Siswa SMK Tergolong Miskin dan Kalah Bersaing dengan Siswa SMA?

- Editor

Senin, 28 Maret 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh Muhammad Dahlani, S.Pd, M.Pd

Guru di SMKN 2 Cikarang Barat

Anggapan bahwa siswa SMK dari keluarga miskin dan kurang cerdas makin mendarah daging di tengah masyarakat. Anggapan atau image ini merupakan suatu kesan umum yang sudah tertanam bertahun tahun, bahwa siswa sekolah SMA lebih unggul kualitasnya dibandingkan dengan siswa SMK meskipun belum ada penelitian secara empiris membuktikan hal tersebut. 

Saya pernah berdebat dengan Kabag Akunting pada sebuah perusahaan yang menganggap lulusan SMK cuma bisa nge-jurnal saja di PT bersangkutan. Setelah perdebatan panjang, akhirnya disepakati untuk melakukan pembuktian dengan melakukan tes seleksi lulusan SMK di PT tersebut. Hasilnya, secara objektif Kabag Akunting tersebut mengakui bahwa siswa SMK ada yang unggul dan diterima kerja di PT tersebut. 

Tentu saja siswa SMK yang mengikuti seleksi tersebut memiliki kualitas yang baik. Sebab jika lulusan SMK yang biasa-biasa saja sudah pasti akan terpental dari seleksi. Jika seandainya  gagal lolos dalam seleksi itu, tentu saja akan makin mengkristalkan image bahwa siswa lulusan SMK tidak bermutu. 

Baik lulusan SMK atau SMA, kualitas siswa sebenarnya tidak terlepas dari faktor dukungan orang tua dan juga orientasinya terhadap pendidikan anaknya. Tak jarang kita baca informasi bahwa lulusan terbaik dari sebuah Perguruan Tinggi orang tuanya hanya tukang becak atau penjual sayur. Sebaliknya, banyak siswa dari keluarga yang sukses namun tidak mampu membuat anaknya berprestasi cemerlang. Ini membuktikan bahwa dukungan orang tua terhadap pendidikan anaknya sangat penting. 

Namun yang paling penting adalah kegigihan anak itu sendiri dalam belajar. Dari hasil penelitian, seorang siswa yang meskipun memiliki tingkat intelegensi rendah namun jika dia rajin berlatih dan dibantu dengan media pembelajaran yang sesuai, maka akan memperoleh hasil  pembelajaran yang bagus pula (Arwaningsih, 2010).  

Kaitannya dengan siswa SMK yang dinilai memiliki input awal lebih rendah daripada siswa di SMA, maka penelitian tersebut sangat relevan. Dengan modal intelegensi yang standar, namun jika dibarengi dengan kemauan kerja keras dan lingkungan yang mendukung, maka tingkat keberhasilan siswa dalam pembelajaran akan menjadi lebih tinggi. 

Ironisnya, para orang tua siswa di SMK memang tampaknya tidak memiliki daya dukung yang tinggi terhadap proses belajar anaknya. Biasanya, pada acara terima raport semester merupakan momen yang paling ditunggu tunggu oleh orang tua siswa. Di saat itu, orang tua pada umumnya ingin tahu perkembangan belajar anaknya selama satu semester. Namun tidak demikian di sekolah SMK. 

Pada suatu kesempatan saya pernah bertanya pada guru yang mengajar di SMA, terkait respon orang tua atas undangan penyampaian laporan hasil belajar siswa. Jawab mereka, “Alhamdulillah, masih antusias!” 

Namun ketika pertanyaan dibalik, jawaban saya adalah: “Biasa, seperti tahun lalu. Sebagian berhalangan.” 

Antusiasme orang tua terhadap laporan hasil belajar siswa seperti kasus di atas tentu tidak bisa disimpulkan untuk semua sekolah. 

Keengganan orang tua SMK untuk mengambil raport anaknya banyak alasannya. Padahal itu hanya perlu dilakukan sekali dalam enam bulan. Para orang tua tersebut diminta datang ke sekolah untuk satu hari saja namun tidak mau. Pertanyaannya, apakah mereka sudah tidak peduli dengan pendidikan anaknya? Apakah karena tingkat kesibukan yang luar biasa sehingga tidak punya waktu untuk mengambil raport anaknya? Atau tidak punya uang untuk berangkat ke sekolah? 

Kondisi seperti itu terjadi tiap tahun. Sehingga penulis akhirnya membuat asumsi bahwa perhatian orang tua terhadap pendidikan anaknya sangat rendah. Orang tua memasukkan anaknya di SMK berharap segera dapat kerja setelah lulus. Mungkin juga sebagian besar orang tua beranggapan kemampuan akademik anaknya tidak ada yang bisa dibanggakan. 

Sementara itu orang tua yang memasukkan anaknya ke SMA, cenderung lebih optimistis dan siap memberikan kesempatan untuk anaknya melanjutkan ke bangku kuliah sebelum terjun ke dunia kerja. 

Mungkin orang tua siswa SMK berpikir kalau sudah dapat ijazah pasti nanti gampang cari kerja. Yang mereka tahu syarat minimal kerja punya ijazah SMA/SMK. Sehingga mereka beranggapan bahwa siswa belajar tidak perlu pintar tapi yang penting dapat ijazah. Bukankah untuk bisa mendapat kerja perlu skill dan pasti akan bersaing dengan yang lain?  

Ditambah lagi dari sisi kebijakan pemerintah yang sekarang secara tidak langsung “memaksa” sekolah untuk meluluskan semua siswa, berapapun capaian kompetensinya. Semua lulus, siswa senang, orang tua senang, citra sekolah tetap baik. Namun di balik itu guru hanya bisa mengelus dada. 

Jadi yang membuat image siswa SMK itu dianggap golongan miskin dan kurang cerdas sebenarnya adalah ekses dari kebijakan pemerintah dan juga kurang perhatiannya orang tua pada anaknya yang sedang menempuh pendidikan di SMK. 

Melihat kondisi seperti itu, para guru khususnya yang bertugas di SMK harus ikut ambil peran di dalamnya. Seperti yang telah disebutkan bahwa tugas guru dalam UU Guru dan Dosen bukan hanya mengajar, tapi juga mendidik dan membimbing siswa.  

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Demikian yang tertera dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 

Idealnya, untuk menghapus image siswa SMK miskin dan kurang cerdas maka diperlukan peran bersama. Peran kolaboratif guru, sekolah, orang tua, dan pemangku kebijakan akan dapat mengikis sedikit demi sedikit image tersebut, sehingga akan memberikan kesempatan keberhasilan yang sama antara siswa SMK dengan siswa SMA. 

Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!

Editor: Moh. Haris Suhud

Berita Terkait

Memaksimalkan ChatGPT untuk Pembelajaran Berdiferensiasi dalam Kurikulum Merdeka
Dampak Positif Kecerdasan Buatan untuk Pendidikan di Indonesia 
Menggali Potensi Kecerdasan Buatan dan Etika Penerapannya di Dunia Pendidikan
Kecerdasan Buatan yang Mengguncang Dunia Pendidikan
Geogebra Media Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan
Apakah  Sosok Guru Akan Tergantikan oleh Teknologi AI? 
Kehadiran ChatGPT dalam Dunia Pendidikan, Bagai  Pedang Bermata Dua
Keajaiban Kecerdasan Buatan (AI) yang Mampu Merevolusi Dunia Pendidikan
Berita ini 47 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 20 Februari 2024 - 10:35 WIB

Memaksimalkan ChatGPT untuk Pembelajaran Berdiferensiasi dalam Kurikulum Merdeka

Senin, 19 Februari 2024 - 15:20 WIB

Dampak Positif Kecerdasan Buatan untuk Pendidikan di Indonesia 

Jumat, 16 Februari 2024 - 09:32 WIB

Menggali Potensi Kecerdasan Buatan dan Etika Penerapannya di Dunia Pendidikan

Selasa, 13 Februari 2024 - 10:50 WIB

Kecerdasan Buatan yang Mengguncang Dunia Pendidikan

Selasa, 6 Februari 2024 - 10:35 WIB

Geogebra Media Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan

Senin, 5 Februari 2024 - 10:27 WIB

Apakah  Sosok Guru Akan Tergantikan oleh Teknologi AI? 

Sabtu, 3 Februari 2024 - 15:55 WIB

Kehadiran ChatGPT dalam Dunia Pendidikan, Bagai  Pedang Bermata Dua

Sabtu, 3 Februari 2024 - 15:20 WIB

Keajaiban Kecerdasan Buatan (AI) yang Mampu Merevolusi Dunia Pendidikan

Berita Terbaru