Oleh Mochamat Yarul Fatoni, S.Pd.I
Guru di MIN Kota Blitar
Pada tahun 2005, saya melangsungkan pernikahan. Dengan gaji 400 ribu sebagai guru honorer saat itu, saya harus mencukupkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sebenarnya saya sangat berharap untuk segera diangkat menjadi guru PNS. Karena dengan begitu, tentu saya akan mendapatkan gaji yang layak untuk mendukung kehidupan rumah tangga.
Tahun 2006, lahirlah putri saya yang pertama. Kebutuhan rumah tangga pun semakin bertambah. Maka saya berusaha untuk mencari pendapatan tambahan. Kebetulan waktu itu saya ditawari menjadi guru honorer di MI Pesantren. Tawaran itu langsung saya terima, sehingga saya menjadi guru honorer di dua lembaga yaitu di MIN Kota Blitar dan di MI Pesantren.
Agar segera dapat diangkat menjadi PNS, yang saya lakukan yaitu selalu mengikuti tes seleksi CPNS untuk formasi guru. Beberapa kali ikut ujian CPNS tapi berulang kali gagal. Ketika ada kesempatan pendaftaran CPNS untuk formasi guru di Tulungagung pun saya datangi. Tapi ternyata ijazah yang saya punya tidak memenuhi syarat. Sehingga saya harus membawa pulang berkas lamaran ke rumah Blitar.
Selain beberapa kali mengikuti ujian CPNS, saya juga mengikuti ujian guru kontrak. Tapi juga gagal. Beruntungnya, walaupun belum diterima jadi guru CPNS paling tidak mendapat tunjangan dari Kemenag yang memberikan bantuan berupa insentif bagi guru BKG (Bantuan Khusus Guru) untuk peningkatan kesejahteraan guru.
Dan alhamdulillah, pada tahun 2009 akhirnya saya mendapat pengangkatan sebagai CPNS. Untuk sampai di sini membutuhkan kesabaran yang tebal.
Dan seorang guru memang harus mempunyai sifat penyabar. Sifat penyabar ini baik untuk diri guru sendiri maupun untuk menghadapi anak didik.
Sampai saat ini, perjalanan saya sebagai guru dimulai dari MIN Kota Blitar dan jika ditotal sudah 30 tahun saya menjalani profesi ini. Selama 30 tahun tersebut, 17 tahun menjadi guru honorer.
Momen-Momen Paling Menuntut Kesabaran sebagai Guru
Mungkin sama dengan para guru lainnya, saya juga pernah merasakan sebagai wali kelas. Sebagai wali kelas memiliki peran penting dalam hubungan antara sekolah, siswa, dan orang tua. Wali kelas mempunyai tugas yang lebih berat jika dibandingkan dengan guru bidang studi yang hanya punya tanggungan mengajarkan mata pelajaran tertentu. Seorang wali kelas mempunyai tugas membantu kepala sekolah untuk membimbing siswa dalam mewujudkan disiplin kelas, sebagai manajer dan motivator untuk membangkitkan gairah atau minat siswa untuk berprestasi di kelas.
Pengalaman saya pribadi menjadi wali kelas dari tahun ke tahun, tidaklah sama. Setiap kelas mempunyai karakter yang beraneka ragam. Ada yang mudah diatur dan ada yang sulit diatur. Maka dari itu, seorang guru harus mempunyai sifat penyabar dalam menghadapi siswa-siswinya.
Kejadian yang sulit terlupakan ketika menjadi wali kelas 4C di sekolah saya. Saya sering mendapat laporan dari orang tua wali murid melalui WhatsApp tentang anaknya yang mendapat perlakuan buruk dari temannya sendiri.
Waktu itu anak-anak sedang jam istirahat. Banyak siswa yang membeli minuman di kantin sekolah. Beberapa anak yang membeli minuman mengalami sakit perut yang kemudian dibawa menuju UKS untuk istirahat.
Salah satu korban bernama Aufar, juga ikut ke UKS karena merasa sakit perut. Siswa bernama Iqbal lantas menjenguknya. Iqbal yang melihat Aufar justru tertawa riang. Iqbal lalu mengolok-olok Aufar, menuduhnya tidak sakit betulan, hanya berpura-pura.
Waktu pulang sekolah, Aufar menangis karena diolok-olok dan ditakut-takuti oleh Iqbal. Ia dikatakan sudah berani berbohong dan akan dicatat di buku pelanggaran dan diberi poin negatif.
Tak lama setelah itu, nenek Aufar menanyakan kepada saya mengapa cucunya pulang sampai menangis. Saya pun ceritakan kejadian yang sebenarnya.
Keesokan harinya nenek Aufar kirim pesan lewat WhatsApp lagi. “Assalamu’alaikum wr.wb, Pak. Maaf, saya utinya Aufar yang tadi ke sekolahan. Mohon maaf sebelumnya, kalau nanti Mas Iqbal minta maaf kepada Aufar tolong kalau bisa di depan kelas, disaksikan teman-temannya dengan tujuan sedikit memulihkan mental dan psikisnya Si Aufar. Terima kasih atas kerja samanya. Wassalamu’alaikum wr.wb.”
Di dalam kelas, saya pertemukan antara Iqbal dan Aufar. Iqbal saya suruh minta maaf pada Aufar di depan kelas yang disaksikan oleh teman-temannya. Sebelum pelajaran dimulai, saya beri nasihat dan minta ucapan janji dari Iqbal untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Satu lagi yang hingga saat ini masih mengenang adalah sebuah kejadian yang kurang baik dilakukan seorang siswa kepada salah satu siswa yang membuat ibunya mengadu kepada saya melalui WhatsApp.
“Assalamualaikum, Pak, sebelumnya saya mohon maaf akan menyampaikan tadi Devi pulang sekolah menangis. Katanya temannya anak laki-laki, tidak tahu siapa, mencoret-coret bukunya dengan gambar yang tidak baik waktu ditinggal latihan sama Bu Elly. Sebenarnya kejadian seperti ini sudah sering, bukan hanya sekali ini, tapi selalu saya suruh membiarkan. Dulu waktu lomba pidato di Jabung juga, katanya mukenanya ditaruh di tempat sampah dan saya suruh diam saja. Tapi lama kelamaan kok semakin nakal ya, Pak. Saya jadi tidak tega anak saya selalu diperlakukan seperti itu. Salahnya apa? Mohon anak yang melakukan supaya ditegur karena Devi anak perempuan.”
Maka keesokan harinya sebelum jam pelajaran dimulai, setelah berdoa dan kegiatan ibadah solat Dhuha, saya membacakan pesan laporan dari ibunya Devi. Saya tanya siapa yang berbuat demikian akan saya catat dalam buku pelanggaran dan pemberian poin pelanggaran. Anak yang melakukan keusilan tersebut pun mengaku dan saya mintai janji untuk tidak akan mengulanginya lagi.
Perbuatan anak-anak yang kurang baik berbau kekerasan (bullying) juga pernah terjadi selama saya menjadi wali kelas. Sehingga orang tua siswa yang menjadi korban memberikan laporan kepada saya.
“Assalamu’alaikum, Pak Fatoni. Saya ibunya Nadziroh. Pak, tiap hari anak saya bilang kalau teman laki-lakinya mengolesi tangannya dengan stipo, kepalanya dipukul, dan bukunya diberi ludah. Buku tema 5 dan buku ngaji Usmani juga disembunyikan. Mungkin anak saya juga nakal sehingga saling membalas kalau temannya berbuat nakal padanya. Demikian, mohon anak-anak diberi nasehat, Pak.”
Maka keesokan harinya, sebelum jam pelajaran dimulai setelah berdoa dan kegiatan ibadah salat Dhuha, saya membacakan laporan dari ibunya Nadziroh. Saya tanya siapa yang berbuat tersebut dan saya beri peringatan. Anak yang berbuat saya mintai janji untuk tidak akan mengulanginya lagi.
Demikian adalah sejumlah pengalaman yang saya alami selama menjadi guru dan wali kelas. Itu semua menuntut untuk menjadi guru yang sabar. (*)
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud