Oleh Darmawati, S.Pd.
Guru di SMAN Terpadu Unggulan 1 Tana Tidung
Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membentuk peserta didik berwawasan luas dan juga berbudi pekerti luhur. Namun, realitasnya pendidikan sekarang dalam kondisi sangat memprihatinkan.
Jika kita melihat kembali peristiwa beberapa tahun terakhir, krisis moral pada peserta didik semakin menjadi-jadi. Tindak kekerasan, pergaulan bebas, pelecehan seksual, dan kenakalan remaja lainnya kerap terjadi di lingkup pendidikan.
Salah satu peristiwa yang masih segar diingatan kita adalah tindak kekerasan yang terjadi pada Juli 2022 lalu di Tasikmalaya. Seorang siswa laki-laki di sekolah dasar mengalami perundungan maut. Dia dipaksa oleh teman-temannya berbuat tak senonoh pada seekor kucing sehingga siswa tersebut depresi dan pada akhirnya meninggal dunia.
Belum lagi kasus siswi SMP hamil dan melahirkan di sekolahnya yang terjadi di Karanganyar, Jawa Tengah. Selain itu masih banyak kasus-kasus lain yang menunjukkan menurunnya moral peserta didik.
Hal ini juga terlihat pasca pandemi Covid-19 setelah pembelajaran di sekolah dihentikan dan dialihkan menjadi pembelajaran daring. Ketika itu, peserta didik tak sepenuhnya memanfaatkan pembelajaran dari rumah dengan baik. Banyak yang tidak belajar saat jam sekolah, siswa kecanduan bermain game di ponsel, dan tak sedikit siswa terlibat pergaulan bebas karena lemahnya pantauan dari orang tua.
Perkembangan teknologi yang mestinya memberikan kemudahan dalam akses informasi dalam dunia pendidikan tak indah seperti yang dibayangkan. Tampaknya penggunaan teknologi yang salah telah membawa dampak buruk terhadap karakter peserta didik. Mereka semakin tergerus moralnya karena pengaruh tayangan-tayangan yang tidak patut dikonsumsi oleh usia mereka. Dengan adanya platform media sosial, peserta didik justru lebih senang bersosialisasi melalui internet seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, dan lain sebagainya. Semua itu dapat menjadikan siswa bersikap tak acuh terhadap lingkungan di sekitarnya.
Lebih miris lagi apabila guru sudah mulai tak dihormati lagi, meskipun sebenarnya seorang guru tidak gila hormat. Mungkin saja mereka beranggapan bahwa semua permasalahan yang mereka hadapi bisa dicarikan solusi melalui internet sehingga peran guru mulai tergantikan. Padahal dalam belajar, bukan ilmu Matematika, Fisika, Biologi, Kimia dan lain sebagainya yang perlu didalami. Namun belajar tentang karakter, memiliki kepribadian yang baik, merupakan hal yang lebih penting dari itu semua. Percuma bagi seseorang memiliki kecerdasan dan memori yang hebat jika tidak dibarengi dengan karakter atau perilaku yang baik.
Secanggih apapun teknologi, pelajar sudah pasti masih membutuhkan peran guru sebagai pendamping peserta didik untuk menggapai masa depan yang cerah.
Sayang sekali, pendidikan yang mestinya mampu mencetak generasi bangsa yang cerdas dan beretika pada kenyataanya masih jauh dari apa yang diharapkan. Namun demikian, kita tak boleh menyalahkan lembaga pendidikan saja karena pastinya lembaga pendidikan dalam hal ini sekolah telah mengupayakan yang terbaik buat anak didiknya agar terbentuk karakter yang baik.
Dengan persoalan-persoalan yang ada mestinya pemerintah mampu memberikan dukungan dan masukan untuk menyelamatkan pendidikan kita agar tidak semakin parah. Pemerintah mestinya harus menyaring tayangan-tayangan televisi, video Youtube yang tidak patut ditonton oleh para pelajar. Karena usia anak sekolah merupakan usia yang masih labil, selalu mau mencoba hal yang baru dan mudah meniru tanpa memikirkan efek samping.
Guru dan orang tua pun harus bisa menjadi partner yang baik dalam mengawasi tumbuh kembang anak agar tercipta generasi yang cerdas dan berkarakter. (*)
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud, S.S.