masing. Mata pencaharian masyarakat suku Taá di dusun Watu Bambang ini seratus persen sebagai petani ladang.

Pada umumnya masyarakat suku Taá hidup sederhana, bergotong royong, bertoleransi tinggi dan saling menolong. Komunitas warga suku Taá mempunyai rasa persatuan yang tinggi, mereka menempati wilayah tertentu secara bersama-sama dan cinta kepada wilayahnya. Rasa persaudaraan mereka sangat kuat, dan setiap orang mengetahui perkembangan kelompoknya.

Sentuhan Pendidikan

Suku Taá yang tinggal di dusun Watu Bambang dan sekitarnya tidak ada yang bersekolah, baik anak-anak apalagi orang tua. Awal tahun 2017 sebuah Yayasan Lentera Cinta Bangsa memasuki wilayah dusun Watu Bambang dengan tujuan membuka layanan pendidikan untuk warga suku terasing. Saat itulah baru masuk pendidikan dengan bangunan sekolah darurat. Proses belajar mengajar dilakukan supaya mereka mengenal yang namanya pendidikan. Anak-anak suku Taá mulai diajak untuk ikut belajar menulis, membaca dan berhitung. Itulah dasar yang bisa diberikan oleh pihak Yayasan supaya mereka bisa mengikuti pendidikan. Selanjutnya mereka diarahkan kepada pendidikan moral dan karakter.

Mengenalkan pendidikan pada suku Taa ini tidak mudah. Pasalnya, pandangan orang suku Taá terhadap pendidikan cukup negatif. Mereka memiliki prinsip bahwa sekolah atau tidak bersekolah sama saja. Dan generasi yang ada diarahkan fokus untuk berkebun. Itulah yang diterapkan oleh orang tua mereka yang sangat sulit dipengaruhi oleh orang lain, apalagi dengan kentalnya kepercayaan mereka.

Saat dibangun sekolah darurat, anak-anak mereka diajak bersekolah. Namun ada yang kemudian hari ini masuk, besoknya tidak. Ada juga yang seminggu tidak masuk bahkan sebulan tidak masuk sekolah dengan alasan berkebun. Hal itu dapat dipahami karena orang-orang tua mereka belum memahami arti pendidikan untuk anak-anaknya karena mereka sendiri tidak pernah mengecap pendidikan sekolah.

Pendidikan di dalam lingkungan keluarga atau masyarakat hampir tidak ada, kesibukan mereka hanya untuk berkebun semata. Padahal jika kita melihat usia sekolah yang ada di sana, ada sekitar seratus lebih anak-anak yang harus memasuki jenjang pendidikan. Hal inilah yang membuat saya terdorong untuk membangun program pendidikan bersama dengan pengurus yayasan bagi anak suku Taá yang tinggal di dusun Watu Bambang.

Kehadiran seorang guru yang memiliki karakter, pengetahuan, dan keterampilan dalam melaksanakan pembelajaran yang menarik, menyenangkan dan bermakna sangat penting. Seorang guru yang menghadapi medan ini harus dapat berkomunikasi dengan hangat dan antusias, perhatian, mudah tersenyum, berpenampilan menarik, sopan, dan pantas. Hubungan yang terjalin antara guru dan anak-anak suku Taá tidak boleh hanya sebatas hubungan formal tetapi suatu hubungan yang menunjukkan keintiman seperti halnya seorang anak dan ibunya, atau sebuah hubungan persahabatan.

Kehadiran seorang guru di dusun Watu Bambang merupakan kebutuhan terhadap pendidikan untuk mencetak generasi selanjutnya yang lebih baik. Pendidikan dalam rumah tangga mereka masih sangat tidak beraturan. Seorang anak biasa memanggil ayah atau ibunya dengan sebutan nama. Oleh sebab itu saya berpandangan anak-anak tersebut harus bersekolah agar bisa membawa perubahan pada anak suku Taá ke depannya sekalipun mereka berada di pegunungan. Upaya terus dilakukan, agar mereka mendapat pendidikan secara efektif. Penjelasan demi penjelasan disampaikan kepada orang-orang tua, agar mereka mendorong anak-anaknya untuk bersekolah, supaya di kemudian hari ada generasi berpendidikan yang dapat memimpin wilayah mereka, serta melanjutkan harapan-harapan ke depan dengan lebih baik.

Pendidikan di sekolah ini sangat penting untuk membentuk suatu masyarakat yang baru. Ilmu pengetahuan memegang peranan penting untuk membawa perubahan-perubahan sosial bagi anak-anak suku Taá yang ada di dusun Watu Bambang. Setiap anak diharapkan bisa memasuki sekolah dan dapat diberikan ide-ide baru tentang masyarakat yang lebih indah dari pada yang sudah-sudah.

Kemampuan membaca, menulis dan berhitung dapat membawa dampak baik bagi masyarakat suku Taá yang ada di dusun Watu Bambang ini, sehingga program pendidikan perlu terus berjalan dan dikembangkan.

Ditulis oleh  Krisman Lameanda, S.Pd

Berita Terkait

Memaksimalkan ChatGPT untuk Pembelajaran Berdiferensiasi dalam Kurikulum Merdeka
Dampak Positif Kecerdasan Buatan untuk Pendidikan di Indonesia 
Menggali Potensi Kecerdasan Buatan dan Etika Penerapannya di Dunia Pendidikan
Kecerdasan Buatan yang Mengguncang Dunia Pendidikan
Geogebra Media Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan
Apakah  Sosok Guru Akan Tergantikan oleh Teknologi AI? 
Kehadiran ChatGPT dalam Dunia Pendidikan, Bagai  Pedang Bermata Dua
Keajaiban Kecerdasan Buatan (AI) yang Mampu Merevolusi Dunia Pendidikan
Berita ini 56 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 20 Februari 2024 - 10:35 WIB

Memaksimalkan ChatGPT untuk Pembelajaran Berdiferensiasi dalam Kurikulum Merdeka

Senin, 19 Februari 2024 - 15:20 WIB

Dampak Positif Kecerdasan Buatan untuk Pendidikan di Indonesia 

Jumat, 16 Februari 2024 - 09:32 WIB

Menggali Potensi Kecerdasan Buatan dan Etika Penerapannya di Dunia Pendidikan

Selasa, 13 Februari 2024 - 10:50 WIB

Kecerdasan Buatan yang Mengguncang Dunia Pendidikan

Selasa, 6 Februari 2024 - 10:35 WIB

Geogebra Media Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan

Senin, 5 Februari 2024 - 10:27 WIB

Apakah  Sosok Guru Akan Tergantikan oleh Teknologi AI? 

Sabtu, 3 Februari 2024 - 15:55 WIB

Kehadiran ChatGPT dalam Dunia Pendidikan, Bagai  Pedang Bermata Dua

Sabtu, 3 Februari 2024 - 15:20 WIB

Keajaiban Kecerdasan Buatan (AI) yang Mampu Merevolusi Dunia Pendidikan

Berita Terbaru