Dampak Covid-19 pada Pendidikan Anak SD dan Masalah yang Harus Dipecahkan

- Editor

Minggu, 21 Maret 2021

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pandemi virus Corona tidak hanya membuyarkan ekonomi dan berbagai kegiatan sehari-hari di dunia. Ketakutan kepada Covid-19 memaksa dilakukan upaya-upaya pencegahan penularan serta meminimalisir penyebarannya. Dunia pendidikan yang merupakan soko guru bangsa, dimana anak-anak dapat berkumpul dan berinteraksi di satuan pendidikan, juga terkena dampaknya. Mereka harus dikarantina dan sekolah diliburkan. Sebagai gantinya, anak-anak belajar dari rumah. Ternyata hal itu memunculkan masalah baru dan bisa berdampak buruk pada kejiwaan anak. 

UNESCO menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 mengancam 577.305.660 pelajar dari pendidikan pra-sekolah, sekolah dasar, hingga menengah atas di seluruh dunia. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia mengambil sejumlah kebijakan untuk memutus rantai penularan Covid-19. Kesehatan dan keselamatan rakyat adalah prioritas utama sehingga kegiatan bekerja, beribadah dan belajar harus dilakukan dari rumah. 

Untuk sektor pendidikan, kebijakan yang diambil adalah meliburkan seluruh aktivitas pendidikan. Alternatifnya, proses belajar mengajar bisa dilakukan dengan metode jarak jauh secara daring atau dikenal dengan istilah Belajar dari Rumah (BDR). Tugas-tugas belajar disampaikan melalui  media online seperti WhatsApp untuk pelajar Sekolah Dasar.  

Penerapan kebijakan belajar jarak jauh secara online (daring) menjadi masalah baru bagi sebagian sekolah  yang tidak memiliki akses internet. Hal itu juga bisa jadi masalah bagi siswa SD yang seharusnya belum waktunya mengalami pembelajaran secara daring dengan berbagai pertimbangan, termasuk dari segi psikis. Namun itu tetap harus dilakukan agar proses belajar mengajar tetap dapat berjalan.

Dampak lain yang dirasakan oleh peserta didik dengan metode daring adalah beban pelajaran yang terlalu banyak, tuntutan mempelajari materi pelajaran secara mandiri, menyelesaikan tugas-tugasnya. Sementar itu,  ruang bertanya sangat terbatas. Dengan demikian, peserta didik menjadi gampang bosan. 

Pembelajaran dari rumah juga memungkinkan sebagian orang tua stres dalam mendampingi anak-anaknya. Apalagi jika orang tua kurang memahami karakter anak. Maka orang tua merasa bahwa anaknya susah diatur, maunya main saja, malas belajar.  

Ketika mendampingi anak belajar di rumah, orang tua juga dituntut dapat menjelaskan banyak hal terkait materi pelajaran. Sementara itu tidak semua orang tua siap untuk itu meskipun untuk anak di tingkat SD.  Hal itu yang akan mendorong orang tua mudah marah dan melakukan kekerasan verbal bahkan fisik. 

Belum lagi jika orang tua harus bekerja untuk mencari nafkah, tingkat stres orang tua pasti akan lebih tinggi. Maka yang terjadi anak menjadi takut dan merasa tidak aman ketika belajar di rumah. Hingga akhirnya rumah bisa dianggap sebagai sangkar harimau yang menakutkan.

Dengan perasaan takutnya tersebut, bisa mendorong anak bersikap bohong. Mereka mungkin akan pura-pura belajar, berpura-pura sedang menyelesaikan tugasnya dengan tetap memegang bulpoin dan menghadap buku. Anak akan cenderung mengurung diri agar dianggap belajar oleh orang tuanya. 

Yang lebih parah lagi, agar tidak dikejar-kejar orang tua untuk belajar, seorang anak akan mencoba mengelabui dengan cara memegang handphone seolah-olah sedang belajar. Padahal yang dilakukan bukan sedang belajar melainkan melakukan hal lain yang membuat senang seperti bermain game atau bahkan masuk di situs pornografi. 

Kebijakan Kemendikbud dan kegiatan belajar dari rumah benar-benar perlu ditinjau kembali karena banyak ditemukan masalah. Mulai dari masalah orang tua yang memberikan pendampingan kepada putra-putrinya dengan cara keras, mengancam, memaksakan kehendak, atau bahkan dengan kekerasan fisik.  

Jika hal ini terjadi setiap hari maka ini akan menjadi momok bagi anak dalam belajar dan merusak dunia anak, khususnya bagi anak usia SD yang sangat membutuhkan bimbingan yang halus serta penuh kasih sayang. Pola asuh yang demikian itu justru akan membentuk anak menjadi penakut, pemalu, pendiam, gemar melanggar aturan, pendendam, dan kurang memiliki inisiatif.

Komunikasi aktif guru dan orang tua sangat diperlukan untuk mengetahui proses belajar anak dengan model jarak jauh ini. Sehingga orang tua akan lebih bijak selama mendampingi anak belajar di rumah. Dengan demikian diharapkan akan tercipta suasana belajar yang menyenangkan di rumah.

Ditulis oleh: Sogiyanto, Guru SDN 2 Kagungan

Berita Terkait

Chat GPT: Menguntungkan atau Merugikan Guru?
Mission Service Learning sebagai Pilihan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila pada Jenjang Sekolah Dasar
Pentingnya Komunitas Belajar bagi Guru di Satuan Pendidikan
Penguatan Kemampuan Literasi untuk Menyiapkan Generasi Gemilang 2045
Undang-Undang Perlindungan Anak dan Dilema dalam Pembentukan Karakter Disiplin Peserta Didik
Peran Orang Tua dalam Mendidik Anak untuk Mensuksekan Kurikulum Merdeka
Penerapan Student Lead Conference untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Peserta Didik
Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal yang Masih Minim
Berita ini 8 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 4 September 2024 - 10:05 WIB

Chat GPT: Menguntungkan atau Merugikan Guru?

Kamis, 15 Agustus 2024 - 23:11 WIB

Mission Service Learning sebagai Pilihan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila pada Jenjang Sekolah Dasar

Kamis, 15 Agustus 2024 - 22:44 WIB

Pentingnya Komunitas Belajar bagi Guru di Satuan Pendidikan

Rabu, 14 Agustus 2024 - 14:52 WIB

Penguatan Kemampuan Literasi untuk Menyiapkan Generasi Gemilang 2045

Selasa, 13 Agustus 2024 - 21:42 WIB

Undang-Undang Perlindungan Anak dan Dilema dalam Pembentukan Karakter Disiplin Peserta Didik

Berita Terbaru

Kurikulum Pendidikan

Ramai Diperbincangkan Deep Learning, Akan Gantikan Kurikulum Merdeka?

Rabu, 13 Nov 2024 - 11:51 WIB

Unduh Sertifikat Pendidikan 32 JP Gratis