Salah satu penulis ternama, Pramoedya Ananta Toer pernah berkata: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Seorang guru adalah orang yang pintar, namun jika tidak mau menulis, bisa jadi ia akan segera dilupakan oleh masyarakat dan sejarah.
Sejak dulu hingga saat ini, kata ‘guru’ memang selalu identik dengan orang yang sangat pintar. Mereka adalah sumber ilmu yang seolah tiada habis. Mereka menjadi suri tauladan bagi para peserta didiknya. Orang Jawa mendefinisikan kata ‘guru’ adalah sebuah akronim dari ‘digugu lan ditiru’. Artinya, guru adalah orang selalu dipercaya tutur katanya dan sikapnya menjadi suri tauladan bagi para siswa.
Menurut data yang dirilis Kompas, jumlah guru di Indonesia saat ini mencapai 2.698.103. Sayangnya, dari jumlah tersebut guru yang mampu menghasilkan sebuah karya tulis sangat minim. Hal itu dapat dibuktikan dengan jumlah karya tulis yang dipublikasikan oleh guru.
Tidak seharusnya tugas guru hanya terpaku pada aktivitas mengajarkan di dalam kelas. Guru perlu menyebarkan ilmu pengetahuan dalam lingkup yang lebih luas. Sehingga manfaat ilmu pengetahuan yang dimiliki guru tidak sebatas untuk siswanya tapi juga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara luas. Dan tujuan itu dapat dicapai jika guru produktif dalam membuat tulisan yang kemudian dipublikasikan melalui berbagai media.
Kebiasaan produktif menulis sudah diberikan contoh oleh para guru pendahulu. Sebut saja nama R.A Kartini, seorang wanita yang memiliki perhatian besar terhadap pendidikan, sangat rajin menulis sehingga bukunya yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang tersebar luas di seluruh Indonesia. Meskipun jasadnya sudah tidak ada, karyanya akan terus dikenang oleh banyak orang. Selain itu juga ada Ki Hadjar Dewantara yang merupakan Bapak Pendidikan Indonesia. Ia juga banyak menyampaikan gagasan-gagasannya melalui sebuah tulisan. Sehingga slogannya yang berbunyi, “Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri handayani” dapat menginspirasi seluruh lapisan masyarakat hingga saat ini. Selain dua sosok pendidik tersebut, tentu saja masih banyak guru pendahulu yang sangat produktif dalam membuat karya tulis seperti Bung Karno, KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan dan seterusnya.
Adalah sebuah ironis jika guru generasi sekarang tidak mau belajar dari para pendahulunya yang produktif menghasilkan sebuah karya tulis. Kebanyakan guru sekarang memang banyak yang memiliki kendala dalam menulis. Pada suatu ketika saya pernah didatangi oleh salah satu guru yang bertamu ke rumah. Ia mengatakan ingin belajar menulis kepada saya. Saya bertanya kepadanya, ingin belajar menulis seperti apa. Ia mengatakan ingin membuat karya tulis yang dapat diterbitkan di media massa. Saya kemudian paham bahwa ia ingin belajar menulis artikel populer yang mudah dan bisa dibaca oleh banyak orang.
Guru tersebut sebenarnya sudah cukup tua. Rambutnya sudah tampak memutih, kulitnya yang berwarna gelap sudah tampak keriput. Ketika sedang berjalan, batang tubuhnya sudah tidak tegak lagi. Mengetahui semangatnya yang membuat saya kagum, akhirnya saya bersedia membimbingnya dalam membuat tulisan artikel populer.
Setelah beberapa hari belajar dengan saya, akhirnya dia sudah bisa membuat tulisan yang bagus. Meskipun belum menghasilkan karya buku, namun sekarang ia sudah bisa menulis artikel populer sesuai dengan bidangnya. Dan beberapa hari kemarin, salah satu tulisannya berhasil dimuat oleh media massa. Saya sangat bangga melihat hal itu.
Artikel populer memang jenis tulisan yang paling mudah ditulis oleh seorang guru dan tidak menghabiskan banyak energi. Melalui tulisan tersebut, guru dapat menuangkan segala ide-ide yang muncul di kepalanya. Ketika ide tersebut dapat berwujud sebagai tulisan, bisa menimbulkan kepuasan tersendiri. Apalagi jika tulisan tersebut bisa tampil di media nasional.
Selain itu, masih banyak lagi manfaat yang dapat dirasakan guru dari penulisan artikel populer:
Pertama, dengan menulis artikel populer guru dapat membagikan ilmu kepada siapa saja.
Kedua, dengan menulis artikel populer seorang guru dapat mengikat ilmu pengetahuan agar terus menancap dalam dirinya. Seperti yang dikatakan oleh seorang tokoh Islam, Imam Syafi’i bahwa ilmu itu ibarat binatang buruan yang bisa lepas kapan saja. Dan untuk mengikatknya perlu ditulis.
Ketiga, dengan menulis maka guru akan lebih mudah memberikan motivasi kepada siswanya. Bagaimana mungkin seorang guru mengajak siswa membuat karya tulis ketika guru sendiri tidak dapat menulis? Oleh sebab itu, kemampuan menulis dan karya-karya yang dihasilkan guru bisa menjadi motivasi bagi para siswa tanpa perlu mengungkapkannya.
Keempat, selain manfaat di atas, menulis artikel juga bisa menjadi sumber penghasilan tambahan bagi guru. Menulis memang tidak harus ditujukan untuk mencari uang. Tapi faktanya, tulisan-tulisan artikel yang dimuat di media massa atau membuka jasa penulisan artikel populer, dapat menjadi sumber penghasilan yang menyenangkan.
Kelima, menulis juga bisa bermanfaat untuk mendapatkan kenaikan pangkat bagi guru PNS. Seperti yang diketahui bahwa salah satu unsur kenaikan pangkat guru dari golongan tertentu ke golongan yang lebih tinggi salah satu pendukungnya adalah membuat karya tulis yang dimuat di media massa.
Itulah manfaat menulis bagi seorang guru. Pertanyaannya sekarang adalah, maukah para guru untuk segera memulai menulis?
*Ditulis oleh: Moh. Haris Suhud