Kurikulum 2022 atau Kurikulum prototype yang baru saja diumumkan dan dipaparkan oleh Kemendikbud sekitar beberapa minggu lalu dalam rapat kerja Komisi X DPR RI dengan Mendikbudristek. Beberapa pihak menyambut baik adanya Kurikulum 2022.
Namun, disisi lainnya, juga muncul polemic terkait kurikulum baru ini. Polemik yang muncul mengenai adanya dampak kebijakan tersebut (kurikulum 2022) pada kesenjangan pendidikan.
Karena adanya asumsi atau pendapat jika penerapan kurikulum baru hanya bisa diterapkan oleh sekolah-sekolah yang memang sudah bagus. Sehingga, dalam penerapannya, dapat melanggengkan kesenjangan mutu antar sekolah dan daerah.
Benarkah kurikulum 2022 menimbulkan kesenjangan mutu antar sekolah?
Anindito Aditomo, yang sekarang ini menjabat sebagai Ketua Balitbang menjawab persoalan tersebut dalam bentuk tulisan opininya yang dipublikasikan di Detik.com (27/12/2021).
Kesenjangan Pendidikan
Beliau juga berpendapat bahwa ketimpangan atau kesenjangan pendidikan memiliki dua aspek, di antaranya akses dan kualitas. Penanganan sistemik terhadap keduanya perlu dilandasi pemahaman tentang akar dari kesenjangan pendidikan. Dalam hal ini, akarnya adalah ketimpangan di masyarakat itu sendiri.
1. Kesenjangan Akses
Kesenjangan akses ini dilihat dari fasilitas dan kesempatan belajar yang ada. Keluarga dari kalangan orang miskin tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi, pola asuh dan fasilitas belajar.
Alhasil, siswa dari kalangan orang miskin ini cenderung kurang siap belajar di sekolah dibanding dengan rekannya dari keluarga menengah keatas.
Karena hal tersebut, membuktikan adanya korelasi kuat atau hubungan terkait prestasi akademik dengan status ekonomi keluarga siswa.
Nah, jika penerimaan siswa baru dilakukan berdasarkan potensi atau juga prestasi akademik. Tentunya, akan adanya ketimpangan social-ekonomi di masyarakat yang makin meningkat.
Untuk mengatasi kesenjangan akses tersbeut. Sejumlah kebijakan Pendidikan harus memastikan jika penerimaan siswa (seleksi masuk sekolah) menggunakan mekanisme yang adil.
Kebijakan tersebut dimulai adanya jalur zonasi dalam penerimaan siswa baru di sekolah yang digagas pada kepemimpinan Muhadjir Effendy. Sekarang kebijakan tersebut diperkuat dengan adanya jalur afirmasi bagi siswa miskin.
Ada juga program-program beasiswa bagi siswa dari keluarga miskin, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP). Dengan adanya beasiswa, siswa tidak terpaksa berhenti di tengah jalan karena alasan finansial. Saat ini KIP Kuliah juga dirancang untuk mendorong siswa miskin berkuliah di program studi dan universitas yang meningkatkan peluang mereka memasuki profesi-profesi kelas menengah atas.
Kebijakan-kebijakan afirmatif ini memeratakan akses pendidikan dengan memberi kesempatan bersekolah bagi siswa yang dirugikan oleh ketimpangan sosial-ekonomi-budaya dalam masyarakat.
2. Kesenjangan Kualitas
Pada aspek kualitas inilah, peran kurikulum dan pembelajaran memainkan perannya.
Kesenjangan kualitas juga berakar pada ketimpangan sosial-ekonomi dalam kesiapan siswa untuk mengikuti pembelajaran.
Beliau berasumsi bahwa kurikulum dapat mempengaruhi kesenjangan. Dimana semakin banyak materi yang ada dalam kurikulum, semakin sedikit waktu untuk menyesuaikan pembelajaran dengan tingkat kesiapan belajar siswa. Dan hal tersebut juga mencegah atau mendorong guru melakukan diferensiasi pembelajaran.
Solusi untuk mengatasinya adalah dengan menerapkan pembelajaran yang sesuai dengan tingkat kesiapan belajar siswa. Dalam literatur, ini dikenal dengan pembelajaran terdiferensiasi (differentiated instruction atau teaching at the right level).
Penerapan pembelajaran terdiferensiasi yang sederhana. Dilakukan dengan mengelompokkan siswa ke dalam tiga kategori kesiapan, yaitu belum siap, sudah siap, dan sudah menguasai tujuan pembelajaran. Siswa yang belum siap diberi pendampingan khusus. Sementara siswa yang sudah siap mendapat pembelajaran yang standar, sedangkan mereka yang sudah menguasai diberi aktivitas pengayaan.
Selain itu, kurikulum prototipe sengaja dirancang agar memuat lebih sedikit materi. Kurikulum prototipe juga akan dilengkapi dengan perangkat yang memudahkan guru melakukan diferensiasi pembelajaran. Dengan kata lain, kurikulum prototipe mendorong guru untuk mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan.
Benarkah penerapan diferensiasi pembelajaran hanya di sekolah yang sudah bagus?
Namun ada kekhawatiran lainnya, penerapan diferensiasi pembelajaran hanya sekolah yang sudah bagus.
Kekhawatiran ini masuk akal, namun dilandasi asumsi yang keliru, yaitu bahwa kondisi sekolah mencerminkan semangat dan kecakapan para gurunya. Faktanya, banyak guru hebat yang mengajar di sekolah yang kerap dipandang sebelah mata.
Hal ini berdasarkan hasil studi etnografi elama Juli-November 2021, kami di sekolah-sekolah tempat uji coba kurikulum prototipe pada10 kota/kabupaten, dari Asahan di Sumatera Utara sampai Manggarai Timur di NTT.
Ternyata, banyak sekolah dengan kondisi fisik minimalis, termasuk di daerah-daerah terpencil yang bisa menerapkan kurikulum prototipe. Meski pada awalnya gamang, para guru di sekolah-sekolah tersebut merasa termotivasi karena diberi kepercayaan untuk berinovasi.
Terbukti bahwa guru dan sekolah yang ada di ‘pinggiran’ ekosistem pendidikan mampu menerjemahkan kebijakan-kebijakan pendidikan secara merdeka. Dengan menerapkan praktik-praktik inovatif yang kontekstual, termasuk inovasi pembelajaran yang mengurangi kesenjangan pendidikan.
Sehingga, kita perlu berhenti melihat dan memandang saatnya kita berhenti memandang guru dan sekolah yang ada di ‘pinggiran’ ekosistem pendidikan dengan kacamata defisit.
Sumber : Detik.com
Ingin menjadi guru profesional? Bapak dan Ibu Guru dapat mengikuti pelatihan “Membuat Makalah Best Practice” yang diselenggarakan oleh e-guru.id