Oleh Kustiyani, S.Pd.
Guru SMAN 1 Jekulo Kudus
Dua kasus kekerasan yang melibatkan pelajar yang terjadi belum lama ini menjadi viral. Randy Maulana (12 tahun) meninggal karena dibacok oleh sekelompok pemuda yang masih berstatus sebagai pelajar. Sementara itu, David Ozora (17 tahun) dianiaya sampai koma oleh Mario Dandy Satrio (20 tahun).
Mencuatnya kasus kekerasan ini berimbas pada citra lembaga pendidikan secara umum. Bagaimana tidak, dalam kasus kekerasan yang telah disebutkan di atas, baik korban maupun pelakunya sama-sama masih berstatus pelajar. Dan peristiwa ini mungkin memunculkan tanda tanya sejauh mana keefektifan penerapan pendidikan karakter di sekolah.
Ki Hajar Dewantara mengatakan, pendidikan seharusnya dapat menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya baik secara individu maupun masyarakat. Menuntun segala kekuatan kodrat tersebut merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku peserta didik dalam usaha mendewasakan mereka melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, dan cara mendidik.
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 juga menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Dengan kata lain pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Untuk mewujudkan itu semua, terdapat istilah pendidikan karakter yang diterapkan di instansi pendidikan. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti atau moral, yang mengembangkan kemampuan seseorang agar dapat berperilaku baik. Oleh karena itu pendidikan karakter berfungsi membentuk karakter dan moral peserta didik dalam berinteraksi di masyarakat.
Di dalam Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2017 tentang penguatan pendidikan meliputi nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan dan sosial, serta bertanggung jawab.
Sesungguhnya pelaksanaan pendidikan karakter ini tidak dapat diserahkan seluruhnya pada lembaga sekolah, melainkan menjadi tanggung jawab bersama yang melibatkan orang tua, sekolah, maupun masyarakat.
Keluarga, terutama orang tua memiliki tanggung jawab yang besar dalam mendidik karakter anak-anak untuk memiliki dan berperilaku yang baik sesuai dengan nilai-nilai kebaikan di keluarga dan masyarakat. Pada saat di sekolah, siswa memang dididik dan diajarkan berbagai karakter yang baik oleh gurunya. Namun hal itu bukan berarti orang tua siswa seratus persen melimpahkan tanggung jawab pendidikan kepada sekolah.
Sering terjadi bahwa tidak semua siswa pada waktu pembelajaran berada di sekolah. Aktivitas siswa yang membolos sekolah ini sangat mengkhawatirkan karena tidak menutup kemungkinan pada saat posisi mereka di luar sekolah, mereka melakukan kegiatan yang melanggar peraturan seperti merokok dan tawuran.
Ketika ada siswa yang tidak mengikuti pembelajaran, pihak sekolah biasanya akan menanyakan kepada orang tua siswa. Namun banyak orang tua siswa ketika dikonfirmasi tentang keberadaan anaknya mereka tidak tahu. Di sinilah pentingnya orang tua agar ikut memantau atau mengawasi aktivitas anaknya. Jika merasa menemukan kejanggalan atau sesuatu yang tidak baik terhadap anaknya, sebaiknya orang tua segera menghubungi pihak sekolah untuk memastikan keberadaan anaknya.
Demikian pula masyarakat ikut berperan dalam menanamkan pendidikan karakter tersebut. Di samping itu, tentu saja sekolah dinilai memiliki peran yang strategis dalam mendidik karakter anak. Kita tahu bahwa sekolah adalah rumah kedua bagi siswa. Demikian pula para guru di sekolah menjadi orang tua kedua bagi siswa. Hal ini lantaran siswa memiliki waktu yang lebih banyak dalam berinteraksi dengan gurunya di sekolah dibandingkan dengan orang tuanya sendiri di rumah. Hal ini terutama untuk siswa yang sekolahnya menerapkan full day school.
Inilah yang menjadi salah satu pertimbangan mengapa sekolah dinilai memiliki peran penting dalam menerapkan pendidikan karakter. Dalam konteks ini guru memiliki peran penting karena gurulah yang menjadi ujung tombak dalam proses pendidikan di sekolah. Oleh sebab itu, tugas guru tidak semata-mata mentransfer pengetahuan kepada peserta didik. Guru juga dituntut bisa mentransfer value atau nilai-nilai sosial dan budaya kepada siswanya.
Beberapa mata pelajaran yang dipelajari di sekolah untuk menunjang pendidikan karakter di antaranya adalah Pendidikan Agama serta PPKn. Kedua mata pelajaran tersebut memang sangat dekat dengan materi nilai dan moral.
Mata pelajaran pendidikan agama mengajarkan kebaikan sesuai dengan ajaran agama yang dianut oleh siswa. Demikian pula PPKn mengajarkan moralitas seperti bagaimana hidup yang baik di masyarakat. Mata pelajaran lain seperti Sosiologi juga mengajarkan nilai-nilai kebaikan seperti cara berinteraksi yang baik, tidak melanggar nilai dan norma sosial yang ada di masyarakat. Dan mata pelajaran Sejarah pun mengajarkan kesadaran sejarah. Siswa dapat mengambil hikmah dari setiap peristiwa sejarah dengan harapan tidak akan melakukan hal-hal negatif yang sebelumnya pernah terjadi.
Dan materi penerapan karakter memang sering kali tersurat atau ada dalam beberapa mata pelajaran. Namun tidak berarti mata pelajaran lainnya tidak mengajarkan pendidikan karakter. Karena sesungguhnya semua guru memiliki tanggung jawab yang sama dalam mendidik siswanya. Mata pelajaran apa pun yang diampu, semua guru mengajarkan siswanya tentang kebaikan.
Selain mengajarkan pendidikan karakter melalui materi pelajaran, salah satu cara agar guru dapat menerapkan pendidikan karakter kepada siswanya adalah dengan menjadi model atau contoh. Sikap dan perilaku guru adalah contoh yang bisa dilihat dan ditiru siswanya.
Adapun untuk mengajarkan karakter kebaikan agar siswa tidak melakukan kekerasan adalah cinta damai, toleran, dan peduli sosial. Dengan mengajarkan nilai-nilai cinta damai, memiliki toleransi yang tinggi terhadap sesamanya, dan sangat peduli terhadap orang lain, diharapkan tidak akan menumbuhkan perilaku kekerasan pada diri siswa.
Menurut Dr Sukiat, cara guru untuk menghadapi siswa agar tidak melakukan kekerasan di antaranya menjadi pendengar aktif atau mendengar dengan seluruh diri. Guru harus dapat mendengarkan perkataan dan nada saat siswa berbicara serta melihat mimik ekspresi wajah. Dalam pikiran, guru berusaha memahami apa yang dikatakan siswa; dan di dalam hati menghayati perasaan yang ada di balik kata-kata yang diucapkan siswa.
Kemudian saat guru dalam memberikan nasihat atau pesan kepada siswa, pesan tersebut harus efektif. Pesan yang disampaikan diharapkan dapat memberikan pengaruh yang konkret, sehingga dapat mempengaruhi siswa untuk mengubah perilakunya ke arah yang baik. Dan guru harus bisa menyampaikan maksud dan tujuannya tanpa menyinggung atau melukai perasaan siswa yang mendengarnya. (*)
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud, S.S.