Oleh: Yosina Dike
Mahasiswi Magister Administrasi Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Masih banyak ditemukan guru yang belum memahami tentang pembelajaran berbasis kearifan lokal.
Kearifan lokal adalah kekayaan budaya yang mencerminkan kebijakan hidup dan pandangan hidup suatu masyarakat (Suyatno, 2015). Misalnya, kearifan lokal Makananku (Papeda) asal Sentani, Jayapura, mengandung nilai-nilai kebijakan hidup dan mampu menumbuhkan karakter positif. Karakter ini mencakup kejujuran (cablaka), egaliter, jiwa bebas, pekerja keras, afirmatif, dan kritis.
Dari kearifan lokal seperti Papeda dan tarian Cenderawasih, dapat diperoleh karakter positif yang menumbuhkan sikap positif pada siswa. Ini sangat bermanfaat dalam pengembangan ranah afektif siswa. Karakter-karakter tersebut membantu siswa dalam memahami dan mengapresiasi nilai-nilai lokal, sekaligus memupuk sikap kritis dan kreatif.
Permasalahan utama yang dihadapi guru adalah rendahnya kemampuan untuk menyusun dan melaksanakan pembelajaran berbasis kearifan lokal. Sehingga adanya pelatihan dalam teknik ini sangat membantu guru untuk merancang pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan karakter siswa, serta meningkatkan motivasi dan rasa percaya diri mereka dalam menggunakan potensi lokal sebagai media pembelajaran.
Pembelajaran inovatif berbasis kearifan lokal ini sangat penting untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan efektif. Dengan memanfaatkan berbagai metode kreatif seperti permainan edukatif, teknologi interaktif, dan proyek berbasis pengalaman, guru dapat membuat proses belajar menjadi lebih menarik dan relevan bagi siswa. Pendekatan ini tidak hanya membantu siswa memahami materi pelajaran dengan lebih baik, tetapi juga meningkatkan keterlibatan dan motivasi mereka dalam belajar.
Selain itu, pembelajaran inovatif mendorong pengembangan keterampilan abad ke-21 seperti berpikir kritis, kreativitas, dan kolaborasi. Penggunaan alat digital dan teknologi dalam kelas memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi pengetahuan secara mandiri dan bekerja sama dalam menyelesaikan tugas. Proyek-proyek berbasis pengalaman juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan teori dalam praktik nyata, sehingga pemahaman mereka menjadi lebih mendalam dan kontekstual.
Implementasi pembelajaran seperti ini juga membantu guru untuk terus berkembang dan menyesuaikan metode pengajaran mereka dengan kebutuhan siswa. Dengan berbagai pendekatan baru, guru dapat mengevaluasi dan memperbaiki strategi mereka untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Hal ini tidak hanya meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi juga mempersiapkan siswa dengan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan di masa depan.
Tapi sayangnya, penggunaan media berbasis kearifan lokal dalam pembelajaran dapat dikatakan masih minim. Terbatasnya media peraga di sekolah sering menjadi kendala bagi guru dalam menyajikan pembelajaran yang inovatif. Hal ini berdampak pada tidak tercapainya pembelajaran yang tuntas dan membuat siswa kurang antusias. Padahal, dengan memanfaatkan potensi lokal sebagai media, pembelajaran bisa menjadi lebih menarik dan relevan bagi siswa, meningkatkan kreativitas guru, serta mendukung pelestarian budaya setempat.
Predikat yang melekat pada seorang guru profesional tentu saja harus diimbangi dengan kinerja, prestasi, dan kompetensi yang mumpuni. Seiring dengan tuntutan profesionalisme, tentunya semangat membelajarkan siswa sesuai dengan kaidah dalam kurikulum harus dijalankan. Oleh karena itu, aplikasi pembelajaran harus diwujudkan dalam persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran.
Guru diharapkan dapat melaksanakan pembelajaran sesuai kurikulum, namun sering kali menghadapi berbagai kendala di kelas, seperti suasana pembelajaran yang kurang kondusif, siswa yang kurang antusias, dan keterbatasan media pembelajaran.
Kemampuan guru dalam menghadirkan pembelajaran berbasis kearifan lokal yang inovatif tersebut menjadi tolak ukur untuk menilai profesionalitas seorang guru di mana predikat seorang guru profesional harus diimbangi dengan kinerja, prestasi, dan kompetensi yang tinggi.
Tuntutan profesionalisme mengharuskan guru untuk menjalankan pembelajaran sesuai kaidah kurikulum, meliputi persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Namun, banyak guru menghadapi berbagai masalah di kelas seperti suasana pembelajaran yang kurang kondusif, siswa yang kurang antusias, dan minimnya penggunaan media pembelajaran inovatif. Hal ini berdampak pada hasil belajar siswa yang seringkali di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2007, guru harus memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Kompetensi pedagogik mencakup kemampuan mengelola pembelajaran siswa, memahami peserta didik, mengembangkan kurikulum, merancang dan melaksanakan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, serta memanfaatkan teknologi pembelajaran.
Dan fakta di lapangan yang ada, menunjukkan bahwa banyak guru masih kesulitan mengatasi masalah di kelas, terutama saat mengajar materi sulit. Mereka cenderung menggunakan metode ceramah yang monoton dan minim kreatifitas dalam penggunaan media pembelajaran. Media pembelajaran yang tersedia di sekolah seringkali terbatas, sehingga guru kesulitan menyajikan pembelajaran yang inovatif.
Lalu, sudahkan kita menjadi guru yang terus belajar untuk menjadi seorang pendidikan yang profesional mampu menghadirkan pembelajaran yang inovatif dengan menekankan pada kearifan lokal?
DAFTAR PUSTAKA
K. Setiawan. 2008. Kode Etik Penulisan dan Hakikat Pendekatan Ilmiah. Dalam Departemen Pendidikan Nasional.Materi Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah. Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. Yogyakarta. 7-10 Agustus 2008
Suyatno. 2015. Revitalisasi Kearifan Lokal sebagai Upaya Penguatan Identitas Keindonesiaan. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan,http://badanbahasa.kemdikbud.go.id. Diakses pada tanggal 1 November 2015.
Sartono Kartodirdjo. 1999. Multidimensi Pembangunan Bangsa: Etos Nasionalisme dan Negara Kesatuan. Yogyakarta: Kanisius.