Oleh Marfu’ah, S.Pd.
Guru di SDIT Tihamah Cirebon
Suatu keadaan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya di mana saya bisa berdiri di depan para siswa, menyampaikan hikmah demi hikmah yang Allah titipkan. Kenyataannya sekarang, memang di sinilah saya berada; menyandang gelar profesi guru yang di pundaknya tersemat harapan dan amanah yang sangat besar.
Ayah saya adalah seorang supir angkot dan ibu saya seorang ibu rumah tangga. Kami menjadi keluarga “besar” karena ayah dan ibu dikaruniai sembilan orang anak. Saya anak keempat dan merupakan anak perempuan pertama. Orang tua kami termasuk orang yang sangat mementingkan pendidikan bagi anak-anaknya. Walaupun mereka sendiri tidak sampai lulus sekolah dasar karena faktor ekonomi. Selama anak-anaknya memiliki keinginan untuk terus melanjutkan sekolahnya, mereka sangat mendukung dan akan terus mengusahakan pendidikan untuk anak-anaknya.
Saya sendiri memulai pendidikan formal langsung di bangku Sekolah Dasar (SD), tidak sempat mencicipi Taman Kanak-kanak (TK). Pada masa itu di daerah kami memang belum terlalu populer istilah sekolah TK.
Tahun 2003 saya lulus SD kemudian melanjutkan ke pondok pesantren di Cirebon sekaligus menyelesaikan enam tahun pendidikan; mulai dari Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Setelah lulus MA, saya menjalani masa pengabdian di pesantren tersebut. Masa pengabdian adalah masa di mana saya diberi kewajiban mengajar oleh pihak pesantren. Ini menjadi praktik untuk mengamalkan ilmu yang sudah didapatkan dengan cara mengajar dan membantu kegiatan pendidikan lainnya di pesantren. Dari sinilah saya mulai mendapat pengalaman mengajar.
Saat masa pengabdian di pesantren tersebut, hari-hari saya penuh dengan kegiatan mengajar. Mulai dari setelah subuh, saya sudah mulai mengajar untuk santri-santri tingkat MA dengan materi kajian kitab fiqih (salah satu cabang ilmu yang mempelajari tata cara ibadah bagi muslim). Kelas ini berakhir hingga pukul enam pagi.
Satu jam setelahnya, sekitar pukul tujuh saya kembali mengajar siswa MA (prapelajaran formal) untuk menyampaikan beberapa kosa kata dan penggunaan kalimat bahasa Arab dan Inggris. Setelah Dzuhur, saya kembali mengajar materi DTA (Diniah Takmiliah Awaliah) untuk santri usia SD. Ba’da Ashar, saya mengajar DTA lagi untuk santri usia MTs. Dan setelah Magrib mengajar lagi untuk santri usia MA. Begitu seterusnya saya menjalani keseharian di pesantren selama satu tahun masa pengabdian. Walaupun tidak mengajar di dunia pendidikan formal, akan tetapi pengalaman mengajar saat masa pengabdian tersebut sangat berpengaruh dalam kehidupan saya selanjutnya.
Setelah masa pengabdian selesai, saya memutuskan kembali ke kampung, tinggal bersama keluarga lagi di rumah. Tahun 2010, saya daftar ke salah satu perguruan tinggi swasta yang ada di kota kami dan mengambil salah satu jurusan di Fakultas Keguruan yaitu Prodi Pendidikan Matematika. Selama masa kuliah, saya juga menyambi mengajar DTA di dekat rumah.
Masa-masa kuliah harus saya jalani dengan penuh perjuangan dan kesabaran, mengingat keterbatasan fasilitas yang saya miliki dalam menjalani proses pendidikan semasa kuliah tersebut. Saya sangat beruntung dapat menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi. Sebab biaya yang digunakan untuk membayar kuliah tersebut tidak sepenuhnya dari orang tua, melainkan dari kakak-kakak saya yang bersedia membantu menanggung.
Setelah lulus kuliah, saya bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar hingga dua tahun. Saya juga mengajar les privat di rumah-rumah siswa. Saya mengajar dari pagi hingga malam hari. Tak jarang berpindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya. Memang melelahkan, namun sungguh pengalaman yang luar biasa bermanfaat. Yang saya yakini saat itu adalah, semakin banyak jam terbang mengajar, maka akan semakin baik pula kemampuan mengajar saya. Hal ini juga berkaitan dengan salah satu nasihat yang sangat saya ingat dari dosen pembimbing skripsi di kampus yaitu Ibu Laelasari, M.Pd, beliau mengatakan “Bagi seorang fresh graduate, ambil kesempatan berkembang sekecil apapun.” Dan saya pun mengikuti nasihat beliau dan memang benar sangat saya rasakan manfaatnya.
Dua tahun setelah kelulusan dari perguruan tinggi, saya resign dari lembaga bimbingan belajar dan mulai mengajar di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) yang berada di kawasan pondok pesantren dekat rumah. Di sini saya sangat menikmati hari-hari saya. Walaupun juga perlu diakui pasti ada masalah yang datang silih berganti setiap harinya.
Bagi saya, mengajar itu bukan semata-mata pekerjaan untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah, melainkan panggilan hati dan jiwa untuk mengamalkan ilmu, terus berkontribusi bagi kemajuan umat, dan berpartisipasi membangun generasi yang lebih baik lagi.
Dalam membangun generasi, seperti halnya orang tua yang terus mengikuti perkembangan anaknya, maka guru pun harus mengikuti perkembangan peserta didiknya. Guru harus dapat mengetahui tentang perkembangan bahasa, musik, hobi, media sosial dan hal-hal lainnya yang berkembang di lingkungan peserta didiknya. Hal ini sangat penting sebagai bekal guru menjalankan perannya sebagai pendidik. Saya pribadi sebagai guru terus berusaha mengikuti perkembangan peserta didik saya, karena hal itu sangat membantu saya dalam mendidik siswa di sekolah.
Seorang guru sebaiknya tak berpuas diri atas ilmu yang telah didapatkannya dari pendidikan panjang yang telah dilalui. Namun, di tengah pesatnya kemajuan di berbagai aspek kehidupan, sudah seharusnya guru tergugah untuk menambah kompetensinya dan pengetahuannya di berbagai bidang. Berbagai jenis pelatihan baik daring (dalam jaringan) maupun luring (luar jaringan) yang berkaitan dengan dunia pendidikan maupun keterampilan umum lainnya, saat ini lebih mudah dijangkau oleh guru-guru di seluruh Indonesia. Bahkan terkadang ada pelatihan yang pembicaranya berasal dari luar negeri.
Banyak guru yang tidak mengalami peningkatan kompetensi disebabkan bukan karena guru tersebut tidak mampu, melainkan tidak mau meluangkan waktu untuk mengembangkan kompetensinya karena mungkin terbentur berbagai kesibukan. Namun dengan adanya pelatihan online, guru memiliki peluang belajar yang lebih besar karena dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja.
Saya yakin perjuangan seorang guru itu memang tidak mudah. Terutama bagi seorang ibu yang sudah memiliki keluarga kecil seperti saya, yang harus menyeimbangkan kewajiban sebagai seorang istri, seorang ibu, dan seorang guru. Namun demikian, tidak seharusnya menyurutkan semangat untuk terus berkiprah untuk dunia pendidikan.
Saya yakin Allah akan selalu membantu saya dan para guru lainnya dalam menjalankan semua kewajiban. Semoga apa yang kita jalani ini menjadi amal jariyah.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud