Ditulis oleh Suyamto, S.Ag
Guru IPS di SMPN 4 Satu Atap Sumberlawang
Saya berasal dari keluarga yang sederhana yang terdiri dari 5 bersaudara; 4 laki-laki dan 1 perempuan. Bapak saya berpendidikan Sekolah Rakyat (SR), sedang ibu berpendidikan PGA. Memang saya bukanlah dari keluarga dengan latar belakang guru, tapi bapakku bekerja sebagai pesuruh di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Sragen. Dan bapak memiliki keinginan agar kelak salah satu di antara anak-anaknya ada yang bisa menjadi guru. Demi baktiku pada orang tua, maka saya berusaha mewujudkan keinginan tersebut.
Saya mulai menempuh pendidikan formal di SD Negeri 1 Gemolong. Lalu melanjutkan ke SMPN 2 Gemolong dalam waktu 3 tahun. Setelah itu, mulanya saya mendaftar ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Muhammadiyah, namun hanya diterima sebagai cadangan. Maka saya pun lebih memilih melanjutkan di SMA Negeri 1 Gemolong. Di sekolah tingkat lanjut atas ini, saya lalui dalam kurun waktu 3 tahun.
Demi mewujudkan keinginan menjadi guru, setelah lulus SMA tersebut, saya mendaftarkan diri di UNS Fakultas Keguruan, tetapi tidak diterima. Kemudian mencoba mendaftar di Fakultas Ekonomi UGM gelombang 2, juga tidak diterima. Lalu mendapat undangan diterima di salah satu perguruan tinggi swasta yaitu di Akademi Akuntansi Yogyakarta. Tapi di kampus tersebut hanya saya jalani selama satu tahun saja.
Tahun berikutnya saya mencoba mendaftar ke IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Fakultas Tarbiyah (Pendidikan). Ternyata saat itu, universitas tersebut membuka jurusan pendidikan umum juga seperti jurusan IPS, IPA, Matematika, dan Bahasa Inggris. Alhamdulillah, saya diterima di jurusan IPS. Kebetulan, memang sejak sekolah saya berkeinginan untuk mendalami pelajaran IPS, ternyata tersalurkan di jurusan IPS ini.
Di IAIN itulah saya mulai berkecimpung di dunia pendidikan yaitu ikut merintis mendirikan lembaga pendidikan nonformal yaitu Taman Kanak-Kanak Al Quran dan Taman Pendidikan Al Quran. Bahkan membuka privat belajar membaca Al Quran dari rumah ke rumah. Dari situ saya mendapatkan banyak pengalaman dalam hal belajar mengajar, khususnya dalam hal menghadapi berbagai karakteristik siswa.
Setelah lulus dari IAIN dan pulang ke kampung halaman, saya ditawari untuk menjadi guru wiyata bakti di salah satu Madrasah Tsanawiyah Negeri dengan honor Rp. 60.000,00 per bulan. Tawaran itu saya sanggupi demi menambah pengalaman mengajar. Tahun berikutnya, di SMP Negeri tempat bapak bekerja kekurangan guru IPS, saya pun melamar dan diterima. Maka saya mengajar di dua tempat sekaligus dengan honor yang sama.
Seiring berjalannya waktu, muncul aturan tidak membolehkan mengajar di dua tempat. Saat itu terjadi dilema dalam hati, antara mengajar di MTs atau di SMPN saja. Maka saya memilih melanjutkan mengajar di SMPN, kebetulan pula saya termasuk alumni sekolah tersebut.
Saya mengabdi di sekolah tersebut selama 17 tahun dan mendapatkan besaran honor yang bervariasi setiap tahunnya. Pertama masuk mendapat honor Rp. 60.000,00 per bulan. Tahun berikutnya naik menjadi Rp. 75.000.00 per bulan dan kemudian mendapat honor kurang lebih Rp.400,000,00.
Sepanjang menjadi guru honorer, saya mencoba mengikuti tes seleksi CPNS beberapa kali, namun gagal lagi dan gagal lagi. Memang saat itu saya belum masuk database jadi memang wajar jika belum bisa diterima.
Meskipun beberapa kali gagal, saya selalu ikut tes seleksi CPNS jika ada kesempatan. Nyatanya belum juga diterima, dan ternyata yang diutamakan yang lolos adalah guru yang sudah masuk ke dalam database dengan Kategori 1.
Tapi bagaimanapun usaha itu bukan tiada artinya. Pasalnya, peserta yang tidak lolos seleksi, berdasarkan aturan, bisa masuk ke dalam database Kategori 2. Sebelumnya harus berjuang mengurus bersama PGRI yang kemudian memberikan harapan, bahwa yang masuk database Kategori 2 dalam seleksi CPNS di tahun berikutnya dapat diprioritaskan. Untungnya saat itu saya sudah masuk Kategori 2, dan nyatanya benar; sehingga saya diterima menjadi PNS melalui data base Kategori 2 tersebut.
Tepatnya pada tahun 2015 ada pengangkatan PNS dari database Kategori 2. Saya pun diterima. Di dalam peraturan yang ada saat itu ternyata pengabdian saya sebagai guru wiyata bakti juga diperhitungkan. Sehingga pada SK CPNS yang saya tertima, saya terhitung memiliki masa pengabdian selama 17 tahun 6 bulan.
Tepat di akhir tahun 2022 lalu, saya sudah terhitung mengabdikan diri menjadi guru selama 22 tahun 2 bulan. Saat ini sisa pengabdian saya menjadi guru tinggal 6 tahun lagi.
Saya amat bersyukur dengan anugerah ini. Guru merupakan sosok yang dikenal dengan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Di sisi lain, seorang guru memiliki peran penting dalam mengantarkan seseorang kepada sebuah kesuksesan. Banyak orang yang bisa sukses berkat jasa para guru.
Guru juga merupakan teladan dalam berbagai aspek kehidupan. Lebih-lebih hidup di daerah pedesaan, seorang guru sangat dihormati, kiprah guru sangat diharapkan dalam berbagai kegiatan desa.
Demikianlah perjuangan saya untuk dapat menjadi guru yang saya harapkan sejak lama, untuk mewujudkan impian bapak. Banyak sudah suka dan duka yang saya lalui selama mengajar. Semuanya saya lewati dengan sabar, tawakal, dan tidak lupa berdoa.
Ternyata nasihat para ustadz memang benar, berkat doa orang tua kepada anaknya, impian akan lebih mudah dicapai karena doa orang termasuk panggilan pada Allah yang mustajab.
Semangatlah wahai rekan-rekan guru, baik yang sudah berhasil mencapai impian atau yang saat ini belum berhasil. Muliakan orang tua kalian, mohon lah restu kepada orang tua kalian yang masih hidup, niscaya segala urusan akan dimudahkan. (*)
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud