Kurikulum pendidikan di Indonesia mengalami perubahan pada tahun 2013. Perubahan tersebut dilakukan sebagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Beberapa tahun kemudian, untuk mewujudkan visi dan misi agar masyarakat dapat beradaptasi dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dan diperbarui dengan Gerakan Literasi Nasional (GLN). Dalam pelaksanaannya, kurikulum dan literasi seolah-olah merupakan dua hal yang berbeda dan pelaksanaan yang tidak sejalan. Padahal, kegiatan pembelajaran yang dilakukan merupakan kegiatan literasi.
Literasi dasar yang terdiri atas baca tulis, numerasi, sains, digital, finansial, budaya dan kewargaan merupakan bagian dari kecakapan abad XXI. Bersama dengan kompetensi dan karakter, ketiga hal tersebut akan bermuara pada pembelajaran sepanjang hayat. Program Gerakan Literasi Sekolah memperkuat gerakan penumbuhan budi pekerti sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Salah satu kegiatan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang masih dijalankan di banyak satuan pendidikan adalah kegiatan 15 menit membaca buku non pelajaran sebelum waktu belajar dimulai. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik serta meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan sesuai tahap perkembangan peserta didik.
Untuk meningkatkan kemampuan membaca peserta didik, Gerakan Literasi Sekolah (GLS) digulirkan sejak Maret 2016. Akan tetapi, hingga sekarang belum banyak pengaruhnya terhadap hasil belajar karena baru berada pada tahap sosialisasi dan koordinasi. Kegiatan GLS ditujukan bagi pemantapan Kurikulum 2013 bagi semua mata pelajaran dengan menerapkan strategi literasi dalam pembelajaran dengan merujuk pada higher order thinking skills (HOTS, keterampilan bernalar tingkat tinggi), kompetensi abad XXI (kemampuan berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif), dan penguatan pendidikan karakter.
Terobosan penting ini hendaknya melibatkan semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan. Pelibatan orang tua peserta didik dan masyarakat juga menjadi komponen penting dalam GLS.
Budaya literasi dimaksudkan untuk melakukan kebiasaan berpikir yang diikuti oleh proses membaca, menulis yang pada akhirnya akan menciptakan karya. Membudayakan atau membiasakan untuk membaca, menulis itu memerlukan proses yang tidak mudah dan singkat. Dan pihak yang berperan besar adalah guru, sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan dunia pendidikan. Untuk itulah gurunya harus menunjukan kualitas yang unggul.
Berkaitan dengan kualitas guru, kualitas pendidikan tidak ditentukan oleh pergantian kurikulum, tapi sangat ditentukan oleh kualitas guru. Ada tiga parameter kualitas guru, yaitu: expert (keahlian atau profesionalitas), tanggung jawab sosial pada kualitas pendidikan, dan panggilan hidup. Kalau guru punya tiga parameter tersebut dia akan tahu apa yang harus dikerjakan. Bahkan ekstrimnya, tanpa kurikulum pun, guru akan tetap bisa jalan. Kalau kita fokus pada kurikulum dan mengabaikan kualitas guru, maka pendidikan yang berkualitas akan sulit dicapai. Kualitas gurulah yang memegang kunci keberhasilan jalannya sistem pendidikan di Indonesia.
Guru Agen Perubahan
Guru merupakan agen perubahan (agent of change). Istilah guru juga berarti ”digugu dan ditiru”, karena memang guru seharusnya adalah teladan bagi muridnya. Peran yang sangat mulia ini menjadikan guru harus peka dan tanggap terhadap berbagai perubahan, pembaharuan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Membangun budaya literasi di kalangan guru sangat penting. Konteks literasi tidak hanya erat kaitannya dengan melek huruf, tapi juga melek teknologi. Sehingga guru harus meng-update segala informasi yang mendukung proses pembelajaran di kelas.
Ada banyak cara untuk membentuk budaya literasi di antaranya, dengan mendekatkan akses fasilitas baca, kemudahan akses mendapatkan bahan bacaan, berbiaya murah atau bila perlu gratis, menyenangkan dengan segala keramahan, dan keberlanjutan. Cara-cara ini diharapkan akan mempercepat proses terciptanya masyarakat yang melek literasi.
Ketika saat ini dimunculkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maka gurulah yang menjadi ujung tombak dalam menyukseskan program tersebut. Kegiatan membaca literatur lima belas menit sebelum KBM (kegiatan belajar mengajar) dimulai, tidak akan berhasil jika gurunya tidak ikut membaca. Tugas untuk membuat resume atau sinopsis dari hasil pembacaan yang dilakukan siswa tak akan berhasil jika gurunya tidak menunjukan diri menjadi seorang penulis yang handal.
Bagi guru, budaya literasi adalah sebuah prasyarat untuk mengubah masyarakat literat. Peran guru sangat menentukan, di mana masa pertumbuhan anak di dunia pendidikan sangat erat kaitannya dengan kontribusi seorang guru. Pengembangan budaya literasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan dalam dunia pendidikan, diharapkan mampu menjadi solusi atas segala kekurangan dalam peningkatan masyarakat literat.
Akhirnya, untuk mewujudkan bangsa yang lebih berkualitas, maka satu-satunya cara adalah dengan mengoptimalkan karakter gurunya terlebih dahulu, diantaranya dengan menjadi guru yang literat. Guru yang mampu dan memiliki budaya membaca yang tinggi dan sekaligus mampu menuliskannya. Kalau tidak saat ini, kapan lagi para guru memulai untuk meningkatkan kepribadian dan kompetensi profesionalnya. Dengan teladan guru literat, maka anak-anak kita ke depan akan menjadi masyarakat literat, bukan menjadi masyarakat yang hobinya menonton saja.
Kendala dalam Gerakan Literasi Sekolah
GLS merupakan program wajib yang harus dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan terutama jenjang pendidikan dasar dan menengah. Akan tetapi, dalam praktik pelaksanaan program tersebut masih banyak ditemui kendala. Kendala tersebut berasal dari faktor internal dan faktor eksternal. Guru sebagai ujung tombak dalam GLS dituntut mampu menjalankan perannya dengan baik. Perlu pendekatan yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Salah satu solusi yang dapat digunakan yaitu guru dalam menjalankan perannya sebagai manajer di kelas dalam pelaksanaan GLS adalah dengan mengimplementasikan konsep trilogi kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara.
Untuk mewujudkan sebuah kebiasaan menjadi tradisi apalagi menjadi sebuah budaya tidaklah gampang dan semudah membalikkan telapak tangan. Hal ini dikarenakan budaya merupakan suatu sistem dari rangkaian dan sekaligus kompromi berbagai aspek kehidupan suatu bangsa. Yang tentu saja terdapat banyak tantangan dan hambatan yang perlu diatasi agar tujuan itu bisa berhasil.
Terdapat 6 permasalahan serius yang sering kali yang menjadi penghambat terhadap peningkatan minat baca suatu masyarakat dan juga mengakibatkan program literasi sulit berkembang. Keenam permasalahan tersebut adalah:
1. Kurangnya ketersediaan media baca
Program literasi atau program gemar membaca hanya akan jadi utopia (impian) saja bila tidak dibarengi dengan ketersediaan literatur (pustaka) yang memadai. Dalam hal ini, tentunya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memfasilitasi pengadaan buku pustaka diseluruh pelosok negeri.
2. Mahalnya harga buku.
Tingkat kemahalan harga buku menjadi salah satu penyebab orang merasa enggan untuk memenuhi minat bacanya. Hal ini terkait erat dengan tingkat kesejahteraan (pendapatan) sebagian masyarakat Indonesia yang masih tergolong minim. Sehingga pengalokasian anggaran pendapatannya lebih dititik beratkan untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari mereka.
Dan bila pemerintah menghendaki warganya berwawasan serta berpengetahuan baik, maka pemerintah perlu untuk turut campur tangan mengatasinya. Untuk pemerintah bisa mengatasinya lewat pemberian subsidi pembiayaan pengadaan buku. Sehingga harga buku bisa ditekan serendah mungkin dan masyarakat bawah bisa menjangkaunya.
3. Kuatnya budaya menonton.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat kita lebih senang untuk menikmati acara televisi daripada membaca buku. Bahkan hampir separuh waktu hidupnya dihabiskan untuk duduk di depan TV. Dengan kata lain TV sebagai kotak ajaib banyak menyita waktu kita.
Sementara itu, televisi sebagai kotak ajaib, selain menawarkan nilai positif sebagai media hiburan, informasi dan edukasi, ia juga membawa dampak negatif yang bersifat merusak terhadap perkembangan kemampuan otak manusia. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan Dharma Sing Khlasa yang kemudian dikutip oleh Jalaluddin Rahmad dalam bukunya Belajar Cerdas, Belajar Berbasiskan Otak (2005). Dari hasil penelitian tersebut dinyatakan bahwa televisi akan menjadikan otak pasif, melumpuhkan otak kritis, dan merusak terutama kecerdasan spasial pada otak sebelah kanan. Namun demikian, dampak paling berbahaya dari menonton televisi adalah mengalihkan perhatian orang tua dari membaca.
4. Alasan kesibukan.
Semakin beratnya pemenuhan kebutuhan hidup memaksa seseorang untuk terus bekerja keras agar semua tuntutan hidup bisa tercukupi. Sehingga situasi ini menyeret manusia untuk menghabiskan waktu dan kehidupanya digunakan untuk kerja dan kerja. Yang pada akhirnya tidak ada waktu tersisa untuk meng-update otaknya dengan informasi,
5. Mitos yang salah.
Masalah budaya literasi yang sampai saat ini masih kuat berkembang di tengah masyarakat kita yaitu adanya anggapan atau persepsi yang menyatakan bahwa membaca itu hanyalah cocok untuk orang-orang berpendidikan tinggi saja.
Ada lagi mitos yang menganggap membaca bikin pusing, membaca bikin pikiran tambah sumpek, membaca membuat mata jadi ngantuk, dan masih banyak lagi. Tentu saja mitos-mitos negatif semacam ini perlu dihilangkan agar masyarakat bisa tergugah minat bacanya.
6. Rasa malas
Rasa malas adalah pemicu dari segala bentuk kegagalan pada diri seseorang. Karena bila rasa ini kuat mengendap dalam pikiran seseorang maka orang tersebut sangat sulit untuk bias maju, Apalagi untuk mencapai kesuksesan.
Akhirnya, untuk mewujudkan bangsa yang lebih berkualitas, maka satu-satunya cara adalah dengan mengoptimalkan karakter gurunya terlebih dahulu, di antaranya dengan menjadi guru yang literat. Guru yang mampu dan memiliki budaya membaca yang tinggi dan sekaligus mampu menuliskannya. Kalau tidak saat ini, kapan lagi para guru memulai untuk meningkatkan kepribadian dan kompetensi profesionalnya.
Ditulis oleh: Henny Suci Herawati, S.Pd.