Oleh Yuliaty P.,S.Pd.,M.Pd.
Berawal dari dalam masjid Nur Syurtiah Aspol Gowa tepatnya di Jalan Lano Dg. Pasewang, Kota Ujung Pandang (sekarang berubah nama menjadi Kota Makassar), saya sering mengikuti kelompok rutin mengaji anak-anak kecil. Ini saya tekuni dalam keseharian mulai SD hingga SMA. Kala saya khatam Al-Qur’an, saya dipanggil oleh ustaz untuk menjadi asistennya. Inilah awal saya bercita-cita ingin menjadi seorang guru.
Memasuki sekolah menengah pertama di SMP Negeri 2 Ujung Pandang selama 3 tahun, banyak pelajaran yang kudapatkan terutama pada mata pelajaran Agama Islam dan Sejarah. Saya juga masuk di kepengurusan OSIS, menjabat sebagai Seksi Keagamaan.
Pulang dari sekolah, saya langsung pergi ke masjid untuk mengerjakan sholat Ashar berjamaah. Setelah itu mengajar mengaji dengan menggunakan metode ejaan yang sekarang lebih dikenal dengan metode Iqro’. Saya baru pulang ke rumah menjelang Magrib.
Setelah sholat Isya, saya mengajar murid mengaji lagi di Masjid. Terkadang hingga pukul sembilan malam guna berdiskusi dengan teman-teman atau mengevaluasi keadaan murid kami yang bermasalah, kami mencari solusi bersama. Tiga tahun lamanya kujalani menjadi seorang guru mengaji hingga saya harus melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas yakni di Sekolah Menengah Kesejahteraan Negeri Ujung Pandang yang disingkat SMKKN jurusan Tata Rias.
Saya tetap menekuni mengajar mengaji di masjid menjelang akhir studi dan ketika sudah pindah rumah ke Aspol Toddopuli, Makassar. Kebiasaan mengajar tetap saya tekuni dengan penuh kesabaran karena keyakinan saya dengan mendidik murid mengaji hidup ini akan lebih berkualitas.
Usai menempuh pendidikan di SMKKN yang sekarang berubah menjadi SMK Negeri 8 Makassar, orang tua berkeinginan saya membuka usaha salon karena jurusan saya adalah tata rias. Apalagi perlengkapan salon, semuanya telah tersedia. Namun di dalam hati kecil saya berkata lain.
Ayahku berkata, “Kamu harus membuka salon karena kamu berbakat.”
Saya mengangguk saja karena takut melawan perkataan orang tua. Ayah adalah anggota Polri yang mendidik anak-anaknya dengan tegas sekaligus penuh kasih sayang. Kami lima bersaudara. Kakak tertua dipanggil oleh Allah ketika berumur 9 bulan ketika ayah tugas di Jakarta dalam Jambore Nasional tahun 1968.
Lalu saya melanjutkan pendidikan di Universitas Muhammadiyah Makassar jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Di pertengahan kuliah, tepatnya di semester lima, jodoh datang menghampiri dan kuterima pinangan tersebut. Muhammada Husni Tamrin namanya.
Berselang setahun setelah menikah, kami dikaruniai seorang anak laki-laki yang kami beri nama Muhammad Adnan Zuhair Muntashir Haq. Meskipun sudah berumah tangga, saya masih tetap melanjutkan kuliah dan akhirnya bisa lulus setelah empat tahun dua bulan menempuh pendidikan di kampus. Saya memiliki prinsip tetap menuntut ilmu walaupun telah berkeluarga, ini tidak lepas dari dukungan sang suami yang terus mendorongku untuk selalu belajar dan maju dalam menuntut ilmu.
Usai yudisium tepatnya tanggal 7 Januari 1999, saya mengikuti suami yang ditugaskan di Tana Toraja sebagai tenaga honorer di Pondok Pesantren Pembangunan Muhammadiyah Tana Toraja yang dalamnya terdapat dua unit sekolah: yakni Madrasah Aliyah dan SLTP (SMP).
Kebetulan saat itu ada bantuan pemerintah dari Kementerian Pendidikan lewat program Pelita untuk sekolah-sekolah swasta di Provinsi Sulawesi Selatan bernama Guru Bantu Sementara atau disingkat GBS. Saya dikontrak selama empat tahun dengan honor 200 ribu per bulan yang diterima 6 bulan sekali atau 12 bulan sekali.
Kesabaran dan ketabahan kutuai buahnya sehingga di tahun 2003 hingga tahun 2007 saya masuk lagi dalam program pemerintah Kementerian Pendidikan. Ketika itu namanya Guru Kontrak Pusat. Kutekuni perjalan mengajar saya dengan nikmat.
Suatu ketika ada pendaftaran program Sertifikasi Guru tahun 2008 angkatan kedua. Saya ikut seleksinya dan dinyatakan lulus lewat portofolio. Kami guru-guru pesantren dipanggil untuk mengikuti pelatihan pendidikan dikarenakan kerjasama dua kementerian: yakni Kementerian Pendidikan Nasional dengan Kementerian Agama bernama Sekolah Berbasis Pesantren (SBP).
Pada tahun 2008, saya masuk menjadi CPNS sehingga saya harus ditempatkan di sekolah negeri yakni di SMPN 1 Mengkendek yang jaraknya sekitar 1 Km dari rumah. Perasaan haru bercampur bahagia melaksanakan tugas ini. Di tahun 2009, saya melanjutkan pendidikan ke jenjang strata dua. Sayangnya di sela pendidikan tersebut, ayah meninggal dunia. Hampir saja saya tidak melanjutkan, namun dengan penyemangat sang suami, akhirnya selesai juga.
Saya senang belajar dan sering mengikuti pelatihan apa saja. Sehingga ketika di tahun 2013 muncul Kurikulum K-13, saya masuk dalam jajaran instruktur atau pendamping teman-teman guru lainnya selama 5 tahun.
Di waktu yang bersamaan pula, saya masuk menjadi Fasilitator USAID Prioritas selama 5 tahun. Untuk masuk ke dalam fasilitator ini tidak mudah karena kami harus menjalani tes dengan beberapa dosen dari perguruan tinggi di Kota Makassar. Seleksi administrasi hingga tes wawancara semua dilakukan di aula Kantor Diknas Kabupaten Tana Toraja. Ketika itu saya hanya berserah diri apakah saya bisa bersaing dengan peserta yang lainnya.
Menjadi seorang fasilitator USAID Prioritas sangatlah rumit namun juga menyenangkan. Sebelum kami bertugas mendampingi sekolah binaan, kami dilatih terlebih dahulu menggunakan beberapa modul. Setelah itu kami ke sekolah-sekolah mendampingi guru mata pelajaran melihat langsung proses pembelajaran yang berlangsung.
Perlu diketahui Program USAID Prioritas adalah program lima tahun yang dikembangkan USAID dan pemerintah Indonesia yang salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan akses pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak Indonesia, didukung 525 fasilitator dan melibatkan 186 sekolah sebagai mitra di tingkat nasional dan lokal untuk meningkatkan kualitas dan relevansi pembelajaran di sekolah melalui program pendidikan pra dan dalam jabatan, meningkatkan tata kelola dan manajemen pendidikan di sekolah dan kabupaten/kota.
Perjalan menjadi fasilitator daerah kunikmati meskipun harus melakukan perjalanan hingga sampai di perbatasan Kabupaten Pinrang yang cukup menantang. Semua kulalui dengan penuh semangat dan pantang menyerah. Berjalannya program USAID Prioritas bersamaan pula dengan berubahnya kurikulum dari KTSP ke Kurikulum 2013. Akhirnya saya dipercayakan menjadi instruktur K-13 dalam kurun waktu 4 tahun yang bertugas melatih dan mendampingi para guru di pelosok hingga perbatasan Provinsi Sulawesi Barat yakni Mamasa. Hingga tahun 2018 akhir dari perjalan mendampingi dan mengawal Kurikulum 2013.
Pada tahun 2021, ada lagi peralihan kurikulum menjadi Kurikulum Merdeka. Jika Kurikulum 2013 dirancang berdasarkan tujuan sistem pendidikan nasional dan standar nasional pendidikan, dalam Kurikulum Merdeka menambahkan pengembangan Profil Pelajar Pancasila. Saya ditakdirkan lagi oleh Allah untuk masuk menjadi Pengajar Praktik dalam Program Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 4 yang baru saja usai.
Dalam perjalanan menempuh pendidikan Guru Penggerak tersebut, banyak ilmu yang saya dapatkan. Rasa bahagia terukir di dalam hati karena dapat terlibat dalam program tersebut. Saya selalu berdoa kepada Allah agar saya diberikan umur panjang sehingga sampai masa pensiun dapat mengabdikan diri kepada bumi pertiwi ini.