Oleh: Megawati, S.Sos.,M.Pd
Rintik hujan tidak juga reda sedari tadi malam. Pagi itu, awan gelap masih membungkus langit, dedaun basah, dan jalanan berair. Namun demikian, tidak ada rasa surut dalam tekad bagiku dan para guru yang mengikuti ujian P3K.
Di hari itu, aku harus berangkat pagi-pagi karena mengemban tugas sebagai pengawas ruang ujian para guru yang mengikuti PPPK (Pegawai Pemerintahan dengan Perjanjian Kerja). Berada di dalam ruangan itu menjadikan saya ikut merasakan semangat para pejuang—yang saya sebut pejuang putih hitam karena pada saat itu peserta yang mengikuti seleksi wajib memakai seragam putih hitam.
Pagi sekali peserta diminta untuk hadir mengikuti aturan dan sesuai protokol kesehatan yang berlaku di tengah pandemi Covid-19.
Jam menunjukkan waktu tes segera memulai. Dengan langkah kaki yang basah akibat tersiram air hujan, aku mencoba masuk ruangan di mana aku bertugas sebagai pengawas.
Sebelum memulai mengerjakan soal, ada beberapa hal yang dijelaskan oleh operator dalam ruangan dengan suara keras dan menginstruksikan hal-hal yang bersifat teknis. Pun para peserta diberi informasi terkait beberapa hal yang harus dilakukan.
Mataku tertuju kepada beberapa peserta yang sudah terlihat sepuh atau sudah berumur. Mereka tampak mendengarkan penjelasan teknis dengan cermat. Namun ketika mereka diminta login ke dalam sistem ujian berbasis komputer, aku melihat kepanikan dari raut wajah mereka.
“Bu, tolong dong dibantu ini kenapa saya tidak bisa login.”
Aku mencoba memberi bantuan begitu pun juga proktor di ruangan, karena banyak peserta yang kebingungan dan baru pertama kali ini dihadapkan dengan perangkat komputer dan laptop.
Hari itu benar-benar menjadi pengalaman pertama bagi beberapa peserta. Mulai dari cara memegang mouse saja beberapa orang tampak sangat kesulitan.
Hati sangat terenyuh melihat beberapa peserta yang sudah berumur atau tergolong sudah tua itu. Aku dekati dan mencoba mengarahkan serta mengajarkan untuk login, mengeja username dan menuliskan tokin untuk login. Beberapa peserta terlihat panik dan tidak bisa login ternyata karena mereka salah memasukkan username.
Aku mencoba menenangkan peserta yang belum berhasil login. Aku sangat paham apa yang mereka rasakan. Aku tahu banyak dari mereka masih banyak yang gagap teknologi (gaptek). Jangankan untuk mengerjakan soal, untuk memegang mouse saja mereka tampak sangat canggung. Bahkan ada peserta yang sampai gemetar atau bahkan mendekatkan matanya pada layar monitor dikarenakan sulit untuk membaca tulisan di layar.
Waktu terus berjalan dan pada akhirnya para peserta pun mulai memahami secara teknis apa saja yang harus dilakukan ketika mengerjakan soal.
Setelah soal sudah selesai mereka kerjakan, tibalah saat final untuk melihat nilai akhir para peserta. Dan berbagai perasaan muncul ketika mereka melihat nilai akhir. Ada yang terlihat senang karena merasa sudah cukup, ada yang merasa penasaran apakah masuk passing grade, dan ada pula yang terdiam merasa bahwa nilainya tidak memuaskan.
Aku tertarik melihat ke arah seorang ibu paruh baya dengan rambut yang sudah mulai memutih, wajahnya sudah mulai terlihat tua.
“Bagaimana, Ibu?” tanyaku.
“Bu, berapa ya passing grade, apakah saya lulus?” katanya, balik bertanya sambil tertunduk lesu.
“Semoga ya, Bu, semangat!” aku hanya bisa menyemangati dan mendoakan.
Aku bertanya asal sekolah ibu tersebut, dan sudah berapa lama ia mengabdi. Ia berkenan menjawab dan mengaku dari SD di Rawajitu di mana sekolah tersebut lumayan jauh dari lokasi tes dan perjalanannya sangat memakan waktu. Ia juga mengatakan sudah mengabdi selama 20 tahun sebagai guru.
Ya, Allah hatiku begitu tersentuh dengan perjuangannya. Aku hanya bisa memberikan semangat dan doa kepada ibu tersebut.
Dan ia masih penasaran dan sekali lagi bertanya kepadaku, “Apakah saya bisa lolos dan masuk passing grade ya, Bu, dengan nilai tadi?”
Aku tak bisa menjawab dan aku hanya dapat berdoa semoga Allah mengijabah doa ibu tersebut.
Di ujian hari kedua permasalahan tetap sama. Sebagian peserta sudah berumur dan tidak biasa bersentuhan dengan TIK. Kali ini aku tertarik untuk mendekati seorang Bapak yang bertanya kepadaku tentang nilai peserta. Lalu aku menanyakan asal sekolah Bapak tersebut.
Ia berasal dari luar kabupaten dan ia sudah sejak kemarin malam berada di sini. Ia berasal dari daerah Palas, Lampung Selatan yang jaraknya sangat jauh dari kabupaten lokasi tes.
“Bapak menginap di mana?”
“Di masjid sekolah,” jawabnya.
Mataku pun mulai berkaca-kaca mendengar cerita perjalanannya hingga akhirnya bisa sampai di tempat ini. Ia bercerita mulai dari naik travel hingga naik ojek dan akhirnya bisa sampai ke tempat tujuan.
“Semoga saya berjodoh ya, Bu, di sekolah ini. Alhamdulillah, saya sudah merasakan bermalam dan berdoa di masjid sekolah ini.”
Sementara itu, kami tidak tahu kalau Bapak tersebut tidur di masjid sekolah karena ia datang sudah larut malam dan sekolah hanya ada penjaga saja.
“Perjuangan yang luar biasa, Pak, semoga Bapak bisa lolos,” hanya itu yang bisa aku sampaikan kepada Bapak tersebut.
Itulah beberapa pengalaman yang bisa aku ceritakan tentang perjuangan besar di balik seragam putih hitam para pejuang P3K. Semoga Allah mengijabah doa kalian para guru hebat, semoga lelahmu menjadi lillah untuk membuka pintu keberkahan, menjadikan ladang pahala di akhirat nanti.
Ikuti artikel terbaru dari NaikPangkat.com dengan mengisi formulir di bawah ini!