Oleh Muryani, S.Pd.SD
Guru SD Negeri Jolontoro, Sapuran, Wonosobo, Jawa Tengah
Sungguh menyedihkan zaman sekarang. Banyak pelajar yang berperilaku nakal, kasar, brutal, bahkan sampai pada tingkat kriminal. Siapa yang seharusnya disalahkan dalam hal ini? Apakah orang tua, guru di sekolah, atau lingkungan pergaulan anak?
Masalah ini menjadi tantangan bagi kita semua, terutama bagi orang tua dan para pendidik khususnya guru di sekolah.
Tidak dapat dihindari bahwa kondisi zaman sekarang dapat membuat anak dapat mengakses informasi dari mana saja sehingga mereka memiliki peluang yang sangat besar untuk meniru perilaku negatif atau bahkan memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan yang tidak masuk akal.
Sebenarnya jika anak melakukan sebuah kesalahan, pihak anak juga tidak bisa dijadikan “kambing hitam”. Bisa jadi pola pengasuhan yang buruk –di rumah serta sistem pendidikan yang semakin longgar di sekolah– merupakan beberapa faktor yang memicu perilaku negatif anak. Sehingga tidak sulit untuk menemukan anak-anak yang berperilaku kurang sopan, nakal, membangkang, bahkan berani melawan gurunya di sekolah.
Anak-anak sekarang memiliki kecenderungan untuk bersikap sesuka hati atau dalam istilah lain berlaku “semau gue”. Lebih ironisnya lagi, orang tua kadang membela kesalahan anaknya kemudian melaporkan guru ke pihak berwajib, seolah-olah guru tidak memiliki kewenangan yang signifikan dalam pendidikan anak di sekolah.
Dalam satu kasus tertentu, ada seorang siswa yang dididik dengan baik dan diajak untuk disiplin terhadap segala aturan di sekolah. Dan yang melanggar aturan bisa mendapatkan hukuman.
Kemudian ada saja orang tua yang merasa tidak menerima atas hukuman yang diberikan tersebut dengan alasan guru melanggar Hak Asasi Manusia dan sejenisnya. Akibatnya, guru sekarang banyak yang khawatir dan merasa perlu untuk bersikap defensif dan mencari perlindungan, sehingga sulit untuk menegakkan disiplin terhadap anak-anak, terutama jika ada keluarga siswa yang tidak sejalan dengan aturan yang diterapkan di sekolah.
Ketika anak ditegur, orang tua akan segera mengadu dengan keras pada pihak sekolah. Apalagi jika anak sedikit diberikan hukuman fisik. Pasti saja anak tersebut akan mengadu pada orang tuan dan pasti akan timbul adu argumen dengan guru.
Artinya, anak-anak bisa saja berbuat brutal atau melakukan kesalahan karena didorong oleh situasi yang memanjakan dan didukung dengan arus zaman yang semakin kompleks dan penuh dengan tantangan.
Tentu saja pihak sekolah ingin mencetak siswa yang berkarakter baik dan berpengetahuan luas, namun waktu anak di sekolah sangat terbatas. Sebagian besar waktu anak itu dihabiskan di luar sekolah, yaitu ketika mereka berada di lingkungan pergaulan di masyarakat maupun dengan teman sebaya. Kondisi ini semakin buruk dengan pola asuh orang tua yang salah, yang tidak mendukung pembentukan karakter anak yang mencerminkan profil pelajar Pancasila.
Sistem pola asuh yang tidak tepat, kondisi lingkungan yang tidak kondusif, sistem pendidikan yang lemah, pengawasan orang tua yang terlalu percaya pada anak, serta kondisi-kondisi lainnya, semuanya memperparah situasi dalam mendidik.
Sementara itu, anak yang terlalu dikekang, terlalu banyak dimarahi, dan tidak dihargai di lingkungan keluarganya, juga bisa menjadi penyebab anak menjadi brutal dan bertindak di luar batas kemanusiaan. Seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini dalam berita-berita dan media sosial gencar terdengar adanya pertengkaran antar pelajar, perundungan, kekerasan seksual, bahkan pembunuhan.
Kejadian seperti ini tidak diinginkan oleh siapa pun. Tapi faktanya, karakter anak-anak sekarang merosot drastis seolah-olah mereka tidak pernah dididik oleh orang tua maupun guru-gurunya. Oleh karena itu, perlu adanya kerjasama yang kuat antara orang tua dan guru-guru di sekolah untuk membentuk karakter anak-anak sehingga mereka dapat menjadi generasi yang lebih baik di masa depan.
Menurut hemat penulis, ada beberapa solusi yang dapat dilakukan, terutama oleh guru dan pendidik di sekolah:
1. Penegakan aturan dan tata tertib di sekolah harus lebih tegas. Jika siswa melakukan pelanggaran yang bersifat kriminal, mereka harus dikeluarkan secara tidak hormat dari sekolah. Hal ini diharapkan dapat membuat orang tua lebih bijaksana dan membuat anak menyadari kesalahannya.
2. Di sekolah, perlu diadakan pembiasaan yang mendorong terciptanya generasi yang berkarakter Pancasila, seperti yang diusulkan oleh pemerintah melalui penerapan Kurikulum Merdeka. Hal ini diharapkan dapat membuat anak merasa dihargai dan diakui keberadaannya, sehingga mereka dapat berkarakter sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
3. Anak harus diberi tanggung jawab untuk melakukan kegiatan kemanusiaan secara periodik, seperti membantu di panti asuhan, mengunjungi korban bencana alam, atau bergotong royong membersihkan lingkungan. Hal ini diharapkan dapat menanamkan jiwa kemanusiaan yang tinggi pada anak, sehingga mereka tidak mudah melakukan hal-hal yang bersifat kriminal.
4. Orang tua, guru, dan stakeholder sekolah harus bersinergi untuk mendukung gerakan hidup rukun dan damai demi terciptanya kehidupan yang aman, nyaman, dan saling peduli. Hal ini diharapkan dapat menjaga kedamaian dan keamanan di lingkungan sekolah.
5. Perlindungan hukum terhadap guru, pendidik, dan lembaga sekolah yang terkait dengan kemajuan anak di sekolah harus ditingkatkan. Hal ini diharapkan dapat membuat tenaga pendidik merasa nyaman dalam proses mencerdaskan anak bangsa.
Semoga dengan langkah tersebut ada sedikit pencerahan ke depannya, sehingga anak didik tidak lagi bersikap brutal dan mampu menjadi manusia yang berakhlak mulia, mandiri, dan bertanggung jawab terhadap dirinya, orang tua, serta bangsa dan negaranya. (*)