Oleh Tri Mas Ulah, S.Ag
Guru di SDIT AlMarjan
Suatu ketika, aku dibikin terkejut oleh salah satu muridku di kelas 4. Saat itu, aku membagikan hasil ulangan harian kepada anak-anak. Tidak ada yang aneh. Bagi yang nilainya bagus, mereka tersenyum senang. Bagi yang nilainya biasa saja, mereka pun tampak lapang dada menerimanya.
Hingga di malam harinya, ada salah satu orang tua murid yang menginfokan bahwa anaknya marah-marah karena tidak dapat nilai sempurna. Orang tua tersebut bilang kalau anaknya heran kenapa jawaban di bagian essay ada yang disalahkan, padahal jawabannya dianggap benar.
Aku pun memutar kembali ingatanku, apakah benar aku salah dalam mengoreksi jawaban? Ketika aku mengingat jawaban murid tersebut, maka aku menjelaskan kepada orang tuanya.
Sesungguhnya, jawaban anaknya tidak salah, hanya kurang lengkap. Maka aku hanya memberi skor setengah. Hal tersebut yang kemudian membuatnya tidak mendapat nilai sempurna.
Anak ini memang cerdas, namun sering tergesa-gesa dalam mengerjakan soal dan sering tidak teliti. Jika aku mengajukan pertanyaan-pertanyaan lisan di kelas, dia yang paling aktif menjawab dibanding teman-temannya. Jika mengerjakan soal tertulis, dia pun cepat dalam menyelesaikannya. Hanya saja kurang teliti.
Setelah aku jelaskan, barulah orang tuanya memahami dan menerima. Bahkan orang tuanya berterima kasih kepadaku dan berpesan untuk menyampaikan tentang hal ini pada anak yang bersangkutan esok harinya.
Di sekolah, aku temui anak tersebut ketika jam istirahat. Aku tersenyum saat melihatnya tak acuh kepadaku. Aku mencoba menyapanya, tapi dia masih tak peduli. Aku coba sekali lagi untuk menyapanya, akhirnya dia pun merespon dengan muka datar.
“Mir, apa kamu marah pada Ibu?” aku melempar pertanyaan setelah mengajaknya ke dalam sebuah ruangan yang sepi orang.
“Ya, Bu. Ibu dikasih apa sama Rara, kok Rara bisa dapat nilai seratus ?” Sontak aku kaget mendapat pertanyaan tersebut, yang tak pernah kuduga yang keluar dari mulut muridku yang selalu aku ajarkan tentang adab.
“Astaghfirullah,” gumamku dalam hati. “Maaf, Amir. Kenapa Amir berpikiran seperti itu?”
“Karena aku tidak dapat nilai seratus, padahal jawabanku benar. Coba Ibu katakan, di mana letak kesalahanku?”
Aku pura-pura baru tahu. “Baik, Amir, di soal essay nomor dua, Ibu menanyakan apa?”
“Persamaan dan perbedaan Surat Al Falaq dan An Nas,” jawabnya.
“Lalu apa yang Amir jawab?”
“Persamaannya saja, Bu.”
“Nah, sekarang Amir tahu kan, kenapa tidak dapat nilai seratus?”
Amir tampak terdiam dan wajahnya mulai menyadari kesalahannya.
“Mohon maaf, Amir. Insya Allah Ibu tidak akan memberikan nilai kepada murid Ibu karena ‘sesuatu’ yang Amir sebutkan tadi. Ibu akan memberikan nilai sesuai dengan apa yang kalian jawab. Ibu sudah sering mengingatkan padamu untuk teliti, tidak tergesa-gesa, dan mengoreksi kembali jawaban ulangannya. Karena ketelitian sangat diperlukan dalam menjawab soal ulangan jika ingin nilaimu bagus.”
Amir hanya menunduk, tapi terlihat kalau bahasa tubuhnya belum dapat menerima kenyataan yang ada secara total.
“Amir, sesungguhnya kepintaran seseorang itu tidak hanya dilihat dari nilai-nilai yang didapat di sekolah. Ibu tahu, kamu anak yang cerdas tapi tidak teliti ketika mengerjakan soal ulangan, sehingga jarang sekali dapat nilai seratus. Tapi itu tidak mengurangi dirimu yang cerdas. Kamu tetap anak yang cerdas di mata Ibu. Dan Ibu juga yakin, bapak dan ibu guru yang lain juga berpendapat seperti itu.”
Perlahan wajah Amir mulai rileks dan bibirnya menyunggingkan senyuman, matanya bercahaya.
Dan apa yang terjadi kemudian? Amir meminta maaf padaku. Tentu saja aku menyambutnya dengan senang hati dan lapang dada. Kemudian kami pun kembali ke ruang kelas untuk melanjutkan pelajaran selanjutnya.
Ketahuilah anak-anakku, sesungguhnya siswa yang nilainya seratus adalah anak yang tidak hanya pandai dalam belajar, tapi anak yang punya sopan santun dan berakhlak mulia.
Kepintaran saja tidak cukup menjadikan kamu sukses di masa depan. Banyak orang pandai dengan gelar yang berjejer di belakangnya, tapi tidak memberikan manfaat kepada orang lain karena mereka hanya menggunakan kepintarannya untuk kesuksesan pribadi semata.
Sesungguhnya jika kamu menggunakan kepintaranmu itu untuk sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain, maka itulah kesuksesan yang sesungguhnya. Di dunia, dia akan dikenang sebagai orang yang berjasa dan di akhirat dia juga akan mendapat balasan pahala dari Allah SWT. (*)
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud